SPECIAL REPORT: Partisipasi Pilkada 2024 Menurun, Tanda Masyarakat Jenuh Coblosan?

SPECIAL REPORT: Partisipasi Pilkada 2024 Menurun, Tanda Masyarakat Jenuh Coblosan?

Terkini | okezone | Sabtu, 7 Desember 2024 - 14:16
share

JAKARTA - Partisipasi pemilih dalam gelaran Pilkada serentak yang digelar pada 27 November 2024 mengalami penurunan drastis dibanding 2020. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi pemilih berada di bawah 70 persen.

Pilkada serentak 2024 digelar di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada tersebut untuk memilih gubernur-wakil gubernur, wali kota-wakil wali kota dan bupati-wakil bupati.

KPU pun tak luput dari berbagai tudingan kurang profesional dalam menyelenggarakan Pilkada. Mulai dari proses administrasi hingga sosialisasi yang kurang memadai.

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menduga, adanya kejenuhan masyarakat dalam gelaran Pilkada. Sebab, waktunya berdekatan dengan Pilpres dan Pileg.

"Ya, mungkin juga ini dikarenakan ada kejenuhan antara pelaksanaan Pileg, Pilpres dengan Pilkada, terlalu berdekatan," ujar Bima Arya beberapa waktu lalu.

Faktor lainnya juga bisa penyebab kurangnya partisipasi pemilih, kata Bima, misalnya kandidat yang maju Pilkada tidak berasal dari daerah tersebut. "Mungkin kedikenalannya lebih rendah sehingga itu merupakan disinsentif bagi pemilih untuk memilih," imbuhnya.

Hal senada diungkap Mahfud MD. Mantan Menko Polhukam 2019-2024 itu melihat sejumlah faktor penurunan partisipasi di Pilkada. Menurut di, keinginan melihat tokoh baru dalam kontestasi politik hingga ketidakpercayaan terhadap jalannya Pilkada.

 

“Kalau teorinya kan macam-macam yah, sudahlah percayakan kepada yang memilih. Tapi ada juga teori yang mengatakan untuk apa memilih paling yang terpilih begitu begitu juga,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang yang ditayangkan di kanal youtube Mahfud MD Official.

“Ada juga mungkin meskipun kecil ah untuk apa juga curang-curang juga hasilnya bukan kita yang menentukan, gitu kan? Itu bisa saja, bisa macam-macam, tinggal disurvei berapa orang yang berpendapat seperti itu,” imbuhnya.

Secara prosedural, diakui Mahfud, memang lebih sukses dibanding Pilkada sebelumnya. Lain hal dengan substansial yang belum memuaskan, seperti menurunnya angka partisipasi pemilih. “Angka partisipasi sekarang ini turun menjadi hanya 68 koma sekian persen. Padahal dulu pilkada di tahun 2020 itu mencapai 76 persen,” sebutnya.

Padahal, Pilkada serentak 2020 digelar pada masa pandemi Covid-19. Kala itu banyak penolakan penyelenggaraan karena khawatir Covid-19 semakin mewabah. Pihaknya berhasil membuktikan, angka korban pandemi bisa ditekan sementara jumlah partisipasi pemilih tetap tinggi.

Tapi ternyata di daerah-daerah Pilkada enggak ada korban jiwa, yang banyak korban jiwa justru di wilayah-wilayah yang enggak ada Pilkada waktu itu. Karena waktu itu, lanjut Mahfud, setiap minggu saya dan Pak Tito (Mendagri Tito Karnavian, red) selalu bicara dengan kepala daerah, Kapolda, Kapolres, Dandim, Pangdam dan sebagainya supaya dijaga betul.

Pengamat politik Adi Prayitno justru mempertanyakan legitimasi pemenang Pilkada jika tingkat partisipasi pemilihnya sangat rendah. Ia mengambil contoh di Jakarta, hanya 57,2 persen partisipasi pemilihnya berdasarkan Quick Count Parameter Politik Indonesia. "Itu sangat rendah," katanya.

Ada sejumlah faktor yang menurutnya menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih. Sama seperti Bima Arya, ia menyebut salah satunya jenuh karena baru saja memilih presiden, wakil presiden, dan anggota DPR.

Kemudian, masyarakat masih diliputi rasa kecewa dengan para pemimpinnya. Misal, masalah fundamental di Jakarta tidak kunjung tuntas meski sudah berkali-kali ganti pemimpin.

"Silih berganti gubernur. Tapi, persoalan krusial seperti banjir dan macet termasuk soal akses terhadap pekerjaan belum tuntas," imbuhnya. 

Faktor lainnya karena kurang sosialisasi dari penyelenggara Pilkada. Padahal, anggaran yang dikeluarkan untuk hajatan demokrasi. 
 

Topik Menarik