Picu Kontroversi, Proyek Bendungan PLTA China Dapat Protes Keras di Tibet
JAKARTA – Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) China di Tibet dilaporkan telah memicu kontroversi. Tidak hanya terkait lingkungan, proyek itu ditenggarai juga mengancam kebudayaan Tibet.
Laporan Kampanye Internasional untuk Tibet yang dilansir The Singapore Post menuduh Partai Komunis China (PKC) mengejar proyek tersebut dengan agresif tanpa memedulikan suara dari warga Tibet, konsekuensi lingkungan, dan kesejahteraan negara-negara hilir. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa proyek tersebut mengedepankan tujuan poltik ketimbang dampaknya pada manusia dan ekologi.
Menurut laporan tersebut, ratusan bendungan yang dibangun atau direncanakan telah menutupi seluruh dataran tinggi Tibet. Rencana pembangunan bendungan PLTA China yang cepat telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada peradaban Tibet, lingkungan, negara-negara hilir, dan iklim.
Tak hanya Tibet, negara-negara di hilir seperti Bangladesh, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam juga dilaporkan terkena dampak dari proyek pembangunan PLTA China ini. Setidaknya 11 dari 13 bendungan PLTA yang dioperasikan Beijing dituduh menahan air di hulu selama musim kemarau. Akibatnya, aliran sungai Mekong menunjukkan penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir yang berdampak pada sektor pertanian, perikanan, dan mata pencaharian jutaan orang di negara-negara tersebut.
"Skala dan cakupan pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air China tidak dapat dipercaya dan tidak masuk akal," kata Tencho Gyatso, Presiden Kampanye Internasional untuk Tibet.
Aksi Protes Warga Tibet
Laporan tersebut menemukan bahwa proyek bendungan tersebut akan menggusur 1,2 juta warga Tibet yang tinggal di wilayah pembangunan, dan menghilangkan mata pencaharian mereka.
Disebutkan bahwa lebih dari 80 persen bendungan dengan kapasitas 100 MW atau kurang dari 100 MW menimbulkan ancaman bagi peradaban Tibet, keberlanjutan lingkungan, dan iklim. Dari jumlah tersebut, 60 persen masih dalam tahap proposal atau persiapan, yang memberikan peluang untuk mengubah arah.
Para ahli mengatakan bahwa pemerintah China tidak akan menanggapi laporan tersebut karena ingin melanjutkan rencananya membangun bendungan. Pada Februari tahun ini, sebuah protes diselenggarakan terhadap pembangunan stasiun tenaga air berkapasitas 1,1 juta kilowatt di Sungai Drichu di Kabupaten Derge (Dege dalam bahasa Mandarin), bagian dari Prefektur Otonomi Tibet Garze di Provinsi Sichuan.
Derge bukan bagian dari Daerah Otonomi Tibet yang ditetapkan China, tetapi merupakan bagian dari Kham, wilayah yang secara historis merupakan wilayah Tibet. Para pengunjuk rasa juga meminta pencabutan perintah bagi ribuan warga Tibet untuk pindah dari desa Wonto Hulu dan Shipa serta enam biara penting – termasuk biara Wonto, yang dibangun pada abad ke-13 dan memiliki mural tak ternilai yang berasal dari periode tersebut.
Sejumlah desa dan biara tersebut diperkirakan akan dilanda banjir setelah waduk bendungan selesai dibangun. Beberapa protes telah terjadi setelah bulan Februari. Para diplomat telah melaporkan bahwa protes ini diredam tindakan keras pemerintah China, termasuk penangkapan lebih dari 1.000 warga Tibet, termasuk biksu, dan memberlakukan lockdown penuh terhadap sejumlah biara.
Kedaulatan Lokal Tibet
Laporan tersebut juga melaporkan bahwa banyak dari bendungan PLTA China yang sudah ada, yang direncanakan, dan sedang dibangun ini tidak memiliki Penilaian Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA) yang komprehensif.
Pendekatan Beijing terhadap pembangunan bendungan di Tibet juga dinilai mengejutkan karena secara terbuka bertentangan dengan kerangka legislatif China seperti undang-undang, pengungkapan lingkungan pemerintah, litigasi lingkungan kepentingan publik, umpan balik publik tentang proyek PLTA yang direncanakan, dan prosedur ESIA yang tepat. Sejak 2009, China telah merumuskan dan menerapkan tiga rencana aksi tentang hak asasi manusia dan masalah lingkungan.
Berdasarkan sejumlah peraturan tersebut, pemerintah China sangat menyadari bahwa proyek-proyek khusus tertentu, seperti bendungan PLTA, menyebabkan dampak lingkungan merugikan dan secara langsung memengaruhi hak-hak lingkungan masyarakat.
Peneliti James Leibold dalam sebuah tulisan di jurnal Made in China melaporkan tentang Proyek Bantuan Tibet, yang menyatakan bahwa inisiatif PKC yang memasangkan unit-unit administratif Tibet dengan para aktor pemerintah pedalaman pada dasarnya dimaksudkan untuk memperluas perusahaan kolonial-pemukim Beijing dan memperkuat dominasi etnis Han di wilayah tersebut.
Menurutnya, di antara kader-kader Bantuan Tibet yang diikutsertakan dalam propaganda PKC adalah para insinyur Han yang berkomitmen mengubah lanskap fisik Tibet melalui proyek-proyek infrastruktur yang "membudayakan” budaya China.
“Dengan melepaskan legiun baru pejabat dan pemukim Han ke Dataran Tinggi Tibet, Xi berupaya menyelesaikan integrasi wacana, demografi, dan budaya Tibet menjadi kekaisaran Han yang baru,” kata Leibold, merujuk pada Presiden China Xi Jinping.
“Terlepas dari pun niat dan tujuannya, proyek pembangunan bendungan PLTA China dapat mengikis kedaulatan lokal Tibet,” pungkas dia.