Hukum Makan Belalang-Ulat Sagu yang Berpotensi jadi Menu MBG, Begini Menurut Islam

Hukum Makan Belalang-Ulat Sagu yang Berpotensi jadi Menu MBG, Begini Menurut Islam

Gaya Hidup | inews | Senin, 27 Januari 2025 - 18:30
share

JAKARTA, iNews.id - Hukum makan belalang dan ulat sagu yang berpotensi menjadi menu makan bergizi gratis (MBG) menurut ajaran agama Islam menarik diulas. 

Belalang menjadi makanan ringan yang cukup popular di sejumlah daerah, terutama di kawasan Gunungkidul, DI Yogyakarta dan daerah lainnya. Bagi yang biasa mengonsumsinya, belalang goreng kerap dijadikan camilan atau bahkan lauk pauk yang disantap bersama nasi dan sambal. Belalang merupakan jenis serangga. 

Pemerintah pun berencana memasukkan menu serangga termasuk di dalamnya belalang dan ulat sagu sebagai menu MBG. Keduanya dinilai memiliki protein tinggi yang baik untuk kesehatan.

Ulat sagu Papua, makanan ekstrem yang punya rasa pecah di lidah. (Foto : Instagram)

Lantas, bagaimana hukum makan belalang dan sagu dalam pandangan Islam? Berikut ulasannya untuk sobat iNEWS.ID 

Hukum Makan Belalang dan Ulat Sagu

Belalang sebagaimana disebutkan di atas merupakan serangga. Dalam keadaan mati ia termasuk ke dalam kategori bangkai yang halal dikonsumsi dalam pandangan Islam, seperti halnya ikan. 

Dilansir dari laman MUI.or.id, secara khusus, Alquran tidak menyebutkan keharaman belalang. Namun, hadits dari Ibnu Umar radhiallahu'anhu menyatakan bahwa belalang termasuk hewan yang boleh atau halal untuk dikonsumsi.

Dalil kehalalan belalang itu disebutkan dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Umar.

Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yang dihalalkan ialah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah yang dihalalkan ialah hati dan limpa.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daru Quthni dan At-Tirmidzi).

Firman Allah Swt. menyebutkan, “Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian” (Q.S. Al-Baqarah (2): 29).

Ayat lain menyebutkan, “Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin” (Q.S. Luqman : 20).

Hadis Nabi saw.: “Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Al-Qur’an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apa pun” (H.R. Al-Hakim).

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-13/MUI/ IV/Tahun 2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik, menempatkan belalang seperti halnya jangkrik, yaitu sejenis serangga yang boleh (mubah/ halal) dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan kerugian (mudharat).

Dengan mengacu pada Al Quran dan hadist tersebut di atas, maka menangkap dan membudidayakan belalang untuk diambil manfaatnya, misalnya untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal).

Hukum Makan Ulat Sagu

Jika belalang sudah jelas kehalalannya, bagaimana dengan hukum makan ulat sagu? Ulat sagu bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya di wilayah timur sudah menjadi bahan konsumsi sehari-hari. Kandungan protein yang tinggi membuat ulat sagu dijadikan makanan favorit.

Melansir laman MUI dalam rubrik Hukum Konsumsi Ulat Jerman, para ulama berpendapat bahwa penetapan hukum dalam islam itu merujuk pada Alquran dan Hadits.

Dari sisi syariah, hukum makan ulat itu tidak ada di dalam Alquran dan hadits. Juga tidak ada dalil yang tegas menyatakan keharamannya.

Dengan demikian dalam kaidah syariah, mengonsumsi ulat sagu itu termasuk kategori yang didiamkan. Maksudnya, sepanjang tidak dijelaskan dengan tegas tentang keharamannya atau tidak menjijikkan maupun tidak mendatangkan bahaya bagi yang mengonsumsinya maka ulat sagu boleh dikonsumsi.

Para ulama menafsirkan hal yang didiamkan itu beraryi Ma'fu Anhu atau hal yang dimaafkan. Artinya, dibolehkan atau halal hukumnya kecuali dipandang menjijikkan atau membahayakan bagi yang mengonsumsinya.

Hal itu juga berlaku kaidah hukum bersifat umum yaitu kemaanfaatan dan kemaslahatan. Sepanjang mendatangkan kebaikan diperbolehkan. Sebaliknya jika membahayakan makan terlarang.

Dikutip dari buku Fikih Makanan dan Minuman Kontemporer, ulat pada dasarnya haram dimakan menurut jumhur ulama selain Mazhab Malikiyah. hal tersebut dikarenakan ulat termasuk hewan yang khabaits (menjijikan). Namun, jumhur ulama selain hanafiyah menghukumi ulat yang ada pada makanan dan buah-buahan boleh dimakan apabila kesulitan memisahkannya.

Dalam pandangan Mazhab Syaf''i dan Hanbali, kehalalan memakan ulat yang ada pada makanan atau buah-buahan tersebut harus memiliki tiga syarat. Pertama, dimakan bersama makanan baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati. Jika dimakan tanpa bersamaan dengan makanan maka tidak halal. Kedua, ulat tersebut tidak dipisahkan dari makanan. Jika dipisahkan dari makanan tidak boleh dikonsumsi. Ketiga, tidak berubah rasa, warna dan baunya apabila makanan tersebut berbentuk cair.

Dalam Al-Qur’an dan hadits, panduan tentang makanan cukup jelas, namun serangga seperti ulat sagu jarang disebutkan secara langsung. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita merujuk pada kaidah fiqh: "Segala sesuatu pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

melaansir laman bio.fst.uin-alauddin.ac.id, ulat sagu, meski tidak diatur secara eksplisit, tidak termasuk kategori hewan yang dilarang seperti babi atau yang hidup di tempat najis. Seperti belalang, yang diizinkan untuk dikonsumsi dalam hadits Nabi Muhammad SAW, ulat sagu juga hidup di lingkungan bersih, tidak berbahaya, dan sarat nutrisi.

Hadits yang menyatakan, "Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai, yaitu ikan dan belalang" (HR. Ibnu Majah) menjadi dasar kuat bagi ulama untuk membolehkan konsumsi serangga dalam kategori tertentu.

Ulat sagu, yang seperti belalang tidak mengandung darah yang dilarang dalam Islam, menawarkan karakteristik serupa-keduanya hidup di alam, aman, dan bergizi. Oleh karena itu, analogi dengan belalang dapat diambil untuk memposisikan ulat sagu sebagai makanan halal.

Beberapa mazhab, seperti Mazhab Maliki, bahkan memperbolehkan serangga yang hidup di lingkungan bersih dan tidak menimbulkan bahaya bagi tubuh. Ini memperkuat spekulasi bahwa ulat sagu, yang hidup di alam bebas dan tidak terkait dengan najis, dapat dikategorikan sebagai halal, selama diproses dengan cara yang sesuai syariat. Sementara itu, Mazhab Hanafi dan Syafi'i cenderung lebih ketat, mengharuskan adanya dalil yang lebih spesifik untuk memperbolehkan serangga, meskipun dalam situasi tertentu, manfaat yang diberikan oleh ulat sagu, terutama dalam hal nutrisi, dapat membuka jalan bagi kelonggaran hukum.

Dari segi thayyib, ulat sagu menawarkan lebih dari sekadar protein. Ia adalah sumber nutrisi yang kaya, dengan asam amino esensial dan lemak sehat yang dapat membantu memerangi malnutrisi di berbagai belahan dunia. Selain itu, ulat sagu adalah jawaban bagi pencarian sumber protein yang berkelanjutan. 

Dengan kebutuhan lahan dan air yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan hewan besar, serangga ini adalah wujud dari keadilan alam: kecil, namun penuh berkah.

Dalam ulat sagu ini, kita melihat peluang besar untuk memperkuat ketahanan pangan dunia, mengurangi ketergantungan pada sumber protein konvensional yang merusak lingkungan, dan menciptakan ekonomi baru bagi masyarakat lokal.

Dalam Islam, makanan adalah bagian dari keberkahan hidup. Memilih makanan yang halal, yang baik bagi tubuh dan bumi, adalah bagian dari ibadah kita. Dan mungkin, di dalam ulat sagu yang kecil ini, terdapat berkah yang selama ini kita abaikan. 

Ulat sagu memang bagi sebagian orang mungkin dipandang menjijikan. Jika termasuk barang khobaits atau menjijikan maka hukumnya haram untuk dikonsumsi. Sebaliknya, jika tidak dipandang menjijikan maka halal dikonsumsi.

Menjijikan memang relatif dalam pandangan setiap orang. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mengonsumi ulat sagu adalah halal. al itud iqiyaskan atau disamakan dengan makan ulat jerman, serangga Cochineal ataupun laron yang telah difatwakan halal oleh Komisi Fatwa MUI. 

Menurut Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana, belalang dan ulat sagu adalah sumber protein. Terlebih, dua serangga itu adalah makanan yang biasa dikonsumsi di beberapa wilayah di Indonesia. 

"Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga (seperti) belalang, ulat sagu. Itu bisa jadi bagian protein," kata Dadan, kemarin (25/1/2025). 

Dadan juga menilai, sumber protein bisa datang dari mana saja. Karena itu, BGN tidak menetapkan sumber proteinnya apa, melainkan standar komposisi gizinya. 

"Isi protein di berbagai daerah itu sangat bergantung protein sumber daya lokal dan kesukaan lokal," ujarnya. 

Mengacu pada hal itu, masyarakat perlu tahu bahwa belalang dan ulat sagu memang tergolong dalam sumber protein. Selain itu, belalang juga memiliki efek antibakteri. 

Mengonsumsi belalang goreng dipercaya juga dapat meningkatkan energi. Bahkan, dapat menurunkan kadar kolesterol, karena kandungan lemak tak jenuhnya yang tinggi.

Luar biasanya lagi, belalang goreng diklaim mampu menjaga kesehatan saraf dan kognitif berkat kandungan vitamin B1 dan B12 yang terkandung di dalamnya. 

Sebagai tambahan, berikut informasi gizi belalang goreng per 100 gram. 

Kalori: 151 kkal
Lemak: 6,45 gram
Karbohidrat: 8,34 gram
Protein: 14,30 gram

Ulat Sagu Tinggi Protein 

Tak jauh berbeda dengan belalang, ulat sagu juga tinggi protein. Serangga ini biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia bagian Timur. Mereka mengonsumsi ulat sagu secara mentah atau dibakar seperti sate. 

Kandungan baik di balik ulat sagu salah satunya adalah adanya vitamin E dalam jumlah kecil yang mana ini tetap memberi manfaat baik bagi tubuh. 

Selain itu, ulat sagu segar juga baik untuk pencernaan. Lalu, efektif melawan infeksi akibat mikroba dan ini sudah dibuktikan dalam studi yang diterbitkan di Cambridge University pada 2018. 

Studi tersebut menunjukkan bahwa ulat sagu dapat memberikan penghalang yang dapat melindungi tubuh dari berbagai mikroorganisme berbahaya. 

Meski begitu, disarankan untuk tidak mengonsumsi ulat sagu secara berlebihan. Sebab, mengonsumsi protein terlalu tinggi dapat memicu masalah pencernaan, seperti sembelit, diare, kembung, hingga kram perut.  

Berikut informasi nilai gizi ulat sagu segar per 100 gram. 

Kalori: 241 kkal
Lemak: 21,60 gram
Karbohidrat: 5,80 gram
Protein: 5,80 gram

Itulah ulasan hukum makan belalang dan ulat sagu yang berpotensi jadi menu Makan Bergizi Gartsi (MBG) yang merupakan program pemerintah untuk siswa sekolah dalam pandangan Islam.

Wallahu A'lam

Topik Menarik