12 Pahlawan Beragama Katolik yang Rela Berkorban untuk Bangsa Indonesia

12 Pahlawan Beragama Katolik yang Rela Berkorban untuk Bangsa Indonesia

Nasional | okezone | Rabu, 25 Desember 2024 - 06:02
share

JAKARTA - Pahlawan nasional rela berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa mengenal latar belakang. Pada momen Hari Raya Natal, perlu diingat bahwa tak sedikit para pahlawan nasional yang beragama Katolik.

Bukan hanya ikut terjun dalam medan perang, tetapi juga menyumbangkan gagasan dan karya untuk bangsa. Berikut 12 pahlawan nasional yang beragama Katolik:

1. Jenderal Raden Oerip Soemohardjo

Kepala staf TNI Pertama Jenderal Raden Oerip Soemohardjo lahir 22 Februari 1893 dan meninggal 17 November 1948. Ia menjadi jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Pahlawan yang lahir di Purworejo itu berhasil menerima sejumlah tanda kehormatan dari pemerintah secara Anumerta, termasuk Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960), Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967), dan Bintang Kartika Eka Pakçi Utama (1968).

2. Marsekal Pertama TNI Anakletus Tjilik Riwut

Anakletus Tjilik Riwut adalah penerjun payung pertama dari Kalimantan dan tokoh pemersatu 142 suku Dayak untuk bergabung dengan Indonesia. Gubernur Kalimantan kedua ini juga memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001 yang kini dikenal sebagai pasukan Khas TNI-AU.

3. Herman Fernandez

Herman Yosep Fernandez adalah pemuda asal Larantuka yang lahir di kota Pancasila Ende, 3 Juni 1925. Saat kecil, ia menjadi gambaran watak anak-anak Flores yang militan sebab didikan intelektual para imam dan Bruder biarawan Societas Verbi Divini (SVD).

Bersama para pelajar di kota Ende seperti Frans Seda, tokoh nasional asal Flores, Herman Fernandez nekad menyeberang ke pulau Jawa menuntut ilmu di Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Bantu di Muntilan, Jawa Tengah.

Belum satu tahun di Muntilan pecah perang kemerdekaan yang menyebabkan sekolah mereka ditutup untuk sementara waktu. Sebab, kala itu Belanda menduduki kota-kota di pulau Jawa, termasuk Muntilan.\

 

Herman dan Frans Seda kemudian ke kota Yogyakarta untuk melanjutkan perjalanan hidup mereka, bertahan hidup sembari berharap masa krisis berakhir dan kembali melanjutkan pendidikan.

Di kota Yogyakarta-lah peristiwa heroik itu bermula, Herman Fernandez tergabung dalam PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi), pimpinan Maulwi Saelan. Di palagan Kebumen, tepatnya di Front Gombong Selatan, 1-2 September 1947, Herman menunjukkan jiwa patriotiknya dalam pertempuran dua hari bersama Alex Rumambi, karibnya asal Flores dan La Sinrang sahabat perjuangannya asal Sulawesi.

4. Albertus Soegijapranata

Albertus Soegijapranata adalah seorang pahlawan nasional sekaligus uskup. Ia ditahbiskan sebagai uskup pribumi pertama 1940 oleh keputusan Paus Pius XII.

Sebagai uskup, Soegija pada saat itu membawahi pastor-pastor Belanda. Untuk menunjukkan nasionalismenya, ia menyebutkan semboyan “100 Katolik 100 Indonesia”.

Saat tragedi kekacauan di Semarang, Soegija menengahi konflik. Dan saat, ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, ia turut memindahkan pusat administrasinya dari Semarang ke Yogyakarta.


5. Agustinus Adisoetjipto

Agustinus Adisoetjipto adalah pilot pertama yang berasal dari orang Indonesia. Pada 5 oktober 1945 dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR) yang dikepalai oleh Surya Dharma.

Atas perintah Surya Dharma, Adisoetjipto mengecat pesawat Jepang dengan warna merah putih dan menerbangkannya kesana kemari untuk membakar semangat para pejuang yang melihat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan.

Adisoetjipto juga diberi tugas menjemput bantuan obat–obatan di Hindia dan Malaya dengan menerobos blokade Belanda. Saat pesawat yang diterbangkan tiba di Yogyakarta, mengalami tragedi penembakan oleh dua pesawat Belanda. Adisoetjipto juga berhasil mendirikan sekolah penerbangan pertama di Indonesia yang berlokasi di Yogyakarta.

 

6. Ignatius Slamet Rijadi

Slamet Rijadi adalah pahlawan yang berhasil membawa kabur kapal Jepang pada usia 17 tahun, dan mengumpulkan para pejuang kemerdekaan untuk merebut kembali kota Surakarta yang telah diduduki oleh Belanda.

Pada masa pemberontakan, pahlawan kelahiran Surakarta ini juga berperan menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh DI TII, Ratu Adil dan Andi Azis. Sebagai Tentara Nasional Indonesia, Slamet Rijadi juga diutus untuk menumpas Republik Maluku Selatan (Ambon) dan disanalah dia wafat.

Ia bekerjasama dengan EA Kawilarang untuk cita–cita bersama membentuk Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat RPKAD yang kini disebut Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS).

7. Robert Wolter Mongonsidi

Mongonsidi dilahirkan di Malalayang pada 1925. Ia adalah alumni sekolah Frater Don Bosco Manado yang dikenal dengan nama AMS (Algemene Middelbare School) pada 1950.

“Setia hingga akhir dalam keyakinan”, catatan itulah yang menjadi pesan terakhirnya sebelum di eksekusi mati di hadapan regu tembak pada 1949.

8 . Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono

Ignatius Joseph Kasimo lahir di Yogyakarta pada 10 April 1900 dan meninggal di Jakarta, 1 Agustus 1986 di usia 86 tahun. Ia menjadi salah satu pelopor kemerdekaan Indonesia.

Pendiri Partai Katolik Indonesia ini beberapa kali menjabat sebagai Menteri setelah Indonesia merdeka. Ia dikenal sebagai tokoh yang menjunjung tinggi moto 'salus populi suprema lex', yang berarti kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi.

9. Karel Sadsuitubun

Karel Sadsuitubun atau lebih populer dengan nama KS Tubun merupakan satu-satunya polisi yang menjadi korban peristiwa G30S-PKI. Karel lahir di Rumadian, Kei Kecil, Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928.

Pada peristiwa 30 September, ia menjaga rumah Perdana Menteri Dr.J. Leimena yang berjarak tak jauh dari rumah Jenderal Nasution.

Para penculik yang hendak membunuh Nasution juga datang ke rumah Leimena dan menyekap para pengawal rumah.

Mendengar keributan K.S. Tubun pun terbangun dan mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Sayangnya, gerombolan itu pun juga menembaknya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Karel tewas setelah besi panas menghujam tubuhnya.

 

10. Yosaphat Soedarso

Komodor Yosaphat Soedarso atau Yos Sudarso gugur dalam tugas bersama KRI Macan Tutul di pertempuran Laut Aru, perairan Maluku, tanggal 15 Januari 1962. Ia lahir di Salatiga pada 24 November 1925.

Yos Sudarso berhasil masuk Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang sekaligus mengikuti pendidikan militer angkatan laut Jepang. Setelah menempuh pendidikan, ia lulus sebagai salah satu siswa terbaik.

Pada 1944, ia bertugas di kapal milik Jepang bernama Goo Osamu Butai sebagai perwira di bawah komando kapten.

Ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat di sektor kelautan (BKR Laut) yang menjadi cikal-bakal TNI-AL. Ia juga pernah memimpin beberapa Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), dari KRI Alu, KRI Gajah Mada, KRI Rajawali, KRI Pattimura, hingga KRI Macan Tutul. Ia bahkan sempat menjadi hakim pengadilan militer selama 4 bulan pada 1958.

11. Wage Rudolf Soepratman

W.R Soepratman adalah pahlawan nasional sekaligus pencipta lagu Indonesia Raya. Ia anak seorang sersan di Batalyon VIII yang bernama Senen. Pada 1914, pahlawan yang lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903 ini ikut Roekijem, saudara perempuannya ke Makassar. Di sana ia menempuh pendidikan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama

12. Willem van Eldik

Saat berusia 20 tahun, ia menjadi guru di Sekolah Angka 2. Setelah dua tahun, ia memperoleh ijazah Klein Ambtenaar.

Dari Makassar, ia lalu kembali ke Jawa tepatnya ke Bandung dan menjalani profesi sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaannya itu tetap dilakukannya meski tinggal di Jakarta.

Soepratman diketahui pandai menggubah lagu dan biola. Sebab, saat berada di Makassar, ia mendapatkan pelajaran musik dari kakak iparnya.

Pada 1924, saat di Bandung, ia menggubah lagu Indonesia Raya. Lagu itu mulai diperkenalkan pada Oktober 1928 saat Kongres Pemuda II.
 

Topik Menarik