Food Estate, Langkah Negara Wujudkan Hak Atas Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat
Fenomena Global dan Konteks Indonesia
MERAUKE, iNewsJayapura.id - Global Report on Food Crises (GRFC) mencatat bahwa sebanyak 345 juta orang di 58 negara menghadapi krisis pangan ekstrem pada 2022. Data ini mencerminkan situasi terburuk sejak laporan ini mulai dirilis pada 2017. Krisis tersebut digolongkan berdasarkan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) menjadi tiga fase: krisis (3), darurat (4), dan bencana kelaparan (5). Pada fase tertinggi, kelangkaan pangan menyebabkan kelaparan, malnutrisi kritis, dan kematian meski semua upaya mitigasi telah dilakukan. Selain itu, lebih dari tiga miliar orang tidak mampu membeli diet sehat, menunjukkan betapa mendesaknya isu ketahanan pangan.
Ketahanan pangan global terus merosot sejak 2014. Krisis ini diperburuk oleh pandemi COVID-19, perang Ukraina, dan dampak perubahan iklim seperti kekeringan berkepanjangan serta banjir besar. Dalam konteks Indonesia, ketahanan pangan menjadi tantangan strategis, terutama untuk memastikan ketersediaan pangan yang berkelanjutan dan aksesibilitasnya bagi seluruh rakyat. Proyek food estate menjadi salah satu inisiatif pemerintah sebagai bentuk kehadiran negara untuk menjawab tantangan tersebut.
Hak atas Pangan: Perspektif Konstitusi dan Tanggungjawab Negara
Hak atas pangan merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai, termasuk akses terhadap makanan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Lebih lanjut, Pasal 11 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang juga telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 11 tahun 2005 mempertegas bahwa hak atas makanan yang memadai adalah bagian dari hak hidup yang layak. Adapun pada level nasional, Pasal 27, 28, dan 34 UUD 1945 serta UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, memberikan dasar hukum secara konstitutif bagi negara untuk menjamin hak atas pangan bagi seluruh rakyat.
Namun, food estate sebagai strategi ketahanan pangan nasional tidak luput dari kritik. Tantangan yang dihadapi meliputi potensi kerusakan lingkungan, risiko marginalisasi masyarakat lokal, dan keterbatasan dalam pengelolaan yang berkelanjutan (Schoenberger, 2016). Kritik ini penting sebagai pengingat untuk memastikan bahwa implementasi food estate tetap selaras dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Meskipun demikian, food estate tetap menjadi kebijakan yang relevan dan mendesak. Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan impor pangan, food estate mendukung kemandirian nasional dalam menghadapi tantangan global. Proyek ini juga menunjukkan komitmen negara untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia, khususnya hak atas pangan, yang merupakan kewajiban moral dan hukum negara.
Civic Engagement dan Civil Society dalam Mendukung Legitimasi Negara
Pembangunan ketahanan pangan, termasuk melalui food estate, membutuhkan kolaborasi yang erat antara negara dan masyarakat. Dalam konteks civic engagement, keterlibatan aktif elemen-elemen sosial—seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat— memainkan peran kunci dalam membangun dukungan publik terhadap kebijakan negara (Putnam, 2000). Tokoh-tokoh ini tidak hanya berfungsi sebagai aktor intermediari antara masyarakat dan pemerintah, tetapi juga sebagai agensi perubahan sosial yang dapat memperkuat legitimasi kebijakan melalui proses deliberasi advokasi yang inklusif dan berbasis kepercayaan.
Civil society, sebagai arena tempat individu dan kelompok berkumpul untuk menyuarakan kepentingan bersama, menjadi elemen penting dalam mendukung kebijakan publik (Cohen & Arato, 1992). Melalui partisipasi masyarakat sipil, negara dapat membangun legitimasi yang lebih kokoh berdasarkan kepercayaan dan kolaborasi. Dalam teori legitimasi Weber (1978), partisipasi masyarakat dan keterlibatan pemangku kepentingan utama menciptakan persepsi bahwa kebijakan negara sah dan sesuai dengan nilai-nilai kolektif masyarakat.
Lebih jauh lagi, tokoh agama dan adat memiliki kapasitas untuk memberikan legitimasi moral terhadap kebijakan food estate. Dengan menggunakan pendekatan yang berbasis nilai dan kearifan lokal, kearifan dan kebijaksanaan yang dimiliki dapat membantu masyarakat memahami pentingnya ketahanan pangan sebagai bagian dari kewajiban moral dan spiritual untuk memelihara kesejahteraan bersama dan mewujudkan cita-cita masa depan. Keterlibatan mereka tidak hanya memperkuat dukungan terhadap kebijakan negara, tetapi juga memperluas ruang dialog dan konsensus di tengah keragaman masyarakat.
Kesadaran Kolektif dan Masa Depan Ketahanan Pangan
Legitimasi negara dalam kebijakan ketahanan pangan membutuhkan pemahaman kolektif bahwa ketersediaan pangan yang berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama. Negara, masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh kunci harus membangun sinergi dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan melalui pendekatan yang inklusif dan berkeadilan. Kesadaran ini tidak hanya akan memperkuat kebijakan negara tetapi juga menciptakan ketahanan sosial yang lebih luas, sehingga program seperti food estate dapat benar-benar menjadi instrumen untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan nasional.