Kelompok Tani Hutan Bodogol Senang Terima Pupuk dari MNC Peduli dan MNC Land

Kelompok Tani Hutan Bodogol Senang Terima Pupuk dari MNC Peduli dan MNC Land

Infografis | sindonews | Jum'at, 24 Januari 2025 - 18:34
share

Hardy R. HermawanPeneliti SigmaPhi Indonesia, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

SETELAH tax amnesty jilid I digelar, pada 2016-2017, pemerintah Indonesia merilis lagi tax amnesty jilid II, pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Lantas, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, pemerintah tidak akan lagi menawarkan amnesti pajak. Namun lidah tak bertulang. Mengadakan tax amnesty sudah seperti candu. Kini pemerintah bersiap mengadakan tax amnesty jilid III.

Para pengusaha yang tergabung di Apindo pun melontarkan reaksi menggelitik. Ketua Komite Perpajakan Apindo Siddhi Widyaprathama, dalam acara Economic & Taxation Outlook 2025 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Kamis (23/1/2025), mengatakan, sepertinya tak akan bermasalah jika wajib pajak abai pada kewajibannya. Toh setiap beberapa tahun sekali akan diampuni.

Itu juga, mungkin, yang membuat anggota Dewan Ekonomi Nasional, Chatib Basri, malas-malasan menanggapi isu tax amnesty. “It's too early," katanya, pada pekan kedua Januari 2025 silam. Tapi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan sudah menegaskan bahwa pemerintah serius mempersiapkan program tax amnesty lanjutan sebagai salah satu strategi pemulihan kekayaan negara.

Tax amnesty diartikan sebagai tawaran bagi wajib pajak untuk membayar kewajiban pajak yang tertunggak (termasuk bunga dan denda) pada masa pajak sebelumnya, dalam nilai tertentu, waktu tertentu, tanpa dikenakan hukuman, terutama pidana. Villalba (2017) menyatakan, amnesti pajak bermanfaat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek, mendorong kepatuhan pajak, dan memperkuat sistem keuangan publik.

Manfaat yang jelas menggiurkan. Tak heran jika banyak pemerintahan tergoda melakukan amnesti pajak, bahkan kian sering menggelarnya (Abdurrahmani dan Dogan, 2019). Mereka berkali-kali merilis tax amnesty dalam kurun tidak terlalu lama, seperti Indonesia.

Pada tax amnesty I, pemerintahan Presiden Joko Widodo berusaha menarik uang wajib pajak yang tersembunyi di luar negeri. Tujuannya memperbaiki penerimaan pajak, meningkatkan likuiditas domestik, dan mendorong reformasi perpajakan. Insentifnya berupa penghapusan sanksi administratif, penghentian pemeriksaan pajak, serta tarif pajak yang rendah.

Sekilas program ini tampak sukses. Sebanyak 956.793 wajib pajak berpartisipasi dengan nilai harta diungkap Rp4.854,63 triliun. Namun, nilai repatriasi hanya Rp147 triliun, jauh di bawah target Rp1.000 triliun. Negara menerima tebusan Rp114,02 triliun, sekitar 69 dari target Rp165 triliun. Sebagian besar harta yang dilaporkan berupa deklarasi dalam negeri, yakni Rp3.676 triliun. Deklarasi luar negeri hanya Rp1.031 triliun. Program tax amnesty I belum memberi manfaat optimal terhadap penerimaan pajak dan repatriasi aset.

Program tax amnesty II, resminya bernama Program Pengungkapan Sukarela (PPS), menargetkan wajib pajak yang mengikuti tax amnesty I tetapi tak melaporkan seluruh hartanya, serta wajib pajak yang belum sepenuhnya melaporkan harta dalam SPT 2020. PPS menawarkan dua insentif, penghapusan sanksi administratif 200 dan pembebasan tuntutan pidana.

PPS diikuti 247.918 wajib pajak dan menghasilkan penerimaan Rp61,01 triliun. Harta yang dilaporkan Rp572,48 triliun. Deklarasi dalam negeri dan repatriasi wajib pajak senilai Rp512,57 triliun dan deklarasi luar negeri Rp59,91 triliun.

Setelah tax amnesty jilid I dan II, nilai tax ratio (perbandingan penerimaan pajak dengan PDB) tidak juga membaik. Pada 2016, tax ratio tercatat 10.3. Di akhir 2017, angka itu malah turun menjadi 9,89. Pada 2018, tax ratio merayap ke 10,24 lalu balik lagi ke 9,77 (2019), ke 8,33 (2020), dan menjadi 9,11 (2021). Tapi, di tahun 2020 dan 2021, Indonesia sedang dihajar Covid 19. Pada 2022, tax ratio naik ke 10,4 dan turun lagi ke 10,31 pada 2023.

Kini wacana tax amnesty III kembali mencuat. RUU Pengampunan Pajak resmi masuk Prolegnas Prioritas 2025. Usulan program ini juga muncul karena perlunya dana segar untuk mendukung program Presiden Prabowo Subianto seperti makan bergizi gratis hingga pembangunan sekolah.

Masalahnya, benar kata pengurus Apindo tadi, tax amnesty berulang akan menciptakan persepsi bahwa pemerintah bakal selalu memberi pengampunan. Misey dan Cadenas (1992) menuturkan, pembayar pajak akan tergoda menunda kewajiban mereka dengan harapan akan ada amnesti lagi. Di Filipina, Baer dan Le Borgne (2008) mencatat, tax amnesty digelar 18 kali selama 1972-1987. Hasilnya sangat minim, baik dari penerimaan maupun kepatuhan.

Amnesti pajak jilid I dan II di Indonesia juga menunjukkan bahwa penerimaan cenderung kian mengecil. Baer dan Le Borgne (2008) menyatakan, amnesti pajak yang berulang kerap gagal meningkatkan pendapatan. Islam (2021) menegaskan, tax amnesty juga tidak berdampak jangka panjang. Bahkan di Irlandia, yang secara fenomenal mencatatkan keberhasilan tax amnesty dengan meningkatkan pendapatan 2,5 PDB pada 1988, program ini tidak mengubah tren pendapatan pajak dalam jangka panjang

Irlandia sukses menggelar tax amnesty pada 1988 setelah melakukan sosialisasi masif, bahkan mengumumkan pembayar pajak nakal di media. Mereka menambah jumlah petugas dan mengenakan pidana keras bagi yang mengabaikan tax amnesty.

Honohan dan Walsh (2002) menyatakan, sebelum amnesti, Irlandia menurunkan tarif PPh pribadi dari 65 menjadi 42. Tarif pajak standar dipangkas dari 35 menjadi 22 dan tarif pajak perusahaan dipotong dari 50 menjadi 16. Itu semua untuk mendorong kepatuhan. Jadi, tax amnesty tidak berdiri sendiri. Keberhasilannya didorong reformasi pajak. Itu pun tidak berdampak panjang. Bahkan Irlandia gagal mengulang suksesnya ketika melakukan tax amnesty lagi di tahun 1993 dan 1999.

Keberhasilan lain terjadi di Kosovo, yang dua kali menggelar tax amnesty, 2008 dan 2015. Mouloud (2014) menyatakan, itu disebabkan persiapan matang, komunikasi yang jelas, dan implementasi kebijakan yang konsisten. Mereka menyusun lagi struktur tarif pajaknya, memperkuat aparat pajak, meningkatkan teknologi, dan memanfaatkan ekspektasi positif warga terhadap negara. Maklum, Kosovo baru resmi merdeka pada 2008.

Di luar itu, tax amnesty lebih banyak ciong. Baer dan Le Borgne (2008) menegaskan, amnesti pajak gagal di India, Argentina, Turki, dan Filipina. Alm et al (2009) menyimpulkan, amnesti pajak di Rusia, seperti di kebanyakan negara lain, tidak berdampak positif atau negatif terhadap pendapatan, dan hanya dimanfaatkan penghindar pajak.

Tax amnesty memang merugikan wajib pajak yang taat. Said (2017) menyatakan, amnesti pajak tidak adil dan menguntungkan pelaku penggelapan pajak, bahkan bisa dimanfaatkan untuk pencucian uang. Aparat hukum tidak bisa mengusut pelaku kejahatan kerah putih yang diuntungkan program amnesti pajak.

Nah, jika tax amnesty jilid III benar-benar dilaksanakan, pemerintah perlu menyiapkan diri bahwa hasilnya tidak akan optimal. Apalagi situasi ekonomi sedang tidak oke. Sebaliknya, mereka yang aji mumpung justru bakal kian marak.

Jadi, pastikan bahwa tax amnesty III dirancang lebih baik, lebih transparan, dengan pengetatan pengawasan aset yang dilaporkan, penguatan edukasi, dan kampanye kepatuhan. Dahulukan reformasi perpajakan yang komprehensif untuk meningkatkan efektivitas penerimaan pajak dan ini yang paling krusial.

Sinaga (2016) menyatakan, problem pajak di Indonesia cenderung karena kelemahan regulasi perpajakannya sendiri, database berantakan, dan buruknya penegakan hukum. Alm et al (1990) menegaskan, tanpa penegakan hukum yang ketat, kepatuhan pajak setelah amnesti justru dapat menurun. Jadi, penting bagi Indonesia untuk memastikan benar kesiapan tax amnesty III ini.

Topik Menarik