Periskop 2025: Menanti Kiprah Donald Trump Sebagai Presiden AS, Juru Damai Atau Pemicu Perang?

Periskop 2025: Menanti Kiprah Donald Trump Sebagai Presiden AS, Juru Damai Atau Pemicu Perang?

Global | okezone | Jum'at, 3 Januari 2025 - 17:39
share

JAKARTA – Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada pemilihan November menjadi salah satu peristiwa penting selama 2024. Ini juga membawa harapan untuk akhir dari beberapa konflik yang terjadi di dunia, terutama perang di Ukraina dan pembantaian oleh zionis Israel di Gaza.

Selama kampanye pemilihan presidennya, Trump telah sesumbar untuk menjadi juru damai konflik jika terpilih. Salah satu komentarnya yang banyak disorot adalah janjinya untuk mengakhiri konflik di Ukraina dalam 24 jam saat menjadi Presiden AS.

"Kepribadian saya membuat kita keluar dari perang," kata Trump saat berkampanya di New Hampshire pada Januari 2023. "Jika saya presiden, tidak akan ada perang dengan Rusia di Ukraina."

“Bahkan sekarang, terlepas dari banyaknya korban jiwa dan kehancuran sebagian besar negara itu (Ukraina), saya akan memiliki kesepakatan damai… dalam 24 jam,” ujarnya saat itu.

Meski banyak yang skeptis, termasuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, tidak sedikit juga yang berharap sesumbar Trump ini menjadi kenyataan.

Sementara untuk konflik di Gaza, meski tidak secara eksplisit, Trump telah mengisyaratkan akan mengupayakan dihentikannya kekejaman Israel di Gaza, yang telah berlangsung selama lebih dari setahun dan menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.

Bahkan, harapan kepada Trump untuk mengakhiri konflik di Gaza itulah yang mendorong banyak warga Muslim dan Arab di Amerika untuk memberikan suara mereka pada sang miliarder. Ini terlepas dari rekam jejak Trump yang buruk terkait isu Palestina selama masa jabatan pertamanya.

Perang Rusia-Ukraina

Konflik di Ukraina telah berlangsung selama hampir setahun saat Trump menyampaikan sesumbarnya. Konflik tersebut dimulai pada Februari 2022 saat Rusia melancarkan Operasi Militer Khusus ke Ukraina dengan alasan melindungi rakyat Donbass dan kegagalan Kyiv untuk mengimplementasikan perjanjian damai Minsk. Kyiv dan sekutu Baratnya menyebut langkah Rusia tersebut sebagai invasi untuk merebut wilayah Ukraina.

 

Hingga saat ini, konflik masih terus berlangsung dan tampaknya masih akan berlanjut, meski situasi di lapangan menunjukkan Ukraina terus kehilangan sejumlah wilayah yang kini telah dikuasai oleh pasukan Rusia.

Komentar Trump tersebut banyak ditanggapi dengan keraguan dari berbagai pihak, termasuk Rusia dan Ukraina. Ini terutama karena saat itu Kyiv menolak melakukan perundingan apa pun dengan Moskow untuk menghentikan perang.

Namun, ketergantungan Ukraina akan bantuan dan persenjataan kiriman AS mungkin bisa menjadi kunci bagi Trump untuk memaksa Presiden Zelensky ke meja perundingan. Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan negosiasi guna mengakhiri perang.

Pertanyaan lain yang muncul adalah “harga” yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Baik Ukraina dan Rusia menolak untuk menyerahkan wilayah yang telah berpindah tangan selama konflik.

Banyak spekulasi mengenai apa yang akan ditawarkan Trump kepada Moskow dan Kyiv untuk mengakhiri perang. Banyak yang meyakini bahwa Rusia tidak akan menerima syarat apapun yang berkaitan dengan penyerahan wilayah yang direbut pasukannya selama operasi militer, atau pun terkait dengan kehadiran pasukan asing di Ukraina.

Jika negosiasi ini terjadi dengan syarat Rusia, maka Ukraina harus kehilangan setidaknya seperlima dari wilayahnya yang telah direbut pasukan Moskow. Rusia juga tidak akan mengizinkan Ukraina untuk bergabung dengan NATO, yang menjadi salah satu alasan Moskow melancarkan operasi militernya.

Meski tenggat waktu 24 jam mungkin tidak akan terpenuhi, banyak yang memperhatikan langkah apa yang akan diambil Trump terkait konflik ini setelah dia dilantik pada 20 Januari mendatang.

Perdamaian di Gaza

Konflik lain yang diharapkan dapat diselesaikan Trump adalah perang antara Hamas dan Israel di Gaza, Palestina. Namun, harapan terkait netralitas Trump dalam konflik ini telah memudar, berkaca pada kebijakannya di Timur Tengah pada masa jabatan pertama dan pilihan menteri kabinetnya.

Politik luar negeri yang dijalankan Trump pada masa jabatan pertamanya, serta pilihan menteri kabinetnya yang sangat pro-Israel seakan menunjukkan bahwa Trump tidak akan memberikan solusi yang adil bagi Palestina di Gaza.

 

Beberapa hari setelah terpilih sebagai Presiden AS ke-47, Trump langsung melontarkan ancaman kepada Hamas untuk segera mebebaskan sandera atau menghadapi “neraka”. Meski belum mengungkap strategi jelas mengenai upaya perdamaian yang akan dilakukannya di Gaza, ancaman dari Trump tidak menimbulkan kepercayaan terhadap kemampuan AS sebagai mediator yang baik.

Ada asa bahwa Trump dapat menekan Israel untuk melakukan gencatan senjata mengingat hubungannya dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Namun, nama yang terakhir sedang berjuang mempertahankan jabatannya, dan tampaknya ingin perang terus berlangsung demi mencapai tujuan itu.

Pemicu Konflik

Sementara itu, rivalitas AS dan China juga tengah memuncak, terkait dalam berbagai isu miulai dari ekonomi, perdagangan, sengketa di Laut Cina Selatan, hingga Taiwan. Ketegangan ini memunculkan potensi konflik baru, terutama terkait Taiwan.

Berkaca pada masa pemerintahan pertamanya, Trump cenderung hawkish dan konfrontatif terhadap China. Kita tidak lupa bagaimana Trump melancarkan apa yang dia sebut sebagai perang dagang dengan Beijing, yang dampaknya dirasakan secara global.

Situasi di Selat Taiwan juga semakin memanas dalam beberapa tahun belakangan, dengan Presiden China Xi Jinping menegaskan pada pidato Tahun Baru bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Beijing untuk bersatu kembali dengan Taiwan. Bergantung pada sikap Trump, ini berpotensi memicu konflik terbuka antara China dengan AS.

Selain itu Trump juga sangat bermusuhan dengan Iran, yang merupakan seteru AS dan Israel di Timur Tengah. Serangkaian kebijakan Trump pada masa pemerintahan pertamanya, terutama keputusannya untuk memerintahkan pembunuhan terhadap pemimpin pasukan Quds Iran, Jenderal Qassem Soleimani, telah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah secara signifikan, yang jika diulangi, bukan tidak mungkin memicu perang yang lebih hebat.

 

Langkah ini bisa jadi kembali diterapkan Trump di masa jabatan keduanya, terutama dengan semakin dominannya China dalam berbagai bidang, seperti kendaraan ramah lingkungan.

Apapun langkah yang nantinya akan diambil Trump harus menunggu peralihan kekuasaan dari pemerintahan Presiden Joe Biden. Akankah Trump menjadi juru damai, atau justru kebijakannya akan memunculkan konflik baru di berbagai belahan dunia.

Topik Menarik