BPIP Gandeng Unpatti Gelar Diskusi Panel Etika dan Agama untuk Kemajuan Bangsa

BPIP Gandeng Unpatti Gelar Diskusi Panel Etika dan Agama untuk Kemajuan Bangsa

Nasional | okezone | Jum'at, 20 September 2024 - 23:15
share

AMBON- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Pattimura (Unpatti) menggelar diskusi panel tentang kerapuhan penyelenggara negara dalam berbangsa dan bernegara dari sisi etika dan agama untuk kemajuan bangsa. Diskusi ini bertajuk 'Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara : Etika dan Agama'.

Direktur Eksekutif Ma'arif Institute Andar Nubowo mengatakan, peran agama di Indonesia dinilai semakin bergeser dari esensinya dan kini lebih sering digunakan sebagai formalitas serta alat politik.

“Dengan agama digunakan sebagai instrumen politik, peran agama dalam menjaga etika dan moralitas masyarakat melemah, menyebabkan terjadinya apa yang disebut Nubowo sebagai tragedi etika dan moralitas publik,”ujarnya, Jumat (20/9/2024).  

Padahal, kata dia dalam sejarahnya, peran agama di Indonesia selalu dijadikan basis etika dalam kehidupan berbangsa, bahkan ikut menjadi instrument mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di negara-negara barat, jelas Andar, dikembangkan konsep mengenai civil religion yang berasal dari nilai universal dan nilai profetik agama yang ditumpukan atau disandarkan pada nilai-nilai agama yang nilai universal sekaligus digabungkan pada prinsip sekular modern di Barat.

“Ini saya kira perlu jadi renungan kita semua bagaimana negara kita yang berideologi Pancasila perlu melakukan radikalisasi Pancasila, sebagaimana yang disebutkan Kuntowijoyo. Jadi bagaiman jadikan pancasila sebagai ideologi dasar kita. Sehingga Pancasila bukan cuma batang tubuh, tapi juga kaki-kaki kita,”pungkasnya.

Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir mengatakan, Indonesia dan beberapa negara sudah masuk dalam tahap post-sekularism yang mengarah formalisasi. Beragama sifatnya hanya artifisia, sehingga tidak mendorong pada motivasi orang menjadi progresif.

“Misalnya bagaimana tentang kemiskinan, bagaimana kemiskinan direspons oleh agama-agama di Indonesia. Ya karena sering ambil sifatnya yang formalistic,” pungkasnya.

 

Akademisi IAIN Ambon, Abidin Wakano menambahkan, agama sudah tidak lagi memiliki daya untuk menuntun masyarakat menjawab berbagai tantangan sosial dan justru terjebak dalam industrialisasi politik identitas.

“Oligarki, kapitalisasi agama membuat agama-agama ikut terperangkap dalam sistem oligarki,” tegas Wakano, yang menyoroti kekuatan ekonomi dan politik elit turut menggerus otoritas moral agama.

Wakano menilai sejak Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, agama telah digunakan secara luas dalam narasi politik identitas. Penggunaan agama dalam politik ini menyebabkan segregasi sosial, memecah masyarakat berdasarkan identitas agama, dan memunculkan mentalitas in-group dan out-group.

Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional Ahmad Najib Burhani mengungkapkan adanya paradoks dalam keberagamaan di Indonesia. Salah satunya pluralits yang terbatas.

Burhani juga menyebutkan paradoks negara beragama dan berketuhanan yang menunjukkan ada korelasi yang tampak negatif antara kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dengan keyakinan terhadap pentingnya agama.

“Negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi cenderung masyarakatnya menganggap agama tidak penting,” ujarnya, merujuk pada World Happiness Index yang menunjukkan bahwa negara-negara yang lebih bahagia sering kali adalah negara yang tidak terlalu religius.

Namun, Burhani juga mencatat bahwa negara-negara yang religius sering kali unggul dalam filantropi, termasuk Indonesia.  "Filantropi adalah salah satu kekuatan dari negara beragama seperti Indonesia," tandasnya.

 

Di sisi lain Akademisi Universitas Satya Wacana Salatiga Izak Lattu menekankan pentingnya memperkuat nasionalisme berdasarkan Pancasila.

“Kita harus kembali ke Pancasila sebagai akta hidup bersama yang harus ditempatkan sebagai political covenantal pluralism,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Interfidei Elga Sarapung mempertanyakan pengakuan terhadap keberagaman agama di Indonesia.

“Setelah 79 tahun merdeka, kita masih berputar di sekitar berapa agama yang diakui. Masih banyak Masyarakat yang menyebut hanya 5 agama yang diakui di Indonesia,” pungkasnya.

Topik Menarik