Presiden Iran: Polisi Moral Tak Akan Ganggu Wanita Soal Jilbab
IRAN - Presiden baru Iran Masoud Pezeshkian mengatakan bahwa polisi moral Iran tidak akan lagi "mengganggu" wanita terkait kewajiban mengenakan jilbab . Hal ini diungkapkan Masoud beberapa hari setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa wanita masih dihukum berat karena melanggar aturan berpakaian yang ketat.
Komentar ini disampaikan pada peringatan dua tahun kematian Mahsa Amini yang berusia 22 tahun dalam tahanan polisi setelah ia ditangkap karena diduga tidak mengenakan jilbab dengan benar, yang memicu protes nasional.
PBB minggu lalu mengatakan pemerintah Iran telah meningkatkan upaya sejak periode itu untuk menekan hak-hak wanita dan menghancurkan sisa-sisa aktivisme.
Namun pada Senin (16/9/2024), Pezeshkian mengatakan bahwa polisi moral rezim tersebut seharusnya tidak lagi berhadapan dengan wanita di jalan.
Pezeshkian, yang menjadi presiden setelah pendahulunya meninggal dalam kecelakaan helikopter, dipandang sebagai pemimpin yang berpotensi melakukan reformasi. Ia menanggapi pertanyaan dari seorang reporter wanita yang mengatakan bahwa ia mengambil jalan memutar dalam perjalanan menuju konferensi pers untuk menghindari mobil polisi. Ia mengenakan jilbab longgar dengan sedikit rambut yang terlihat.
Ketika ditanya oleh Pezeshkian apakah polisi masih berada di jalan, ia membenarkan bahwa memang demikian. "Polisi moral tidak seharusnya menghadapi [wanita]. Saya akan menindaklanjutinya sehingga mereka tidak mengganggu [wanita], terangnya.
Komentarnya disiarkan langsung di jaringan TV pemerintah utama, termasuk saluran berita bergulir IRINN. Klip rekaman percakapan dengan jurnalis wanita tersebut telah menjadi viral di internet. Itu adalah konferensi pers pertama Pezeshkian sejak menjabat pada Juli lalu, menggantikan Ebrahim Raisi yang sangat konservatif.
Selama kampanye pemilihannya, ia berjanji untuk menentang patroli polisi yang menegakkan kewajiban mengenakan jilbab. Ia juga berjanji untuk melonggarkan beberapa kontrol internet yang telah lama berlaku di negara tersebut. Iran meningkatkan pengawasan media sosial menyusul protes anti-kemapanan yang dipimpin perempuan di seluruh negeri pada tahun 2022.
Tanda-tanda sikap yang mungkin lebih longgar terhadap aturan berpakaian ketat negara itu untuk perempuan terlihat pada konferensi pers Pezeshkian pada Senin (16/9/2024), di mana beberapa jurnalis perempuan mengenakan penutup kepala yang longgar.
BBC Monitoring melaporkan hal ini tidak bisa karena acara-acara resmi sebelumnya di mana jurnalis perempuan diharuskan tampil dengan jilbab lengkap.
Namun misi pencari fakta terbaru PBB di negara itu mengatakan perempuan masih hidup dalam sistem yang menempatkan mereka sebagai warga negara kelas dua.
"Otoritas negara telah memperluas tindakan dan kebijakan represif untuk semakin merampas hak-hak fundamental perempuan dan anak perempuan, tulis laporan PBB yang dirilis pada minggu lalu.
Disebutkan bahwa pemerintah telah meningkatkan pengawasan terhadap kepatuhan jilbab di lingkungan publik dan pribadi sambil juga mendukung peningkatan kekerasan dalam menghukum perempuan dan anak perempuan yang melanggar aturan.
"Pasukan keamanan telah semakin meningkatkan pola kekerasan fisik yang sudah ada sebelumnya, termasuk memukul, menendang, dan menampar perempuan dan anak perempuan yang dianggap gagal mematuhi hukum dan peraturan wajib jilbab," kata PBB.
Dilaporkan bahwa pihak berwenang juga semakin sering menggunakan hukuman mati terhadap aktivis perempuan dan meningkatkan eksekusi terhadap mereka yang telah menyatakan solidaritas dengan protes tahun 2022 yang dikenal sebagai gerakan Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.
Misi PBB juga mencatat bahwa RUU "Jilbab dan Kesucian" sedang dalam tahap akhir persetujuan di hadapan Dewan Wali Iran dan dapat segera diselesaikan.
"RUU tersebut memberikan hukuman yang lebih berat bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab wajib, termasuk denda finansial yang sangat besar, hukuman penjara yang lebih lama, pembatasan kesempatan kerja dan pendidikan, dan larangan bepergian," ujar penyelidik PBB.