Sudah 30 Tahun RI Belum Beranjak dari "Middle Income Trap"
Perilaku masyarakat yang konsumtif pada barang impor penyebab RI sulit keluar dari middle income trap.
Indonesia bisa keluar dari jebakan middle income trap dengan syarat ekonomi tumbuh minimal 6,5 persen hingga 2030.
JAKARTA - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan jika menggunakan kalkulasi ekonomi secara linear, Indonesia membutuhkan waktu 22 tahun untuk menyandang predikat high income country .
Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, dalam acara peringatan satu dasawarsa pelaksanaan gerakan keterbukaan pemerintah melalui Open Goverment Indonesia (OGI) sekaligus peluncuran Rencana Aksi Nasional OGI VII di Jakarta, Selasa (7/2), ingin harapan tersebut mudah-mudahan bisa terealisasi lebih cepat dari perkiraan.
Sebab, selama 30 tahun terakhir, Indonesia terjebak di dalam perangkat negara berpendapatan menengah atau middle income trap . Dengan masuknya Indonesia ke kategori upper middle income countries pada tahun lalu dengan pendapatan per kapita 4.200 dollar Amerika Serikat (AS), bisa menjadi sinyal positif untuk terus meningkatkan pendapatan dan tidak kembali ke low middle income coutries .
"Dengan suasana dunia yang kita rasakan akibat hantaman pandemi Covid-19 tahun 2019, setelah kita berjibaku sedemikian rupa, kita berharap ke depan Indonesia mampu untuk tumbuh lebih baik lagi dan graduasi dari middle income ini bisa lebih cepat," ungkap Suharso.
Pengamat ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, yang diminta pendapatnya mengatakan untuk meningkatkan pendapatan, perilaku konsumtif harus ditekan dan hilirisasi industri terus ditingkatkan untuk keluar dari middle income trap .
"Perilaku masyarakat yang konsumtif terhadap barang-barang impor inilah yang menyebabkan kita berada dalam jebakan ini. Apalagi kalau kemudian utang yang ditarik negara juga digunakan untuk sesuatu yang lama menghasilkan," kata Munawar.
Penarikan pinjaman kalau bisa memberikan keuntungan sebelum jatuh tempo akan baik, tapi kalau masih lama akan membuat devisa tergerus karena harus membayar cicilannya dengan valuta asing (valas).
"Kunci untuk keluar dari middle income trap adalah ekspor lebih besar dari impor, tapi itu harus dari produk industri, bukan sekadar komoditas alam yang diekspor mentah. Jika hilirisasi industri bisa ditingkatkan maka itu akan menekan impor sekaligus dampak ikutannya penyerapan tenaga kerja, itu akan sangat signifikan," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam pengumumannya baru-baru ini menyebutkan, pada 2022 lalu, perekonomian Indonesia secara nominal sudah lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 yakni pada 2019. Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) sebesar 15,83 ribu triliun rupiah dan PDB atas dasar harga konstan (ADHK) 10,95 ribu triliun rupiah.
Kepala BPS, Margo Yuwono, menyebutkan PDB ADHB meningkat menjadi 19,59 ribu triliun rupiah dan PDB ADHK tercatat 11,71 ribu triliun rupiah, dengan PDB per kapita mencapai 71 juta rupiah atau 4.783,9 dollar AS.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan setelah melalui berbagai hambatan yang muncul saat pandemi Covid-19, sudah saatnya memacu pertumbuhan ekonomi agar terus meningkat.
Lonjakan perekonomian tahun lalu, jelasnya, merupakan berkah dari naiknya harga-harga komoditas, akibat perang dan faktor-faktor lainnya. Jika tidak ada kejadian luar biasa dan perkembangan dari perang di Ukraina masih sulit ditebak, tren kenaikan diperkirakan masih berlanjut pada 2023.
Ekspor dan Investasi
Dalam sebuah laporan bertajuk Globalization, Productivity, and Production Networks in Asean: Enhancing Regional Trade and Investment yang diluncurkan beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Indonesia bisa keluar dari middle income trap dengan syarat ekonomi harus mampu tumbuh minimal 6,5 persen hingga 2030 mendatang.
Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan ekspor dan investasi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu, Indonesia harus memiliki angka pertumbuhan ekspor sekitar 9,8 persen per tahun dan nilai total investasi sebanyak 35 ribu triliun rupiah hingga 2024 yang 10 persen di antaranya berasal dari pemerintah dan sisanya dari pihak swasta.