Sosialisasi UU Pesantren, Majelis Masyayikh Tekankan Perlindungan bagi Lulusan Ponpes
Majelis Masyayikh menekankan pentingnya perlindungan dan kesetaraan bagi lulusan pondok pesantren (ponpes). Hal itu terungkap dalam sosialisasi Undang-Undang No.18 Tahun 2019 tentang pesantren di Pondok Pesantren Al Ihya ‘Ulumaddin Cilacap, Jawa Tengah.
Acara yang dihadiri Ketua Yayasan Al Ihya Ulumaddin KH. Labul Umam, Anggota Majelis Masyayikh dan Pengasuh PP. Miftahul Huda Manonjaya KH. Abdul Aziz Affandy, dan Anggota Majelis Masyayikh dan Pengasuh PP Al Anwar 3 Sarang KH. Abdul Ghofur Maimoen ini bertujuan untuk menyampaikan upaya dalam membangun sistem penjaminan mutu pendidikan di lingkungan pesantren.
KH. Abdul Aziz Affandy menjelaskan kehadiran UU No. 18 Tahun 2019 merupakan langkah penting dalam memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi bagi pesantren di Indonesia. Menurutnya, pesantren telah berperan sebagai pusat transmisi ilmu dan basis kebudayaan, yang memiliki peran signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.
"Dengan hadirnya UU ini, pesantren telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional," ujarnya, Sabtu (2/11/2024).
KH. Abdul Aziz menekankan pentingnya kesetaraan bagi lulusan pesantren. Dengan diakuinya ijazah pesantren, lulusan pesantren akan mendapatkan hak yang sama dengan lulusan pendidikan formal lainnya. "Insyaallah, lulusan pesantren nantinya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak," imbuhnya.
Majelis Masyayikh menegaskan mereka tetap menjaga kekhasan pesantren melalui metode afirmasi dan fasilitasi, bukan dengan cara penyeragaman. Dia menyatakan komitmen Majelis Masyayikh untuk tetap mempertahankan independensi pesantren dan tidak akan melakukan intervensi yang akan merugikan pesantren.
"Kami (Majelis Masyayikh) akan terus berfokus pada prinsip-prinsip ini untuk pengembangan pendidikan pesantren," tambahnya.
KH. Abdul Ghofur Maimoen, juga menyoroti tanggung jawab Majelis Masyayikh dalam memastikan penjaminan mutu pendidikan di pesantren. Menurutnya, dalam UU tersebut terdapat tiga fungsi utama pesantren: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, dengan fokus utama pada fungsi pendidikan.
"Kami, Majelis Masyayikh, ingin memastikan bahwa pendidikan di pesantren diakui dan didukung oleh negara," ujarnya.
Majelis Masyayikh menekankan ijazah dari seluruh pesantren tidak boleh ditolak karena sudah diakui oleh negara. "Jika ada lulusan pesantren yang mengalami penolakan saat melamar pekerjaan karena ijazahnya, mereka berhak untuk melaporkan masalah tersebut, dan negara berkewajiban memberikan perlindungan," jelas Gus Ghofur.
Dalam upaya penjaminan mutu pendidikan, Majelis Masyayikh juga berkolaborasi dengan Dewan Masyayikh yang memiliki pemahaman mendalam mengenai proses pendidikan di pesantren. Proses pendidikan di dalam pesantren, termasuk kurikulum dan metode pembelajaran, akan dirumuskan oleh Dewan Masyayikh dengan persetujuan Majelis Masyayikh.
“Secara UU dianggap sah, dengan minimal 3 anggota Dewan Masyayikh dan 1 pimpinan yang merupakan pengasuh pesantren tersebut. Sehingga penjaminan mutu pendidikan pesantren di sini akan berjalan sangat optimal karena benar-benar diambil atau dipupuk oleh orang-orang di dalam pesantren yang sangat mengenal kultur dan proses pendidikan di dalamnya,” tambahnya.
Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai peran penting pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Dengan adanya pengakuan dan dukungan dari pemerintah, diharapkan pesantren dapat terus berkembang dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.