Pakar Kepemiluan Tegaskan KPU Langgar Etik jika Tetapkan Harun Masiku Caleg Terpilih
JAKARTA, iNews.id - Pakar Kepemiluan Titi Anggraini mengatakan kasus Harun Masiku diawali ketidakpatuhan sistem pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024. Persoalan ini mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip pemilu proporsional terbuka yang mengutamakan suara terbanyak serta adanya indikasi favoritisme dari elite politik.
Titi menjelaskan terdapat dua masalah di kasus Harun Masiku, yakni ketidakpatuhan pada sistem Pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak dan pemaksaan calon legislatif (caleg) favorit.
Pelatihan Tikar Perkembangan di Boyolali, Tingkatkan Deteksi Dini dan Stimulasi Tumbuh Kembang Anak
“Pertama begini kasusnya berawal dari ada caleg di Dapil 1 Sumsel yang meninggal dunia, namanya Nazaruddin Kiemas ini adiknya Pak Taufik Kiemas. Seharusnya kan kalau ada caleg yang meninggal karena waktu itu meninggalnya kadung surat suara sudah dicetak. Jadi KPU membuat kebijakan suara yang diberikan kepada Nazaruddin Kiemas dianggap tetap sah tapi dihitung untuk suara partai sebagai bagian dari pembulat penentuan perolehan kursi,” kata Titi dalam program Interupsi bertajuk 'Sengketa Pilkada Belum Mulai, Elite Parpol Tersangka' yang tayang di iNews, Kamis (26/12/2024).
Dia mengatakan ketika sudah ada hasil pemilu, otomatis suara Nazaruddin Kiemas tidak bisa dihitung lagi. Sehingga, didapatkan data bahwa caleg yang memperoleh suara terbanyak di Dapil Sumsel 1 yang bernama Riezky Aprilia. Sementara, perolehan suara Harun Masiku di urutan 6 dari total 8 caleg.
“Tiba-tiba kemudian diajukan lah uji materi ke Mahkamah Agung, ada putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019 intinya adalah Mahkamah Agung mengatakan sah suara dari caleg yang meninggal dunia dihitung untuk suara partai,” katanya.
Kemudian, kata Titi, PDIP tiga kali bersurat ke KPU agar menetapkan Harun Masiku sebagai caleg terpilih. Surat pertama ditandatangani oleh Bambang Pacul dan Hasto Kristiyanto, surat kedua ditandatangani oleh Yasonna Laoly dan Hasto.
Selanjutnya, surat yang ketiga ditandatangani oleh ketua umum Megawati Soekarnoputri dan Hasto. Namun, KPU menolak permintaan tersebut karena bertentangan dengan sistem pemilu.
“Kenapa saya bilang ini mengingkari sistem pemilu? Karena yang diminta adalah agar KPU itu menentukan caleg terpilih adalah bukan Riezky Aprilia yang memperoleh suara terbanyak, melainkan Harun Masiku yang memperoleh suara terbanyak nomor 6 dari 8 caleg. Dan itu dibalas oleh KPU tidak bisa begitu, karena kalau sistem pemilu proporsional daftar terbuka suara terbanyak yang harus menjadi caleg terpilih adalah Riezky Aprilia bukan Harun Masiku,” jelasnya.
Titi menegaskan dari sisi logika sistem pemilu, tidak mungkin Harun Masiku bisa ditetapkan sebagai caleg terpilih. Sebab, jika begitu KPU melanggar sistem pemilu dan etik.
“Nah di situlah problemnya dari kasus Harun Masiku ini. Dari sisi pemilu, satu tidak patuh pada sistem. Yang kedua ternyata memperlihatkan ada favoritisme dari elite terhadap caleg dan mengabaikan suara dari rakyat. Karena kalau betul-betul mengikuti suara rakyat, sudah terang benderang yang jadi caleg terpilih itu Riezky Aprilia bukan Harun Masiku,” kata Titi.