Penyebab Jatuhnya Rezim Bashar al-Assad di Suriah
DAMASKUS - Pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad jatuh secara mengejutkan dalam waktu kurang dari dua minggu. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) bersama berbagai kelompok pemberontak Suriah melancarkan serangan besar-besaran terhadap rezim Bashar al-Assad. Serangan ini diawali dengan merebut Aleppo, kota terbesar kedua sekaligus pusat ekonomi Suriah, mereka bergerak cepat ke selatan melewati Hama, Homs, hingga akhirnya mencapai Damaskus.
Menariknya, pemberontak hampir tidak menemui perlawanan berarti dari pasukan rezim Suriah maupun sekutunya seperti Rusia, Iran, atau Hizbullah. Setelah lebih dari 50 tahun berkuasa di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad dan kemudian Bashar, rezim ini akhirnya runtuh.
Kejatuhan rezim Bashar sebenarnya berakar pada rangkaian peristiwa sejarah yang telah berlangsung lama. Melansir The Conversation, Hafez al-Assad, yang memerintah Suriah dari tahun 1970 hingga 2000, menggunakan pendekatan pragmatis dengan menjalin aliansi dengan berbagai pihak, baik negara maupun non-negara. Dia memberikan perhatian khusus kepada minoritas seperti Alawi dan kelompok terkait Syi’ah, sambil tetap menjaga hubungan harmonis dengan komunitas Sunni dan Kristen. Pendekatan ini memastikan berbagai kelompok memiliki kepentingan untuk mempertahankan rezim.
Bashar al-Assad meneruskan kepemimpinan ayahnya dan memperkenalkan kebijakan liberalisasi yang kemudian memicu kemunculan kelompok paramiliter baru yang dipimpin oleh elit bisnis yang loyal. Sayangnya, kelompok-kelompok ini lebih korup dan kurang disiplin dibandingkan dengan tentara nasional.
Melalui BBC, Rezim Assad digambarkan sebagai sistem yang “keropos, korup, dan membusuk.” Pada 2011, di tengah gelombang revolusi Arab, rakyat Suriah mencoba mengadopsi semangat revolusioner yang telah menggulingkan para pemimpin di Tunisia dan Mesir. Dengan kekuasaan Bashar mulai semakin melemah, ia mencoba mempertahankan legitimasi dengan memainkan peran pendukung Palestina dan Hizbullah, seperti yang terlihat dalam perang Lebanon-Israel 2006.
Namun, kepercayaan rakyat hancur ketika Bashar memerintahkan pasukannya untuk menembak demonstran damai.
Seorang duta besar Inggris pernah menggambarkan rezim Assad sebagai "keluarga mafia." Loyalis mendapatkan hadiah, sedangkan pengkhianat dihukum mati atau dipenjara tanpa batas waktu. Ribuan tahanan politik dibebaskan oleh pemberontak yang menemukan mereka dalam kondisi kurus kering dan trauma setelah bertahun-tahun di penjara bawah tanah. Kekerasan ini memicu perang saudara yang berlangsung selama 14 tahun.
Ketika Rusia mulai campur tangan pada 2015, mereka menuntut struktur komando militer yang terpusat untuk memudahkan operasi mereka. Akibatnya, banyak milisi lokal diintegrasikan ke dalam korps militer baru yang dipimpin Rusia. Namun, integrasi ini tidak berjalan mulus, karena banyak kelompok tetap bertindak independen meski secara nominal berada di bawah komando rezim atau sekutunya.
“Di Houran, rezim tidak benar-benar mengontrol. Mereka tidak bisa masuk ke kota-kota seperti Busra al-Sham atau Daraa. Semua itu hanya formalitas,” kata seorang mantan gubernur Suriah pada 2022.
Korupsi, moral pasukan yang rendah, dan kekurangan sumber daya semakin melemahkan kekuatan rezim. Ketika serangan pemberontak dimulai, pasukan rezim runtuh sepenuhnya.
Israel Lancarkan 250 Serangan Udara ke Suriah, Klaim Hancurkan 80 Persen Kemampuan Militer
Setelah pertempuran besar berkurang pada 2020, kelompok seperti HTS, Tentara Nasional Suriah (SNA), dan pasukan Kurdi di timur laut Suriah menggunakan waktu ini untuk memperkuat kekuatan mereka. Mereka membangun sistem pemerintahan yang mencakup kementerian ekonomi, pendidikan, hingga registrasi tanah—fungsi yang biasanya hanya dilakukan oleh negara.
HTS juga berusaha merebut hati rakyat dengan langkah simbolis, seperti membebaskan tahanan dari penjara-penjara rezim Assad yang terkenal kejam. Di Aleppo, mereka bahkan mengamankan bank untuk mencegah penjarahan dan mengalihkan listrik dari pabrik besar ke rumah-rumah penduduk.
Pemimpin HTS, Abu Mohammad al-Jolani, kini menggunakan nama aslinya, Ahmed al-Sharaa, dan menyatakan kesediaannya untuk membubarkan HTS demi membentuk struktur pemerintahan baru yang lebih inklusif.