Melalui KudusAsik, BLDF Melindungi Masyarakat Kudus dari Ancaman Bencana yang Mematikan
Sampah sudah jadi persoalan klasik yang dihadapi hampir semua daerah perkotaan di Indonesia. Jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat terus bertambah, sementara TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang tersedia sudah tak mampu lagi manampung sampah yang terus bertambah itu. Di sisi lain, masih sedikit masyarakat yang memilah sampah, agar lebih mudah dikelola. Semuanya masih melakukan praktik kumpul, angkut dan buang begitu saja ke TPA. Masih buruknya pengelolaan sampah berdampak langsung pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Mencerminkan juga kurangnya tata kelola perkotaan yang berkelanjutan.
Persoalan sampa juga dihadapi Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Di Kota Kretek yang dihuni oleh sekitar 874,8 ribu penduduk ini (data BPS 2024) sampah juga jadi persoalan yang serius. Pj Bupati Kudus M. Hasan Chabibie mengatakan setiap hari rata-rata sampah yang dihasilkan warga Kudus mencapai 120 ton dan itu ditampung di TPA Tanjungrejo, yang berada di Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.
Bahkan di saat-saat tertentu seperti libur Hari Raya sampah yang masuk ke TPA Tanjungrejo bertambah hingga 150 ton per hari. Berdaarkan data yang disampaikan Sistem Informasi Sampah Nasional sekitar 64 sampah di Kudus merupakan sampah organik.Dengan terus bertambahnya volume sampah yang masuk, diperkirakan dalam tiga tahun lagi TPA Tanjungrejo sudah tak sanggup lagi menampung sampah yang dihasilkan warga Kudus.
Persoalan sampah yang dihadapi Kudus inilah yang membuat Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) ikut membantu mengelola sampah organik yang dihasilkan masyarakat Kudus.BLDF pun membangun pusat pengelolaan sampah organik di kompleks Djarum Oasis, Bacin, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Beberapa waktu yang lalu SindoNews berkesempatan mengunjungi pusat pengelolaan sampah organik ini yang dibangun dan dikelola BDLF ini. Pusat pengelolaan sampah organik ini menyatu dengan kebun pembibitan tanaman. Tempat ini pun ditumbuhi beraneka ragam macam tanaman yang besar dan rindang. Sehingga suasana asri dan sejuk langsung terasa begitu memasuki Kompleks Djarum Oasis ini. Uniknya tidak ada bau busuk yang menyengat ataupun kerumunan lalat dan binatang lainnya yang terlihat di lokasi pengelolaan sampah organik ini. Menurut Eri Wahyudi, Program Administration BLDF, sampah organik yang masuk sebelumnya sudah dipilah terlebih dahulu. Sampah kemudian diproses dengan teknologi fermentasi dari VRM Groundswell. Diolah dengan proses pencampuran mikroba dan fermentasi di hamparan tanah seluas satu hektare. Hasilnya berupa humisoil yang digunakan sebagai pupuk. “Saat ini kami mampu menghasilkan 70 ton humisoil per hari,”ujar Eri. Sampah organik yang diolah di tempat ini mampu mengurangi sekitar 20 sampah organik di Kudus. Selain membantu persoalan sampah di Kudus, keberadaan pusat pengelolaan sampah organik ini membuat Kudus semakin asri. Pasalnya hasil dari pengolahan sampah organik yang berupa humisoil dijadiaan pupuk untuk berbagai tanaman yang ditanam BLDF dalam Program Djarum Trees For Life. “Masyarakat yang membutuhkan juga bisa memanfatkan humisoil ini secara gratis, “ujar Eri Wahyudi.
Bahaya Sampah Organik
Eri menjelaskan kompleks pengelolaan sampah organik ini dibangun karena keprihatinan dari management PT Djarum terhadap masalah sampah di Kudus. Pada 2017 sampah di TPA menggunung dan tidak bisa menerima sampah dari Masyarakat. Sampah-sampah di Kudus pun sempat tidak terangkut beberapa hari. Management PT Djarum khawatir menumpuknya sampah di TPA Kudus bisa menyebabkan tragedi seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah di Cimahi Jawa Barat. Apalagi TPA Leuwigajah dan TPA di Kudus punya kemiripan, sampah di kedua TPA ini dikelola dengan sistem pembuangan sampah secara terbuka, dengan menumpuk sampah di atas lahan tanpa pengamanan dan perlakuan khusus (sistem open dumping).
Pada 21 Februari 2005 terjadi longsor dan ledakan gas metana dari gunungan sampah di TPA Leuwigajah setinggi 60 meter dan lebar 200 meter. Kejadian ini mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 157 orang. Korban yang begitu banyak ini menjadi insiden terparah kedua di dunia dari pengelolaan sampah di TPA.
Gas metana yang dihasilkan dari sampah organik yang tidak dikelola dengan baik, memang jadi sumber bencana yang mematikan. Para ahli mengatakan gas metana dari sampah organik juga menjadi salah satu penyebab utama emisi gas rumah kaca. Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengingatkan gas metana dari sampah organik 28 kali memiliki dampak negatif dari gas CO2.
Sampah organik juga menghasilkan air lindi yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan karena mengandung zat organik dan anorganik yang berbahaya, seperti bakteri, parasit, merkuri, kadmium, dan nikel. Mengutip dari laman waste4change.com air lindi bisa mencemari air tanah dan lahan pertanian hingga mengakibatkan gagal panen.
Seperti diketahui lahan pertanian di Kabupaten Kudus, masih luas. Mencapai sekitar 28.000 hektar atau 66 dari total luas wilayah. Dari total lahan pertanian tersebut, sekitar 72 atau sekitar 20.140 hektar merupakan lahan sawah. Produksinya pada 2024 ini mencapai 163.000 gabah kering giling. Bisa dibayangkan kerugian yang diderita jika Kudus mengalami gagal panen padi.
Pada manusia, kandungan Timbal di air lindi mengakibatkan gangguan pada otak, ginjal, dan hati. Paparan Merkuri dapat mengakibatkan kanker, terganggunya fungsi hati dan sistem saraf. Air lindi juga mengandung Kadmium yang menyebabkan perut mual, muntah-muntah, diare, luka hati, hingga gagal ginjal. Selain kandungan logam, air lindi didapati mengandung mikroba parasit seperti kutu air yang menyebabkan gatal-gatal pada kulit. Walhi Yogyakarta pada Mei lalu melaporkan akibat tercemar air lindi dari sampah organik yang ada di TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Piyungan Yogyakarta, air sumur warga setempat tercemar kandungan Klorin yang tinggi, menyebabkan beberapa warga terkena stroke.
Pengelolaan sampah organik yang dilakukan BLDF ternyata bukan saja telah mengurangi persoalan sampah di Kudus, namun juga melindungi masyarakat setempat dari ancaman bencana yang mematikan akibat sampah organik. Menyasar Generasi Muda
Untuk mengelola sampah di Kudus, BLDF tidak bisa melakukannya sendirian. Director Communications Djarum Foundation Mutiara Diah Asmara, menjelaskan pihaknya harus berkolaborasi dengan masyarakat setempat. Untuk mengumpulkan sampah organik yang kemudian diolah di Kompleks Djarum Oasis, BDLF menggandeng sejumlah mitra. Mulai dari perusahaan, usaha katering, rumah makan, rumah sakit dan klinik, hotel, sekolah dan pondok pesantren, panti asuhan, pasar tradisional , mini market, kompleks perumahan hingga masyarakat desa yang berdomisili di Kabupaten Kudus.Sampah organik dikumpulkan dari para mitra ini dengan sistem jemput bola. “Untuk mengelola sampah kami tidak bisa sendirian, kami juga mengajak masyarakat luas”, ujar Mutiara Diah Asmara. Jumlah mitra pengelolaan sampah organik ini terus bertambah. Jika pada 2018 baru ada 61 mitra. Tahun 2024 ini jumlahnya sudah bertambah menjadi 312 mitra. Targetnya pada 2025 akan berkembang lagi menjadi 340.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Kudus terhadap pengelolaan sampah, BDLF membuat Gerakan Kudus Asik (Kudus Apik Resik). Mutiara Diah Asmara menjelaskan program Kudus Asik ini didorong sejak 2022 melalui kampanye digital tentang pengelolaan sampah berkelanjutan di Instagram @kudus.asik, yang menyasar generasi muda Kabupaten Kudus. Serta bermitra dengan berbagai pihak untuk mengelola sampah organik tersebut.
Gerakan yang diinisiasi BLDF ini bertujuan untuk membuat Kudus menjadi kota yang apik dan resik. Dengan mengedukasi warga, khususnya kaum muda, mengenai pengelolaan sampah. Program Kudus Asik juga diluncurkan sebagai upaya untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan capaian kota yang bersih dan terjaga lewat pengelolaan sampah berkelanjutan.