Ekspansi Industri Global China Diduga Libatkan Praktik Eksploitatif

Ekspansi Industri Global China Diduga Libatkan Praktik Eksploitatif

Global | sindonews | Kamis, 2 Januari 2025 - 08:19
share

Dalam pola pelanggaran ketenagakerjaan yang terjadi di beberapa benua, pabrik-pabrik milik China menghadapi pengawasan ketat dan penutupan pabrik di saat otoritas terkait mengungkap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang meluas.

Mengutip dari PML Daily, Kamis (2/1/2025), penemuan terbaru terhadap 163 warga negara China yang bekerja dalam "kondisi seperti perbudakan" di lokasi konstruksi perusahaan BYD di negara bagian Bahia, Brasil, menandai kasus terbaru dari serangkaian pengungkapan mengejutkan yang mengungkap sisi gelap ekspansi industri global China yang berjalan pesat.

Kasus di Brasil, yang melibatkan raksasa kendaraan listrik BYD, telah mengungkap praktik-praktik meresahkan yang tampaknya mencerminkan pelanggaran ketenagakerjaan yang ditemukan di kawasan industri China itu sendiri. Para pekerja menjadi sasaran kondisi yang sangat melelahkan yang melanggar undang-undang ketenagakerjaan Brasil: jam kerja berlebihan, kondisi hidup yang merendahkan martabat, dan penyitaan paspor—taktik klasik perbudakan modern.

Perusahaan yang dikontrak, Jinjiang Construction Brazil, diduga menahan 60 persen upah pekerja dan menerapkan tindakan hukuman, memaksa mereka yang mencoba pergi untuk membayar sendiri tiket pesawat pulang. Kondisi kehidupan di sana sangat mengejutkan, dengan para pekerja dipaksa bangun pukul 04.00 pagi untuk mengantre di fasilitas yang tidak memadai—satu toilet melayani 31 orang—sebelum memulai shift mereka pada pukul 05.30 pagi dalam apa yang digambarkan pengawas ketenagakerjaan sebagai kondisi kerja yang berbahaya.

Insiden yang meresahkan ini terjadi setelah perkembangan serupa di Angola, di mana pihak berwenang baru-baru ini menutup dua pabrik China karena pelanggaran berat.

Sebuah fasilitas pemrosesan logam di Angola ditutup karena beroperasi tanpa izin yang tepat dan menyebabkan kerusakan lingkungan melalui pencemaran air, sementara sebuah pabrik plastik ditutup setelah 131 pekerja ditemukan “dipenjara” dalam kondisi yang tidak higienis, mengalami pembatasan pergerakan, dan diberi nutrisi yang tidak memadai. Para pekerja ini dilaporkan diberi makanan yang sama setiap hari dan dilarang meninggalkan tempat kerja—bentuk modern dari pemenjaraan di sektor industri.

Pasokan Alumunium di Xinjiang

Insiden internasional ini menyoroti pola eksploitasi tenaga kerja yang lebih luas yang tampaknya terkait erat dengan model ekspansi industri China.

Ketika perusahaan China seperti BYD mengejar pertumbuhan internasional yang agresif, mereka tampaknya tidak hanya mengekspor produk dan teknologi, tetapi juga praktik ketenagakerjaan yang bermasalah yang telah menimbulkan masalah hak asasi manusia yang serius. Pola ini menjadi sangat mengkhawatirkan jika dilihat dengan latar belakang praktik industri domestik China, terutama di wilayah seperti Xinjiang.

Situasi di Xinjiang menjadi peringatan keras tentang apa yang mungkin menjadi pola global jika tidak ditangani. Di sana, industri aluminium, yang penting bagi produksi otomotif global, telah sangat tercemar oleh tuduhan kerja paksa.

Sekitar 9 persen pasokan aluminium global berasal dari Xinjiang, tempat pemerintah China dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap etnis Uighur dan komunitas Muslim Turki lainnya. Skala operasi ini mengejutkan—produksi aluminium Xinjiang telah tumbuh dari sekitar satu juta ton pada tahun 2010 menjadi enam juta pada tahun 2022, menjadikannya produsen yang lebih besar daripada negara mana pun di luar China.

Produsen aluminium besar China di Xinjiang, seperti Xinjiang East Hope Nonferrous Metals, Tianshan Aluminum, dan Xinfa Group Xinjiang, telah terlibat dalam program pemindahan tenaga kerja yang didukung pemerintah yang secara efektif memaksa warga Uighur untuk bekerja.

Praktik perusahaan-perusahaan tersebut di dalam negeri telah menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen mereka terhadap hak-hak buruh dalam operasi internasional serta memperlihatkan pendekatan sistematis terhadap eksploitasi tenaga kerja yang melampaui batas-batas negara.

Tanggapan global terhadap pelanggaran ini telah mendapatkan momentum, meski banyak yang berpendapat bahwa hal itu masih belum memadai. Amerika Serikat (AS) telah menerapkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur, yang menciptakan anggapan bahwa barang-barang yang dibuat seluruhnya atau sebagian di Xinjiang tidak memenuhi syarat untuk diimpor.

Uni Eropa sedang mempersiapkan undang-undang serupa untuk melarang impor yang terkait dengan kerja paksa. Namun, sikap bermusuhan pemerintah China terhadap investigasi hak asasi manusia dan undang-undang antispionase yang baru-baru ini diperluas telah menciptakan hambatan signifikan bagi perusahaan yang mencoba melakukan uji tuntas dalam rantai pasokan mereka.

Industri otomotif menghadapi tantangan khusus karena China menjadi pemain yang semakin dominan di sektor tersebut. Produsen mobil global yang beroperasi di China melalui usaha patungan sering mengklaim kendali terbatas atas operasi mitra mereka, sehingga menciptakan apa yang oleh para kritikus dianggap sebagai alasan tepat untuk menutup mata terhadap pelanggaran ketenagakerjaan.

Rantai Pasokan yang “Tercemar”

Volkswagen, misalnya, meski menyatakan komitmennya terhadap hak asasi manusia, mengakui bahwa mereka "tidak memiliki transparansi" tentang hubungan pemasok dalam usaha patungannya di China. Bahkan perusahaan Tesla, yang telah memberikan informasi lebih rinci tentang sumber aluminiumnya, tidak dapat sepenuhnya menjamin rantai pasokannya bebas dari hubungan kerja paksa.

Ketidakjelasan dalam rantai pasokan memungkinkan bahan-bahan yang berpotensi “tercemar” memasuki pasar global tanpa terdeteksi, khususnya melalui jaringan perdagangan industri aluminium yang kompleks.

Setelah batangan aluminium dicairkan dan dicampur dengan bahan lain, asal-usulnya menjadi tidak mungkin ditentukan, sehingga aluminium yang tercemar dapat menyusup ke rantai pasokan global tanpa terdeteksi. Kurangnya penelusuran ini menciptakan “badai sempurna” di mana pelanggaran hak asasi manusia dapat berkembang biak di balik kedok operasi bisnis yang sah.

Penutupan pabrik baru-baru ini di Brasil dan Angola seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusahaan. Keduanya menunjukkan bahwa praktik ketenagakerjaan bermasalah yang terkait dengan operasi industri China tidak terbatas pada Xinjiang, tetapi merupakan masalah sistemik dalam ekspansi industri China secara global.

Insiden ini menunjukkan pola meresahkan di mana keuntungan diprioritaskan daripada martabat manusia, dan di mana upaya untuk memperluas kapasitas industri mengorbankan hak asasi manusia yang mendasar.

Di saat China terus mengejar visi Presiden Xi Jinping untuk menjadi "kekuatan otomotif”, dunia harus menuntut akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar. Perusahaan yang membuat mobil di China atau mendapatkan suku cadang dari pemasok China harus mematuhi hak asasi manusia dan standar ketenagakerjaan yang sama seperti yang mereka terapkan di tempat lain.

Situasi saat ini, di mana kepentingan bisnis berulang kali mengalahkan masalah hak asasi manusia, tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga tidak dapat dipertahankan secara moral.

Pola pelanggaran yang terungkap di Brasil, Angola, dan tempat lain menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan penegakan hukum internasional yang kuat, ekspansi industri China berisiko melemahkan standar ketenagakerjaan secara global. Komunitas internasional harus bertindak tegas untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan martabat dan hak asasi manusia.

Topik Menarik