Kerugian Ekologis Dinilai Tak Bisa Dijadikan Bukti Korupsi

Kerugian Ekologis Dinilai Tak Bisa Dijadikan Bukti Korupsi

Nasional | okezone | Minggu, 5 Januari 2025 - 21:17
share

JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Mataram, Ufran Trisa menilai kejaksaan gagal membuktikan kerugian negara Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi timah hingga akhir persidangan. Ditambah, kerugian ekologis dianggap tidak bisa dijadikan bukti korupsi.

"Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," kata Ufran dalam keterangannya, dikutip Minggu (5/1/2025).

Dalam perkembangannya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengalihkan perhatian pada lima perusahaan yang diduga berperan dalam menyebabkan kerugian negara, yaitu PT Refined Bangka Tin (RBT) Rp38,5 triliun, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Rp24,3 triliun, PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) Rp23,6 triliun, Tinindo Inter Nusa (TIN) Rp23,6 triliun, dan CV Venus Inti Perkasa (VIP) Rp42 triliun.

Ufran juga menyoroti cara penghitungan kerugian negara berdasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014. Menurutnya, belum ada argumentasi yang kuat untuk menyatakan kerugian ekologis termasuk kerugian keuangan negara. 

 

Seharusnya, kata Irfan, perhitungan kerugian negara menjadi wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur oleh konstitusi. Walaupun setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012, kewenangan ini dibagikan ke beberapa lembaga lain, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," tuturnya.

Ia menambahkan, perbedaan hasil audit antara kedua lembaga ini seringkali menciptakan ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya dapat merugikan kejelasan proses hukum dan legitimasi dalam penanganan kasus. Belum lagi diperparah upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit.

Topik Menarik