Asa Pemberantasan Korupsi bagi KPK yang Hilang Taji

Asa Pemberantasan Korupsi bagi KPK yang Hilang Taji

Nasional | okezone | Kamis, 5 Desember 2024 - 21:27
share

JAKARTA - Huruf 'P' dalam akronim KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlahan memudar dalam beberapa tahun belakangan ini. KPK dianggap telah kehilangan taji. Kritik demi kritik bermunculan terhadap kinerja lembaga antirasuah yang lahir dari rahim reformasi.

Kemunduran KPK dimulai dari berkurangnya Operasi Tangkap Tangan (OTT), hingga beberapa kali kalah dalam gugatan praperadilan. Padahal, dulu KPK merupakan lembaga yang paling ditakuti para koruptor. Bahkan, jika ditarik 15 tahun ke belakang, rakyat menaruh banyak harapan pada KPK.

Kini, KPK mulai kehilangan simpatik. Bukan hanya soal kinerja, tapi juga karena banyaknya pegawai yang melanggar kode etik. Hasil sejumlah survei menyebut KPK menjadi lembaga yang paling rendah dalam mendapatkan tingkat kepercayaan publik.

Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 27 Mei-2 Juni 2024, KPK menjadi lembaga yang paling rendah mendapatkan citra positif. KPK hanya mendapatkan penilaian citra positif sejumlah 56,1 persen.

Sementara, lembaga lainnya yakni Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat penilaian positif sebanyak 61,4 persen; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 62,6 persen; Mahkamah Agung (MA) 64,8 persen; Kejaksaan 68,1 persen; Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 68,6 persen; Polri 73,1 persen; dan tertinggi TNI 89,8 persen.

Kemudian, survei nasional Indikator periode 10-15 Oktober 2024 soal kepercayaan publik terhadap lembaga di Indonesia, KPK juga mendapat penilaian paling rendah setelah partai politik. Jika dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, KPK dinilai paling rendah tingkat kepercayaan publik.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anindya melihat KPK sudah tidak optimal dalam pemberantasan korupsi. KPK dianggap mengalami disfungsi. Bahkan, menurut Diky, keberadaan KPK perlahan harus dipertanyakan kembali. Salah satunya, karena KPK kerap dilanda berbagai kontroversi.

"Kondisi ini dapat dilihat dari rentetan kontroversi silih berganti selama kurun waktu lima tahun terakhir. Mulai dari rendahnya kuantitas serta kualitas penindakan, skandal pelanggaran etik dan pidana yang dilakukan pimpinan, hingga memburuknya tata kelola kelembagaan," ucap Diky kepada Okezone dikutip Rabu (4/11/2024).

"Akibatnya seperti saat ini, hampir semua jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei menempatkan lembaga antirasuah itu pada titik terendah dalam tingkat kepercayaan masyarakat," sambungnya.

Penyebab lain kemunduran lembaga antikorupsi, kata Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, karena adanya perubahan Undang-Undang (UU) KPK hingga terpilihnya para komisioner yang bermasalah. Independensi dan integritas KPK dianggap mulai terkikis sejak UU baru KPK dijalankan.

"Studi Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment 2023 yang disusun Transparency International Indonesia menegaskan bahwa keputusan politik untuk merevisi Undang-Undang KPK terbukti berdampak buruk pada ekosistem hukum di Indonesia," ungkap Alvin dikutip Kamis (5/12/2024).

KPK diketahui pernah mendapatkan kepercayaan publik tertinggi pada periode 2014-2015. Bahkan, berdasarkan hasil survei Indo Barometer pada 14-22 September 2015, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK sempat menyalip TNI dan Presiden.

Salah satunya, karena KPK saat itu belum di bawah kekuasaan dan masih dinilai independen. KPK saat itu juga dianggap berhasil karena giat penindakan berupa OTT sebagai tembakan terbaik dalam pemberantasan korupsi.

Pada periode 2016 hingga 2019, KPK kerap melakukan tangkap tangan mulai dari tingkat terbawah hingga ke pejabat teratas sekalipun. Taji KPK saat itu banyak diapresiasi.

Berdasarkan catatan Okezone, KPK menorehkan coretan 17 OTT pada 2016 dengan menetapkan 52 tersangka. Kemudian, KPK melakukan OTT sebanyak 19 pada 2017; 30 OTT pada 2018; dan 21 OTT pada 2019. Coretan itu terjadi di periode kepemimpinan Agus Rahardjo Cs.

Sementara, pada periode 2020-2024 di kepemimpinan Firli Bahuri dan Nawawi Pomolango, KPK hanya mencatatkan sekira 36 kali OTT dengan rincian, 8 OTT pada 2020; 5 OTT pada 2021; 10 OTT pada 2022; 8 OTT pada 2023; dan 5 OTT pada 2024.

Menurut mantan Penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap, OTT sejatinya masih menjadi langkah ampuh dalam pemberantasan korupsi. KPK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan lebih, seharusnya bisa menyumbangkan banyak sumbangsih dalam pemberantasan korupsi.

"OTT dasar hukumnya jelas dan diatur dalam kewenangan KPK serta sesuai KUHAP. Bahkan sejak KPK dilemahkanpun sampai saat ini, OTT tetap ada walau jumlahnya tidak banyak, tetapi membuktikan bahwa OTT masih diperlukan dalam memberantas korupsi," tegas Yudi dikutip Kamis (5/12/2024).

Menanti KPK Kembali Bertaji

Kendati banjir kritikan, dukungan untuk mengembalikan taji KPK juga turut mengalir. Pimpinan baru KPK diharapkan bisa mengembalikan marwah lembaga antirasuah. Harapan itu dititipkan ke Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono yang baru ditetapkan sebagai Komisioner KPK periode 2024-2029.

Tugas berat bagi Setyo Budiyanto Cs telah menanti. Berharap KPK bisa dipercaya publik kembali. Menghilangkan segala stigma KPK yang saat ini penuh kontroversi.

"Adapun tugas berat tersebut yaitu memulihkan kepercayaan publik kepada KPK yang semakin menurun. Apalagi kontroversi kontroversi yang terjadi di tubuh KPK dibanding dengan prestasi kerja," ucap Yudi Purnomo selaku mantan Ketua Wadah Pegawai KPK.

Setyo Budiyanto dipercaya untuk memimpin nahkoda KPK di lima tahun ke depan. Yudi yakin Setyo bisa menuntaskan tugas berat yang telah menanti di KPK. Apalagi, kata Yudi, pengalaman Setyo yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK.

"Sehingga tentu penindakan korupsi akan menjadi prioritasnya. Tidak ada rekam jejak buruk Setyo selama di KPK. Malah banyak kasus besar yang ditangani Setyo sebagai Dirdik," beber Yudi.

Andil pemerintah juga dianggap perlu untuk mengembalikan taji KPK. Salah satunya, dengan mengembalikan UU lama KPK. Dengan begitu, menurut Transparency International Indonesia (TII), KPK bisa lebih independen dalam memberantas korupsi.

"KPK harus dikembalikan sebagai lembaga negara yang bersifat independen dengan mengeluarkan KPK dari rumpun kekuasaan eksekutif," ungkap Peneliti TII, Alvin Nicola.

Sementara itu, Ketua KPK terpilih, Setyo Budiyanto mengakui tugas yang menantinya cukup berat. Apalagi, dengan beban yang diwariskan dari kepemimpinan KPK sebelumnya.

"Saat ini memang kondisi yang terberat dihadapi di sisa kepemimpinan Pak Nawawi dan pastinya berdampak kepada pimpinan 2024 - 2029. Untuk formulasi menjadi tugas dan tanggung jawab kami berlima untuk bersama-sama mencari cara yang tepat dan cepat agar citra dan daya KPK bisa kembali ampuh lagi," kata Setyo.

Topik Menarik