Mengenal Hay’at Tahrir Al-Sham, Kelompok Pemberontakan di Suriah
JAKARTA - Pada tahun 2016, terjadi serangan udara besar-besaran oleh Rusia untuk membantu pasukan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, dalam merebut kembali Aleppo dari tangan pemberontak. Peristiwa ini menjadi titik balik penting dalam perang saudara Suriah, meskipun sejak 2020 konflik berada dalam situasi stagnan. Namun, pada akhir pekan lalu, serangan mendadak dan besar-besaran dari pihak pemberontak kembali mengguncang Aleppo, menciptakan ancaman terbesar bagi rezim Assad dalam beberapa tahun terakhir.
Melansir The Guardian, Rabu (4/12/2024), serangan terbaru ini dimulai pada Rabu (27/11/2024) lalu ketika kelompok pemberontak, dipimpin oleh Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), mengklaim berhasil merebut pangkalan militer dan 15 desa yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah di wilayah barat laut Aleppo. Kelompok ini bahkan memutus jalur utama yang menghubungkan Damaskus dengan Aleppo, sebuah langkah strategis yang membuat rezim Assad semakin tertekan.
Sebagai respons, Rusia melancarkan serangan udara, tetapi upaya ini tampaknya belum cukup untuk menghentikan kemajuan pemberontak. Pada Jumat (29/11/2024) malam, pasukan HTS telah mencapai pinggiran kota Aleppo, dan pada Minggu paginya, mereka tampaknya berhasil menguasai kota sepenuhnya. Sementara itu, pasukan Assad memindahkan bala bantuan ke provinsi Hama, di tengah serangan udara yang terus menghujani wilayah yang dikuasai pemberontak.
Perang saudara Suriah dimulai pada 2011 sebagai buntut dari demonstrasi pro-demokrasi yang terinspirasi oleh gerakan Arab Spring. Rezim Assad merespons protes tersebut dengan kekerasan, memicu pemberontakan bersenjata yang berkembang menjadi konflik multi-faksi. Pada awalnya, tuntutan untuk reformasi pluralistik menjadi dasar gerakan, tetapi konflik dengan cepat terseret ke dalam pusaran ideologi ekstremis.
Kelompok-kelompok jihad seperti ISIS dan afiliasi al-Qaeda mengambil peran dominan, menggeser narasi awal perjuangan rakyat Suriah. Sejak itu, perang ini telah menewaskan lebih dari 500.000 orang dan memaksa hampir 7 juta warga meninggalkan tanah air mereka sebagai pengungsi.
Kemajuan HTS dalam serangan terbaru di Aleppo bukanlah kejutan. Kelompok ini telah mempersiapkan operasi besar tersebut selama beberapa waktu. Mereka melakukan latihan militer besar-besaran, membangun akademi militer, dan memperkuat koordinasi di medan perang. HTS juga memanfaatkan situasi geopolitik, termasuk kelemahan sekutu Assad.
Hizbullah, yang biasanya menjadi pendukung utama rezim, kini dilemahkan oleh serangan Israel di Lebanon. Di sisi lain, Rusia sedang sibuk dengan perang di Ukraina, yang membuat perhatian militernya di Suriah menjadi terbagi. Selain itu, eskalasi serangan udara Israel terhadap depot senjata Iran di Aleppo turut menciptakan peluang bagi pemberontak untuk melancarkan serangan.
Melansir Al-Jazeera, HTS sendiri adalah kelompok jihad terbesar di Suriah. Awalnya dikenal sebagai Jabhat al-Nusra, kelompok ini adalah afiliasi al-Qaeda yang kemudian memutus hubungan dengan organisasi tersebut pada tahun 2016 dan mengganti namanya menjadi Hay’at Tahrir al-Sham.
Dipimpin oleh Abu Muhammad al-Jolani, HTS menguasai wilayah Idlib yang dihuni sekitar 4 juta orang. Dengan kekuatan militer mencapai 30.000 pasukan, HTS memiliki kendali penuh atas wilayah ini, termasuk melalui Pemerintahan Penyelamatan Suriah yang mereka dirikan pada tahun 2017. Meski HTS dianggap sebagai kelompok teroris oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), fokus mereka cenderung terbatas pada konflik lokal, berbeda dengan ISIS yang memiliki ambisi global.
Serangan terbaru ini juga memperlihatkan keberhasilan HTS dalam memimpin operasi besar seperti Deterrence of Aggression, yang melibatkan berbagai faksi pemberontak lainnya. Selain HTS, Front Pembebasan Nasional, Ahrar al-Sham, Jaish al-Izza, dan kelompok lainnya ikut ambil bagian dalam operasi tersebut. Faksi-faksi ini memperkuat kekuatan pemberontak dalam merebut kembali wilayah yang sebelumnya dikuasai rezim Assad.
Meski HTS mengalami banyak kemajuan, banyak analis percaya bahwa rezim Assad akan segera melancarkan serangan balasan. Strategi lama Assad biasanya melibatkan konsolidasi kekuatan sebelum meluncurkan serangan yang lebih terkoordinasi. Serangan udara oleh Rusia kemungkinan akan meningkat dalam waktu dekat, sementara pasukan darat Assad telah berkumpul di Hama untuk mempersiapkan serangan balasan.