AS Hindari Perlombaan Senjata Nuklir Melawan Rusia dan China, Ini Alasannya

AS Hindari Perlombaan Senjata Nuklir Melawan Rusia dan China, Ini Alasannya

Global | sindonews | Jum'at, 17 Januari 2025 - 08:34
share

Amerika Serikat (AS) memilih untuk menghindar dari perlombaan senjata nuklir ala Perang Dingin melawan Rusia dan China.

Menurut Washington kehancuran ekonomi Uni Soviet karena ambisi senjata atomnya menjadi pelajaran penting bagi Amerika.

Kepala Badan Keamanan Nuklir Nasional Jill Hruby mengatakan AS tidak dapat membangun lebih banyak senjata nuklir daripada Rusia dan China dalam beberapa dekade mendatang, meskipun ada rencana modernisasi persenjataan nuklir senilai USD1,7 triliun yang sedang berlangsung.

"Perlombaan senjata nuklir tidak menguntungkan siapa pun," kata Hruby, yang lembaganya membangun dan menyimpan senjata nuklir Amerika, pada hari Kamis di lembaga think tank Hudson Institute.

Para pakar pengendalian senjata memperingatkan bahwa panggung telah disiapkan untuk perlombaan senjata tiga arah baru yang mahal dengan Rusia dan China. Perjanjian terakhir yang tersisa antara Rusia dan AS yang membatasi penyebaran senjata nuklir—New START—berakhir pada awal tahun 2025.

Pejabat Pentagon memperkirakan bahwa China, yang tidak memiliki batasan perjanjian mengenai jumlah hulu ledak nuklirnya, memiliki lebih dari 600 senjata nuklir saat ini dan akan memperluas persenjataan mereka menjadi 1.000 atau lebih pada tahun 2030.

Rusia memiliki 5.580 senjata nuklir, dan AS memiliki persediaan 5.044, menurut Federasi Ilmuwan Amerika.

Hruby memperingatkan agar tidak mengambil pelajaran yang salah dari perlombaan senjata Perang Dingin yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Meskipun Moskow membangun lebih banyak hulu ledak nuklir—yang memuncak pada lebih dari 40.000 pada 1980-an—, upaya tersebut menghancurkan ekonomi Uni Soviet dan menyebabkan pembubarannya pada 1991.

"Itu bukan cara kita untuk menang [hari ini]," kata Hruby, yang dilansir USA Today, Jumat (17/1/2024). "Membangun banyak senjata dalam jangka panjang sepertinya bukan strategi yang tepat,” ujarnya.

Sebaliknya, kata Hruby, pemerintahan AS di masa mendatang harus lebih unggul dalam berpikir baik terhadap Rusia maupun China untuk berhasil menghalangi, atau mencegah, potensi penggunaan senjata nuklir mereka.

Namun, mantan pejabat dari pemerintahan pertama Presiden terpilih Donald Trump berpendapat sebaliknya.

Robert O'Brien, yang merupakan penasihat keamanan nasional Trump dari tahun 2019 hingga 2021, menulis pada bulan Juni 2024: “AS harus mempertahankan keunggulan teknis dan numerik atas gabungan persediaan nuklir China dan Rusia."

O'Brien dan pejabat lain yang berpihak pada Trump juga percaya bahwa AS harus melanjutkan uji coba senjata nuklir bawah tanah.

Uji coba senjata nuklir AS terakhir dengan tembakan langsung terjadi pada tahun 1992, meskipun Senat menolak perjanjian yang melarang uji coba tersebut pada tahun 1999.

Korea Utara adalah satu-satunya negara yang menguji senjata nuklir pada abad ke-21.

Rusia, yang menarik diri dari Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif pada tahun 2023, baru-baru ini memperingatkan AS agar tidak melanjutkan uji coba nuklir eksplosif. Moskow juga mengubah doktrin nuklirnya pada bulan November untuk mengizinkan penggunaannya dalam berbagai skenario militer.

Calon pilihan Trump untuk memimpin Pentagon, Pete Hegseth, mengatakan pada sidang konfirmasinya hari Selasa bahwa dia mendukung penggunaan kewenangan produksi perang darurat untuk mempercepat modernisasi senjata nuklir.

Topik Menarik