Masjid Sabilillah Saksi Bisu Perjuangan Peristiwa 10 November di Malang
MALANG - Masjid di Kota Malang mempunyai cerita sendiri di saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada 10 November 1945. Saat itu arek-arek Malang membantu arek-arek Surabaya mengusir Belanda dan sekutunya.
Masjid yang berada di pertigaan Jalan Ahmad Yani, Blimbing, Kota Malang, itu memang lokasinya strategis. Lokasinya menjadi penanda pintu masuk ke Kota Malang dari sisi utara.
Lokasinya berada di jalur strategis mengarah ke Surabaya membuatnya dijadikan lokasi berkumpul para laskar. Laskar-laskar itu berada di bawah komando KH. Zainul Arifin diberi nama Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah di bawah komando KH. Masykur. Laskar inilah yang turut berjuang untuk mengusir penjajah di pertempuran 10 November di Kota Surabaya.
Berdiri di selatan Masjid Jami' Blimbing, Masjid Sabilillah ini sebenarnya mulai ada keinginan untuk pembangunan sejak tahun 1968, yang sebelumnya tanah kosong untuk berkumpulnya pasukan. Masjid Sabilillah sendiri dibangun karena masjid lama di sisi utaranya, tak lagi mampu menampung jamaah yang terus membludak.
Gibran Rakabuming Raka Blusukan di Ngoresan, Dampingi Paslon Walikota dan Wakil Walikota Surakarta
Sekretaris Takmir Masjid Sabilillah, Akhmad Farkhan menyatakan, bahwa Masjid Sabilillah lama sudah sejak ada sejak zaman era kemerdekaan di tahun 1945, namun lantaran jamaah yang terus membludak keinginan untuk membuat masjid baru terus meningkat.
"Setelah tahun 1968 itu, jamaah masjid yang lama tidak lagi muat karena kian hari jama'ah yang kian bertambah. Maka pada 1968 dibentuklah panitia pembangunan Masjid Blimbing yang baru oleh KH. Nakhrawi Thohir," ungkap Farkhan, ditemui di ruang Takmir Masjid Sabilillah.
Usai panitia terbentuk, peletakan batu pertama dilakukan pada tahun 1974 di sebuah tanah kosong di selatan Masjid Jami' Blimbing yang dulu dijadikan markas pejuang saat mengusir penjajah di pertempuran 10 November Surabaya.
"Karena berbagai hal pembangunan masjid ini sempat macet. Kemudian pada 4 Agustus 1974 atas prakarsa KH. Masykur dibicarakan kembali pembangunan masjid ini di rumah beliau di Singosari. Pada 8 Agustus 1974, pembangunan masjid ini dimulai kembali," jelas Farkhan.
Farkhan menambahkan, usai lanjutan pembangunan ini memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun masjid ini rampung, dengan bantuan dari pemerintah daerah Tingkat II Kotamadya Malang kala itu.
Menurutnya, setelah 6 tahun pembangunan masjid, masjid yang menempati luas 8.100 meter persegi ini terdiri dari tiga bangunan, bangunan induk masjid, bangunan menara, dan bangunan pelengkap uang terdiri dari ruang kantor, tempat wudu, dan ruangan sekolah.
"Masjid Sabilillah ini memiliki konstruksi bangunan dengan melambangkan pergerakan perjuangan Indonesia, jumlah pilar di luar masjid sebanyak 17 buah melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia," jelasnya.
Sementara ketinggian masjid dari lantai bawah hingga atap yakni 8 meter melambangkan bulan dimana Indonesia merdeka dari penjajah.
Sementara tahun kemerdekaan Indonesia 1945 dilambangkan pada lebar masjid dan tinggi menara yakni 45 meter dari permukaan tanah.
Jarak antar pilar satu dan lainnya juga memiliki filosofis, dimana dengan jarak 5 meter antar pilar melambangkan Pancasila dan rukun islam yang jumlahnya juga lima. Di bagian menara masjid berbentuk segi 6 melambangkan rukun iman pada agama islam.
Gibran Rakabuming Raka Blusukan di Ngoresan, Damping Paslon Walikota dan Wakil Walikota Surakarta
Di dalam masjid, juga terdapat 9 pilar menyokong masjid yang melambangkan jumlah Wali Songo yang menjadi penyebar agama islam di Pulau Jawa.
Selain simbol perjuangan arek-arek Jawa Timur mempertahankan kemerdekaan, masjid ini juga menjadi simbol kerukunan antar umat beragama. Pasalnya, di seberang masjid sisi timur terdapat Gereja Katolik Santo Albertus de Trapani Blimbing. Tentu lokasi berdirinya cukup unik, dimana setiap kegiatan keagamaan kedua agama selalu intensif berkomunikasi.
"Duluan gereja berdirinya. Kita baru sekitar 1980-an, jadi kita yang komunikasi dulu ke mereka. Dan Alhamdulillah semua lancar dari dulu," beber Farkhan.
Bahkan karena letaknya yang berseberangan ini tak jarang jama'ah gereja yang beribadah memarkir kendaraan bermotornya di halaman Masjid Sabilillah.
Tokoh Gereja Santo Albertus de Trapani, Romo Paroki Agus Purnomo Yulius menyebut bila jamaah gerejanya beberapa kali menitipkan kendaraan bermotornya di halaman masjid. "Kita komunikasi intensi dengan pihak Takmir Masjid Sabilillah. Beberapa kali ibadah gereja juga kendaraan jamaah diparkir di masjid karena letak gereja berada di pinggir jalan," tuturnya.