3 Skenario Masa Depan Suriah, Pemerintah Otoriter atau Bersatu?

3 Skenario Masa Depan Suriah, Pemerintah Otoriter atau Bersatu?

Global | okezone | Sabtu, 14 Desember 2024 - 13:20
share

JAKARTA - Berakhirnya pemerintahan brutal keluarga Assad selama puluhan tahun di Suriah, menyusul operasi militer pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), telah menimbulkan pertanyaan soal masa depan negara tersebut.

Pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani, berjanji untuk menyatukan Suriah, tetapi masih belum pasti apakah ia dapat mencapai tujuan ini.

Geir Pedersen, utusan khusus PBB untuk Suriah, menekankan perlunya kerja sama di antara semua kelompok di Suriah.

"Secara umum, kami telah melihat pernyataan yang meyakinkan dari HTS dan kelompok bersenjata lainnya," kata Pedersen, melansir BBC, Sabtu (14/12/2024).

Walaupun ia mengaku mencatat ada masalah "mengenai hukum dan ketertiban" di Suriah.

Mengingat situasi yang berubah dengan cepat, sulit untuk memprediksi masa depan Suriah.

Para ahli menguraikan tiga skenario terkait masa depan Suriah.

1. Suriah yang bersatu

Dalam skenario terbaik, HTS akan bekerja sama dengan entitas-entitas politik sipil lainnya guna memerintah Suriah secara bertanggung jawab.

Suriah bisa menempuh rekonsiliasi nasional pascaperang sehingga terhindar dari siklus balas dendam dan penjarahan seperti yang terlihat di negara-negara tetangga.

Sejauh ini, Jolani telah menyerukan persatuan dan rasa saling menghormati di antara berbagai kelompok di Suriah.

Namun, banyak kelompok di Suriah memiliki agenda berbeda.

"Pada kenyataannya, saat ini Suriah berada dalam posisi yang tidak diketahui. HTS telah menempatkan diri mereka untuk membuka transisi damai di Suriah, tetapi situasinya sangat tidak stabil," kata seorang profesor hubungan internasional dan pakar Timur Tengah di Universitas Queen Mary, Inggris, Christopher Phillips.

Di bagian selatan Suriah, terdapat suku-suku yang tidak mengakui otoritas keluarga Assad dan kecil kemungkinan mereka tunduk pada pemerintahan baru di Damaskus.

Di bagian timur, masih ada sisa-sisa kelompok ISIS yang terus menimbulkan ancaman dan memicu serangan udara AS.

Di bagian timur laut Suriah, kelompok-kelompok pimpinan suku Kurdi yang didukung oleh Amerika Serikat menguasai sebagian wilayah tersebut.

Faksi-faksi ini juga telah bertempur melawan kelompok pemberontak sokongan Turki di wilayah utara Suriah selama bertahun-tahun. Bahkan, pertempuran masih terjadi di wilayah-wilayah tersebut.

Selain kelompok-kelompok di dalam negeri, ada pula sejumlah kelompok oposisi dan blok politik yang telah terbentuk di luar Suriah sejak 2011.

Masih belum jelas apakah tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok ini akan kembali ke Suriah dan menjadi bagian dari proses transisi politik.

seorang profesor di Universitas Lausanne di Swiss, Joseph Daher, mengatakan prospek pemerintahan bersatu di Suriah masih belum pasti.

"Dalam skenario terbaik, akan ada pemilihan umum yang bebas, pembagian kekuasaan dan desentralisasi, yang mengarah pada kekuasaan yang lebih bersatu. Namun, ini masih harus dilihat."

Daher, bersama para ahli lainnya, menganggap skenario ini tidak mungkin. Dia justru menyoroti kontradiksi dalam pengumuman pertama Jolani untuk khalayak umum.

"Jolani pertama-tama menyatakan bahwa perdana menteri rezim sebelumnya akan mengawasi transisi. Setelah itu, ia mencalonkan perdana menteri Pemerintahan Keselamatan Nasional (Mohammed al-Bashir)—pemerintahan di Idlib yang tunduk di bawah otoritas HTS."

 

Namun, Daher yakin HTS akan kesulitan mengelola seluruh negara sendirian, meskipun punya "keinginan kuat untuk mengonsolidasikan kekuasaan".

"Saya tidak yakin ini akan terjadi, karena otoritas (HTS) sudah sangat direntangkan. Sangat sulit untuk mengelola (Suriah)," katanya.

"Awalnya, mereka hanya mengelola Idlib. Sekarang mereka mengelola Aleppo, Hama, Homs, dan Damaskus. Jadi, akan ada kebutuhan untuk berbagi kekuasaan di area ini."

2. HTS berkuasa secara otoriter

Ada kekhawatiran bahwa HTS akan mengonsolidasikan kekuasaannya melalui cara-cara otoriter, dengan cara yang sama seperti rezim Assad.

Jolani telah membangun basis kekuatan di Idlib—yang pernah menjadi pusat kekuatan pemberontak terbesar di Suriah barat laut dan rumah bagi sekitar empat juta orang. Banyak di antara mereka mengungsi dari provinsi-provinsi Suriah lainnya. Di sana, Pemerintah Keselamatan Nasional menjalankan fungsi-fungsi sipil sambil mempertahankan dewan agama yang mengikuti hukum syariat.

Jolani telah berusaha menunjukkan HTS dapat memerintah secara efektif dengan memprioritaskan stabilitas dan layanan publik. Namun, ketika menguasai Idlib, HTS dinilai meminggirkan faksi-faksi lain dan menekan perbedaan pendapat.

Menjelang serangan pimpinan HTS pada 27 November, protes meletus di Idlib. Sejumlah tokoh Islam dan aktivis Suriah menuduh HTS melakukan praktik-praktik otoriter.

"Cara HTS mengonsolidasikan kekuasaannya utamanya adalah melalui tindakan represif, meskipun mereka juga mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengikutsertakan semua kelompok bersenjata oposisi (di Idlib) dan menyediakan layanan. Namun, kekuasaannya ditandai pula dengan tindakan represif yang keras dan memenjarakan lawan politik," kata Daher.

Menanggapi kritik-kritik ini, HTS telah melaksanakan reformasi, seperti membubarkan pasukan keamanan yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan membentuk departemen pengaduan untuk menangani pengaduan warga. Namun, para kritikus berpendapat reformasi ini hanyalah kedok untuk meredam perbedaan pendapat.

HTS berkeras konsolidasi kekuasaan di Idlib diperlukan untuk kemajuan Suriah dan penggulingan rezim Assad.

Namun, Daher berpendapat bahwa HTS menghadapi situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya saat ini.

"Dengan memperluas kekuatannya hingga ke Damaskus, kelompok itu tidak memiliki sumber daya militer dan manusia untuk mengelola semua wilayah ini," ujarnya.

 

3. Perang saudara

Skenario terburuk adalah Suriah terjerumus ke dalam kekacauan, mirip seperti Arab Spring pada 2011 silam.

Muammar Gaddafi dari Libya dan Saddam Hussein dari Irak disingkirkan dari tampuk kekuasaan tanpa pengganti yang siap. Ketika kekacauan terjadi, negara-negara lain melakukan intervensi yang malah berkontribusi pada rentetan bencana.

Para kritikus mengatakan kevakuman yang ditinggalkan oleh para penguasa otoriter itu diisi oleh gelombang penjarahan, balas dendam, perebutan kekuasaan, dan perang saudara.

Dalam skenario ini, persaingan antarkelompok bersenjata untuk mendapatkan kekuasaan di Suriah dapat menyebabkan kekerasan meluas. Ini tidak hanya akan mengganggu stabilitas Suriah, tetapi juga seluruh wilayah Timur Tengah.

Koresponden Khusus BBC Arabic, Feras Kilani, melaporkan dari lapangan bahwa pidato pertama Mohammed al-Bashir sebagai perdana menteri telah membuat banyak orang khawatir dan mengisyaratkan kemungkinan arah pemerintahan baru.

"Perdana menteri baru itu berpidato dengan dua bendera di belakangnya—'bendera revolusi' dan bendera yang menyerupai bendera Taliban. Hal ini mengejutkan banyak orang karena menunjukkan bahwa pemerintahan baru mungkin akan mengikuti model Taliban, menciptakan negara Islam yang diatur oleh hukum syariat," katanya.

"Ini menimbulkan tantangan baru dan pertanyaan baru tentang masa depan kaum minoritas serta kelompok sipil di negara ini," tuturnya.

Keseimbangan antara kekuatan-kekuatan asing

Ketiga skenario itu juga akan bergantung pada tindakan kekuatan-kekuatan asing.

Selama beberapa dekade, Assad mengandalkan dukungan dari Iran dan Rusia. Sementara itu, Turki, negara-negara Barat, dan negara-negara Teluk mendukung berbagai kelompok oposisi.

Selama beberapa hari terakhir, Israel telah menargetkan infrastruktur militer Suriah dan mengakui pasukannya beroperasi di luar zona penyangga demiliterisasi antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan.

Israel mengatakan telah melakukan ratusan serangan udara di Suriah sejak Assad meninggalkan negara itu. Aksi tersebut menghancurkan "sebagian besar persediaan senjata strategis Suriah."

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga memperingatkan pasukan pemberontak Suriah agar tidak membiarkan Iran "membangun kembali" di Suriah.

Rangkaian aksi Israel tersebut membuat Turki dan negara-negara Timur Tengah lainnya menuduh Israel mengeksploitasi kejatuhan Assad.

Christopher Phillips memperingatkan bahwa tindakan Israel dapat "melemahkan pemerintah sementara atau membuat kelompok garis keras semakin berani" yang ujungnya membuat Suriah tidak stabil.

Baik Phillips maupun Daher setuju bahwa sanksi internasional terhadap Suriah harus dicabut untuk mendukung pemulihan ekonomi. Adapun negara-negara lain harus memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Suriah.

"Sekarang rezim Assad sudah lengser, sanksi harus dicabut. Saya pikir sangat penting bagi Uni Eropa dan AS untuk mempertahankan, dan bahkan mungkin meningkatkan, bantuan pemulihan ekonomi dan bantuan kemanusiaan," kata Daher.

Phillips menambahkan bahwa, sebagai imbalan atas keringanan sanksi, AS dan UE dapat mencari "konsesi, seperti konstitusi baru atau reformasi demokratis".
 

Topik Menarik