Jepang Tingkatkan Kewaspadaan terhadap Militer China yang Semakin Agresif
Ketegangan antara Beijing dan Tokyo terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang Takeshi Iwaya menyatakan kekhawatiran mendalam atas semakin agresifnya militer China.
Perselisihan yang meningkat ini berasal dari serangkaian titik api geopolitik, termasuk sengketa teritorial, pembatasan ekonomi, dan penahanan seorang warga negara Jepang, di samping kecemasan regional yang lebih luas atas aktivitas China di dekat Taiwan dan Filipina.
Mengutip editorial Mizzima edisi Rabu (8/1/2025), perkembangan ini menggarisbawahi keadaan hubungan yang rapuh di Indo-Pasifik dan menyoroti tantangan terhadap stabilitas regional dari agresi China. Jepang dan China memiliki sejarah kompleks yang ditandai periode konflik, kerja sama, dan persaingan.
Dalam beberapa dekade terakhir, hubungan China dan Jepang telah dibentuk oleh sengketa teritorial, khususnya atas Kepulauan Senkaku (disebut Diaoyu oleh China) di Laut China Timur.
Perselisihan yang sudah berlangsung lama ini telah menjadi sumber ketegangan yang terus-menerus, dengan kedua negara menegaskan kedaulatan atas pulau-pulau tak berpenghuni tersebut, yang dikelilingi perairan kaya sumber daya dan jalur pelayaran yang vital.
Periode pasca-Perang Dunia II menyaksikan Jepang mengadopsi konstitusi pasifis, menahan diri dari membangun kekuatan militer berskala besar. Namun, ekspansi militer China yang cepat dan tindakan tegas di kawasan tersebut telah mendorong Tokyo untuk memikirkan kembali kebijakan pasifis tersebut.
Ketegangan China-Jepang
Pergeseran ini khususnya terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir, karena Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan militernya dan memperkuat aliansi dengan negara-negara yang berpikiran sama. Ketegangan ekonomi telah menambah lapisan lain pada hubungan yang tegang.Larangan China terhadap impor makanan laut Jepang, yang diberlakukan sebagai tanggapan atas pelepasan air limbah olahan Tokyo dari pabrik nuklir Fukushima, telah menuai kritik dari pejabat Jepang.
Langkah Beijing tidak hanya mengganggu ekspor makanan laut Jepang, tetapi juga mengisyaratkan kesediaan China untuk memanfaatkan alat ekonomi dalam perselisihan geopolitik. Menlu Jepang Takeshi Iwaya menyebut larangan tersebut "tidak dapat dibenarkan" dan menekankan keamanan pembuangan air limbah, yang telah divalidasi oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Kekecewaan Tokyo diperparah persepsi bahwa tindakan China merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk memberikan tekanan dan pengaruh ekonomi. Hubungan diplomatik semakin tegang akibat penahanan seorang pengusaha Jepang oleh Tiongkok awal tahun ini atas tuduhan spionase.
Meski rincian kasus tersebut masih belum jelas, hal itu telah memicu keresahan di Jepang dan menimbulkan pertanyaan tentang keselamatan warga negara Jepang yang beroperasi di China. Tokyo telah menyerukan transparansi dan pembebasan segera warga negaranya, tetapi Beijing tetap teguh, dengan mengutip prosedur hukumnya.
Insiden ini telah menambah ketidakpercayaan antara kedua negara dan meningkatkan persepsi tentang pendekatan China yang semakin otoriter terhadap tantangan internal dan eksternal. Kekhawatiran Jepang tidak terbatas pada masalah bilateralnya dengan China.
Selat Taiwan
Meningkatnya aktivitas militer Beijing di sekitar Taiwan dan Filipina telah semakin memperkuat kecemasan regional. Serangan yang sering dilakukan oleh pesawat militer dan kapal Angkatan Laut China ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan dipandang sebagai tindakan provokatif yang bertujuan untuk mengintimidasi pulau yang diperintah sendiri itu, yang dianggap Beijing sebagai provinsi yang memisahkan diri.Jepang memandang stabilitas di Selat Taiwan sebagai hal penting bagi keamanan dan kepentingan ekonominya. Kedekatan Taiwan dengan pulau-pulau paling selatan Jepang membuat setiap peningkatan ketegangan di wilayah tersebut menjadi ancaman langsung bagi Tokyo.
Dalam pernyataan baru-baru ini, pejabat Jepang telah menegaskan kembali komitmen mereka untuk perdamaian dan stabilitas di kawasan, dengan menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk mengimbangi sikap agresif China.
Sementara itu, aktivitas China di Laut China Selatan, termasuk di dekat Filipina, juga telah menuai kritik internasional. Militerisasi pulau-pulau buatan dan “pelecehan” terhadap kapal-kapal Filipina oleh Beijing menggarisbawahi ambisinya yang lebih luas di kawasan tersebut.
Tindakan-tindakan ini telah menghasilkan hubungan pertahanan yang lebih erat antara Jepang dan Filipina, karena kedua negara berupaya untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan keamanan bersama. Menanggapi meningkatnya aktivitas militer China, Jepang telah mengambil beberapa langkah untuk memperkuat postur pertahanan dan aliansi regionalnya.
Tokyo telah meningkatkan anggaran pertahanannya, dengan rencana untuk menggandakannya selama lima tahun ke depan, yang mencerminkan perubahan signifikan dalam sikap pasifisnya pascaperang.
Dana tersebut akan digunakan untuk memodernisasi Pasukan Bela Diri (SDF) Jepang, meningkatkan sistem pertahanan rudal, dan mengembangkan kemampuan baru seperti pertahanan siber dan antariksa. Jepang juga telah memperdalam kemitraan keamanannya dengan sekutu utama, termasuk Amerika Serikat, Australia, dan India.
Kelompok QUAD, yang terdiri dari keempat negara tersebut, telah muncul sebagai landasan strategi Jepang untuk mempromosikan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Latihan militer gabungan dan kolaborasi teknologi pertahanan secara berkala semakin memperkuat hubungan QUAD.
Geopolitik Indo-Pasifik
Selain itu, Jepang telah berupaya memperluas kemitraannya dengan negara-negara Asia Tenggara, dengan mengakui kekhawatiran bersama tentang tindakan China di Laut China Selatan. Dukungan Tokyo untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kapasitas di kawasan tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengimbangi pengaruh Beijing.Dari sudut pandang Beijing, aktivitas militer dan tindakan ekonominya dibingkai sebagai respons defensif terhadap ancaman yang dirasakan dari Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Jepang. Pejabat China menuduh Tokyo terlalu dekat dengan Washington dan meningkatkan ketegangan dengan meningkatkan pengeluaran militernya dan berpartisipasi dalam latihan gabungan.
Sikap agresif China juga didorong oleh tujuan jangka panjangnya untuk menyatukan kembali Taiwan dengan daratan utama. Sementara Beijing bersikeras bahwa tindakannya ditujukan untuk menjaga integritas teritorial dan stabilitas regional, tindakan tersebut secara luas dipandang sebagai hal yang mengganggu stabilitas oleh negara-negara tetangganya.
Peran Amerika Serikat (AS) di kawasan tersebut merupakan faktor penting dalam dinamika Jepang-China. Aliansi keamanan Washington dengan Tokyo, yang dibentuk berdasarkan Perjanjian Keamanan Bersama AS-Jepang, tetap menjadi landasan strategi pertahanan Jepang.
AS juga telah meningkatkan kehadiran militernya di Indo-Pasifik, melakukan operasi kebebasan navigasi di Laut China Selatan, dan memperkuat hubungan dengan sekutu regional. Sementara AS secara konsisten menegaskan komitmennya untuk membela Jepang dan mendukung Taiwan, tindakannya juga menuai kritik tajam dari Beijing.
China memandang kehadiran AS sebagai upaya untuk menahan kebangkitannya dan melemahkan kedaulatannya. Meningkatnya ketegangan antara Jepang dan China menyoroti kompleksitas dalam menavigasi lanskap geopolitik yang berubah dengan cepat di Indo-Pasifik.
Kekhawatiran Menlu Jepang atas aktivitas militer China tidak hanya mencerminkan masalah bilateral, tetapi juga dinamika regional yang lebih luas yang melibatkan Taiwan dan Filipina. Saat kedua negara bergulat dengan tantangan ini, jalan ke depan akan bergantung pada keseimbangan antara pencegahan, diplomasi, dan dialog.