Keluarga Aulia Risma Desak Izin Praktik 3 Dokter Undip Tersangka Pemerasan dan Bullying Dicabut

Keluarga Aulia Risma Desak Izin Praktik 3 Dokter Undip Tersangka Pemerasan dan Bullying Dicabut

Infografis | sindonews | Kamis, 26 Desember 2024 - 10:53
share

Izin praktik 3 dokter yang menjadi tersangka pemerasan dan bullying berujung kematian dr Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi FK Universitas Diponegoro (Undip) didesak dicabut.

Desakan itu disampaikan keluarga almarhum dr Aulia Risma Lestari. Mereka juga meminta 3 dokter yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tersebut segera ditahan.

Tiga tersangka yaitu dr TEN (Taufik Eko Nugroho) selaku Kepala Prodi PPDS Anestesiologi FK Undip, SM (dr Sri Maryani) selaku Kepala Staf Medis Kependidikan Prodi PPDS Anestesiologi Undip dan senior korban berinisial Zr.

Tersangka Zr ini disebut yang paling aktif melakukan bullying, pemerasan, memaki, membuat aturan dan doktrin-doktrin ke korban.

Kuasa hukum keluarga almarhum dr Aulia Risma Lestari, Misyal Achmad menyatakan, desakan agar izin praktik 3 dokter tersebut dicabut berdasarkan kode etik profesi kedokteran.

“Saya berharap dan akan berjuang untuk tersangka dokter ini tidak lagi bisa menjadi dokter sampai kapanpun, itu akan saya perjuangkan agar izinnya dicabut semua. Nggak boleh (praktik) karena saya rasa mereka ini sakit secara mental,” tegas Misyal dikutip Kamis (26/12/2024).

Dia juga meminta ketiganya agar tidak kembali mengajar sebagai dosen. Hal itu mengingat dua di antara tersangka ini merupakan dosen kedokteran.

“Semuanya (baik mengajar atau praktik). Praktik saja tidak boleh apalagi mengajar, tidak boleh. Saya akan berjuang untuk itu,” tandasnya.

Sedangkan desakan agar ketiga tersangka ditahan lantaran dijerat Pasal 368 KUHP ayat (1) di mana ancaman hukumannya 9 tahun penjara. Selain itu agar para tersangka tidak menghilangkan barang bukti lainnya termasuk mengulangi lagi perbuatannya.

“Yang jelas kami berharap tersangka ini ditahan, kalau ancaman 5 tahun ke atas bisa ditahan dan wewenang ditahan, walaupun hukumannya di bawah 5 tahun wewenang penyidik juga menahan. Tapi kami berhak mengajukan permohonan untuk dilakukan penahanan, karena itu kejahatan yang (tersangkanya) dikhawatirkan menghilangkan barang bukti mengingat prosedurnya cukup lama dan (dikhawatirkan) mereka mengulangi lagi,” kata Misyal.

Dia mengaku prihatin dengan langkah yang dilakukan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr M Adib Khumaidi yang disebutnya langsung merespons dengan menyiapkan pengacara untuk mendampingi para tersangka.

“Kenapa tidak disiapkan lawyer saat itu untuk mendampingi korban? Harusnya bukan saya yang mendampingi, tapi dari IDI lho yang menyiapkan lawyer. Kok dia (dr Adib) pilih pelakunya, bukan korbannya? Aneh ini!” tegas Misyal.

Dia mengapresiasi penyidik Polda Jateng yang bisa mengusut kasus pemerasan, bullying yang berujung kematian ini.

Menurutnya, kasus tersebut tergolong tidak mudah diusut mengingat korbannya sudah meninggal dunia. Perihal bullying ini, sebutnya, pelapor harus dari korban. Oleh sebab itulah pihaknya melaporkan perihal pemerasannya sebab bisa dari pihak keluarga yang melapor.

“Makanya saya minta ke Kemenkes untuk membuat Satgas untuk anti-bullyingnya, untuk saudara kita yang tidak berani melapor (karena) sudah mengalami tekanan dari orang-orang ini,” tandasnya.

Korban diketahui ditemukan meninggal dunia pada 12 Agustus 2024 sekira pukul 23.00 WIB di kosnya daerah Lempongsari, Kota Semarang.

Polisi menemukan sejumlah bukti di TKP, di antaranya; obat keras yang disuntikkan sendiri oleh korban, 3 bekas suntikkan di punggung tangan, sejumlah catatan berkaitan dengan apa yang dialaminya selama menempuh studi PPDS Anestesi FK Undip.

Polisi menyimpulkan korban meninggal dunia karena bunuh diri. Namun, selama menjalani studi PPDS Anestesi, korban mengalami sejumlah perundungan dan pemerasan dengan kekerasan.

Topik Menarik