Perampasan Aset Tindak Pidana dan Pembuktian Terbalik
Romli Atmasasmita
SETELAH Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) (1999/2001) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) (2010) diundangkan telah terbukti bahwa upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi masih mengalami hambatan, terutama dalam hal pengembalian kerugian negara dan pemulihan aset tindak pidana secara maksimal. Hal ini disebabkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun di dalam UU Tipikor dan UU TPPU aquo tidak diatur secara rinci dan jelas baik mengenai hukum materiil maupun hukum formil mengenai bagaimana norma dan prosedur perampasan aset tipikor dapat dioptimalkan.
Di dalam pertimbangan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana antara lain dikemukakan bahwa, (b) perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional sekaligus mengurangi kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum sehingga diperlukan pengaturan mengenai perampasan aset terkait dengan tindak pidana.
Akan tetapi, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini tidak bertujuan untuk menghukum pelaku/pemilik aset yang diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 angka 3: Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapi tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Pola perampasan aset tindak pidana sebagaimana diatur di dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini menganut perampasan aset tindak pidana, dikenal In Rem Forfeiutre, dan tidak menganut In Personam Forefeiture atau perampasan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana/pemilik aset tindak pidana yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya yang sah.
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menganut pendekatan in-rem forefeiture, dalam arti yang dijadikan target adalah hanya perampasan aset tindak pidana, bukan pelaku tindak pidana yang menguasai aset tindak pidana. Perampasan aset in-rem forfeiture tidak bertujuan menghukum pelaku tindak pidananya. Pola pendekatan relatif baru di dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini merupakan perubahan mendasar dalam strategi pemberantasan tindak pidana khususnya dalam tindak pidana korupsi yang telah berhasil dipraktikkan di negara anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Perubahan tersebut juga mengakibatkan perubahan dalam hukum pidana formil, hukum acara perampasan aset tindak pidana, yaitu perampasan dilakukan berdasarkan prosedur gugatan keperdataan yang dilaksanakan oleh jaksa perdatun dan tata usaha negara (jadatun). Di dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini, prosedur hukum acara perampasan dilakukan melalui 4 (empat) tahap yaitu: a) penelusuran, (b) penghentian transaksi, (c) pemblokiran, dan (d) penyitaan. Akan tetapi, perampasan aset tidak pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap saja, tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Jaksa pengacara negara wajib menyampaikan dalil-dalil yang menjadi dasar permohonan dan wajib membuktikan bahwa aset yang dimohonkan untuk dirampas merupakan aset tindak pidana (Pasal 37) dan jika terdapat pihak yang berkeberatan atas pemohonan jaksa pengacara negara, diwajibkan pihak tersebut mengajukan upaya hukum perlawanan. Dalam hal alat bukti yang diatur dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, diatur ketentuan mengenai alat bukti (baru) yaitu penyataan (affidavit) dari penyedia layanan dalam hal aset yang dimohonkan berupa akun atau benda tidak berwujud seperti saham.
Merujuk ketentuan Pasal 37 di atas, jelas bahwa permohonan perampasan aset tindak pidana tidak menghapuskan kewenangan penuntutan (Pasal 3) sehingga jika dalam penuntutan tindak pidana ternyata objek aset tindak pidana sama dengan aset tindak pidana yang dimohonkan untuk dirampas, maka permohonan perampasan aset tindak pidana melalui proses gugatan ditunda sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap pelakunya.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, permohonan perampasan aset non-litigasi atas objek yang sama, merupakan sarana ultimum remedium, sedangkan penuntutan perampasan aset tindak pidana melalui litigasi merupakan sebagai primum -remedium. Dengan kata lain, strategi penindakan/penghukuman dalam norma dan praktik pemberantasan tindak pidana khususnya tipikor, tetap tidak mengalami perubahan secara signifikan.
Sesungguhnya ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor Tahun 1999/2001 telah mencerminkan perpaduan dua model pendekatan dalam hal perampasan aset tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 (1): Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Berdasarkan uraian mengenai RUU Perampasan Aset Tindak Pidana jelas bahwa, tanpa pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menguasai aset diduga berasal dari tipikor, perampasan aset tidak akan efektif.