8 Negara Arab Janji Dukung Proses Transisi Damai di Suriah
Para diplomat tinggi dari delapan negara Liga Arab sepakat dalam pertemuan di Yordania untuk “mendukung proses transisi damai” di Suriah setelah penggulingan Presiden Bashar al-Assad.
Para menteri luar negeri (menlu) dari Yordania, Arab Saudi, Irak, Lebanon, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Qatar mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Sabtu (14/12/2024) setelah mereka bertemu di pelabuhan Laut Merah Yordania, Aqaba.
Mereka mengatakan “semua kekuatan politik dan sosial” harus terwakili dalam pemerintahan Suriah yang baru dan memperingatkan “setiap diskriminasi etnis, sektarian, atau agama” dan menyerukan “keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara”.
“Proses politik di Suriah harus didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab, sesuai dengan prinsip-prinsip Resolusi Dewan Keamanan 2254, resolusi pada tahun 2015 yang menetapkan peta jalan untuk penyelesaian yang dinegosiasikan,” ungkap pernyataan itu.
Para diplomat Arab juga menghadiri pertemuan terpisah di Aqaba yang dihadiri Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken, Utusan Khusus PBB untuk Suriah Geir Pederson dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE) Kaja Kallas, serta Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan.
Pertemuan itu juga menyerukan pemerintahan yang inklusif dan representatif yang menghormati hak-hak minoritas dan tidak menawarkan "basis bagi kelompok teroris", menurut Blinken, yang berbicara dalam konferensi pers.
"Kesepakatan hari ini mengirimkan pesan terpadu kepada otoritas sementara dan pihak-pihak baru di Suriah mengenai prinsip-prinsip yang penting untuk mengamankan dukungan dan pengakuan yang sangat dibutuhkan," ujar dia.
Pembicaraan itu dilakukan setelah jatuhnya al-Assad usai serangan kilat oleh kelompok oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pekan lalu.
“Membangun kembali lembaga dan membentuk Suriah yang inklusif adalah istilah-istilah utama dari para diplomat Arab yang diungkap banyak posisi pejabat tinggi lainnya yang hadir hari ini di Aqaba," papar Nour Odeh dari Al Jazeera, melaporkan dari ibu kota Yordania, Amman.
“Tidak seorang pun ingin melihat Suriah terpecah menjadi beberapa negara,” ujar dia. “Mereka ingin melihat Suriah yang stabil yang dapat menyambut kembali jutaan pengungsi, dan mereka menawarkan dukungan, baik secara politik, finansial, maupun kemanusiaan.”
Menurut pernyataan mereka, “Para menteri Arab mengatakan lembaga-lembaga negara harus dipertahankan untuk menghentikan Suriah dari terjerumus ke dalam kekacauan, dan juga menyerukan untuk meningkatkan upaya bersama untuk memerangi terorisme … karena hal itu merupakan ancaman bagi Suriah dan keamanan kawasan dan dunia.”
Mereka juga mengutuk “serangan Israel ke zona penyangga dengan Suriah”, serangan udaranya di Suriah, dan menuntut “penarikan pasukan Israel” dari wilayah Suriah.
Inklusivitas adalah Penting
Setelah al-Assad digulingkan, pemerintahan transisi yang dibentuk pasukan pemberontak bersikeras hak-hak semua warga Suriah akan dilindungi, seperti juga aturan hukum.
Hal ini akan menjadi hal mendasar bagi Suriah pasca-Assad untuk menghindari kesalahan masa lalu, menurut Labib al-Nahhas, direktur Asosiasi Suriah untuk Martabat Warga Negara, yang mengadvokasi hak-hak pengungsi Suriah.
“Kunci keberhasilan dalam fase kritis seperti ini adalah inklusivitas, dan tidak menyerahkan negara kembali kepada satu partai atau satu orang karena itulah asal mula masalah yang kita hadapi, itulah asal mula bagaimana kita sampai di sini setelah 50 tahun kediktatoran,” ujar al-Nahhas kepada Al Jazeera.
“Perilaku penduduk Suriah secara umum, dan para pemberontak secara khusus, yang pergi ke kota-kota, bahkan pergi ke daerah-daerah minoritas. Saya pikir itu patut dicontoh,” papar al-Nahhas, seraya menambahkan sejauh ini hanya ada beberapa laporan tentang pembalasan atau tindakan balas dendam.
Direktur tersebut mengatakan masyarakat internasional harus berperan dalam menjaga proses inklusivitas Suriah.