Kasus Suap Ronald Tannur Terkuak, Politisi Golkar Henry Indraguna Desak Reformasi Sistem Peradilan

Kasus Suap Ronald Tannur Terkuak, Politisi Golkar Henry Indraguna Desak Reformasi Sistem Peradilan

Terkini | muria.inews.id | Senin, 28 Oktober 2024 - 20:20
share

JAKARTA, iNewsMuria - Kasus dugaan jual beli vonis yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, mengejutkan publik. Kejaksaan Agung mengamankan uang hampir Rp 1 triliun dan logam mulia seberat 51 kilogram dari kediaman Zarof, yang diduga merupakan bagian dari kasus suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Kasus ini turut memicu reaksi keras dari politisi Partai Golkar, Prof Henry Indraguna, SH, MN, yang mendesak agar sistem peradilan di Indonesia segera direformasi untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Prof Henry menilai keterlibatan Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, menunjukkan adanya krisis integritas di lembaga peradilan tertinggi Indonesia. Dugaan bahwa Zarof bertindak sebagai perantara suap antara pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dan hakim agung di MA memperlihatkan bahwa praktik makelar kasus bukanlah hal yang baru. Prof Henry menegaskan bahwa reformasi menyeluruh terhadap MA adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan Indonesia.

Menurut Prof Henry, temuan uang dan logam mulia ini adalah bukti nyata betapa parahnya korupsi di lingkungan peradilan Indonesia. Kasus ini membuka mata publik akan adanya "mafia hukum" yang memperdagangkan vonis demi kepentingan pribadi, sehingga mengabaikan keadilan bagi para korban dan masyarakat. “Temuan uang sebesar itu dari satu pejabat saja menunjukkan betapa mengerikan bobroknya sistem peradilan kita. Ini adalah sinyal bahwa peradilan kita butuh perombakan besar-besaran,” tegasnya, melalui keterangan tertulis, Senin (28/10/2024). 

Lebih lanjut, Prof Henry menjelaskan bahwa reformasi yang diusulkan harus melibatkan revisi Undang-Undang Mahkamah Agung agar pengawasan terhadap hakim dan pejabat peradilan dapat diperketat. Ia menggarisbawahi pentingnya digitalisasi administrasi peradilan di seluruh tingkatan, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung, untuk meminimalisir celah yang memungkinkan terjadinya praktik suap dan permainan perkara. Sistem peradilan yang transparan dan terawasi ketat, menurutnya, akan menjadi fondasi utama bagi negara hukum yang berintegritas.

Prof Henry juga mengkhawatirkan dampak dari kasus ini terhadap citra peradilan Indonesia di mata internasional. Ia menyebutkan bahwa Indonesia telah mendapatkan reputasi buruk dalam hal independensi peradilan, dengan data dari Political and Economic Risk tahun 2008 yang menempatkan Indonesia di peringkat terendah di Asia dalam hal keadilan hukum. Kasus Zarof dan Ronald Tannur ini, lanjut Henry, semakin memperparah krisis kepercayaan yang dialami masyarakat terhadap lembaga hukum di negeri ini.

Sebagai upaya penanggulangan jangka panjang, Prof Henry mendorong Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengimplementasikan sistem reward and punishment yang tegas di lingkungan peradilan. Setiap pejabat, hakim, hingga panitera harus diberi apresiasi atas kinerja yang jujur, namun sanksi berat juga perlu dijatuhkan bagi mereka yang terlibat dalam praktik ilegal. Ia meyakini bahwa hal ini bisa menjadi langkah awal untuk memperbaiki citra lembaga peradilan yang semakin memburuk akibat korupsi.

Di sisi lain, Prof Henry menilai bahwa kasus Zarof Ricar hanya sebagian kecil dari skandal yang mungkin lebih luas di tubuh peradilan. Ia menduga bahwa kasus ini melibatkan pihak-pihak lain di lingkungan MA yang turut memfasilitasi praktik suap. Menurutnya, perlu dilakukan investigasi menyeluruh agar jaringan mafia hukum ini bisa diungkap hingga ke akar-akarnya, dan mereka yang terlibat bisa segera diadili tanpa pandang bulu.

Pada akhirnya, Prof Henry berharap langkah ini dapat menjadi titik awal dalam membangun kembali integritas lembaga peradilan Indonesia. Ia menegaskan bahwa tanpa reformasi yang serius dan konsisten, praktik jual beli vonis akan terus menghantui dunia peradilan, dan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan hukum akan semakin sulit dipulihkan.

Topik Menarik