Sejarah Hubungan Mahmoud Abbas dan Hamas, Sempat Pecah Kongsi karena Beda Piihan Politik

Sejarah Hubungan Mahmoud Abbas dan Hamas, Sempat Pecah Kongsi karena Beda Piihan Politik

Global | okezone | Kamis, 15 Agustus 2024 - 15:31
share

PALESTINA - Mahmoud Abbas adalah seorang politisi Palestina yang menjabat sebentar sebagai Perdana Menteri (PM) Otoritas Palestina (PA) pada tahun 2003. Diaterpilih sebagai presiden pada tahun 2005 setelah kematian Yasser Arafat.

Dikutip dari Britannica, sejarah hubungan Abbas dan Hamas dimulai saat Abbas terpaksa mengalami perpecahan yang mendalam di wilayah Palestina pada tahun 2006 soal pilihan politik, Kala itu, kandidat yang didukung oleh Hamas, memenangkan mayoritas kursi dalam pemilihan legislatif. Pemerintahan persatuan Fatah-Hamas yang berumur pendek berubah menjadi kekerasan, dan pada tahun 2007 Hamas menetapkan kendali eksklusif di Jalur Gaza sementara Abbas mengambil alih Tepi Barat melalui keputusan presiden.

Meskipun beberapa kesepakatan menuju rekonsiliasi dicapai pada masa kepresidenan Abbas, reintegrasi tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan sebelum perpecahan kembali muncul.

Di tengah ketegangan yang sedang berlangsung dengan Hamas, Abbas terkadang mendapat kritik karena mengabaikan Jalur Gaza. Selama konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza pada tahun 2008, ia dituduh lamban mengutuk serangan Israel di Jalur Gaza meskipun ia dengan cepat menyalahkan Hamas atas perannya dalam konflik tersebut.

Pada tahun 2017, ketika perjanjian rekonsiliasi dengan Hamas mulai goyah, Abbas menjatuhkan sanksi terhadap Jalur Gaza, memperkuat sanksi yang telah diterapkan Israel dan Mesir selama lebih dari satu dekade terhadap wilayah tersebut.

Abbas juga dikritik karena terlalu otoriter. Setelah membubarkan badan legislatif mayoritas Hamas pada tahun 2007, ia mulai memerintah Tepi Barat melalui keputusan presiden. Ketika masa jabatannya berakhir pada tahun 2009, ia mengaku memiliki kewenangan konstitusional untuk menjabat selama satu tahun lagi, hingga pemilihan legislatif diadakan, karena hukum Palestina mengharuskan pemilihan legislatif dan presiden diadakan pada waktu yang sama. Namun pemilu ditunda tanpa batas waktu, dan Abbas tetap menjadi presiden setelah masa jabatannya berakhir. Tindakan keras di Tepi Barat tidak hanya berdampak pada penyelenggara dan jurnalis yang mengkritik Abbas, tetapi juga individu yang mengkritiknya melalui postingan di media sosial.

Pembicaraan perdamaian antara Israel dan Otoritas Palestina diperbarui pada bulan November 2007, dan perundingan langsung berlanjut hingga tahun 2008. Pada puncak perundingan ini, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, yang masa jabatan perdana menterinya akan berakhir di tengah skandal korupsi, menawarkan Abbas lebih dari 93 persen dari wilayah yang diklaim Palestina di Tepi Barat, dan kedua belah pihak tampaknya sepakat secara prinsip mengenai isu-isu penting lainnya, seperti pembagian Yerusalem.

Namun Abbas tidak memberikan rincian lengkap mengenai proposal tersebut dan menolak untuk langsung menandatangani kesepakatan tersebut. Keesokan harinya, Tzipi Livni terpilih untuk menggantikan Olmert dalam pemilihan partai, tetapi dia tidak dapat membentuk koalisi untuk menjadi perdana menteri, dan negosiasi terhenti saat Israel mengadakan pemilihan awal. Abbas berpartisipasi dalam perundingan perdamaian langsung dengan penerus Olmert, Benjamin Netanyahu, pada tahun 2010. Namun Netanyahu menolak melanjutkan apa yang Abbas tinggalkan dengan Olmert, dan perundingan tersebut dengan cepat terhenti setelah Netanyahu menolak untuk memperpanjang moratorium pembangunan gedung tersebut. Permukiman Israel di Tepi Barat.

Menyusul kegagalan perundingan tersebut, Abbas mengalihkan upayanya untuk mendapatkan pengakuan internasional atas negara Palestina. Pada bulan September 2011 Abbas mengajukan permintaan ke Dewan Keamanan PBB meminta pengakuan negara Palestina merdeka ke PBB. Tindakan tersebut yang ditentang oleh Israel dan Amerika Serikat menjadi perlu, menurutnya, karena perundingan perdamaian yang dimediasi oleh AS tidak memberikan tekanan yang terlalu besar pada Israel untuk membuat konsesi demi perdamaian.

Setahun setelah kegagalan upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh di PBB, Abbas mengumumkan bahwa ia akan mengupayakan pengakuan implisit PBB atas negara Palestina dengan mengajukan rancangan resolusi ke Majelis Umum yang meminta agar status misi Palestina ke PBB (secara resmi disebut Palestina dalam PBB) ditingkatkan dari pengamat tetap menjadi negara pengamat non-anggota. Penunjukan tersebut, meskipun tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota penuh PBB, akan memungkinkan Palestina mengakses badan-badan dan perjanjian-perjanjian internasional yang mungkin meningkatkan kelanggengan dan pengaruh Otoritas Palestina.

Resolusi tersebut disahkan pada tanggal 29 November 2012, resolusi tersebut juga mendesak Israel dan Palestina untuk melanjutkan perundingan yang terhenti menuju solusi dua negara. Para pejabat Israel menentang upaya Abbas untuk mendapatkan pengakuan, dengan mengatakan bahwa tindakan sepihak yang dilakukan Palestina akan menghambat negosiasi dengan Israel. Pada bulan April 2015, Negara Palestina diterima di Pengadilan Kriminal Internasional.

Pada bulan September 2015 Abbas mengumumkan dalam pidatonya di Majelis Umum PBB bahwa Palestina tidak lagi terikat oleh Perjanjian Oslo yang telah ia bantu negosiasikan, dan menuduh Israel telah berulang kali melanggar perjanjian tersebut. Namun dampak praktis dari deklarasinya masih belum jelas, karena ia tidak menyebutkan tindakan spesifik yang harus diambil, seperti membubarkan Otoritas Palestina atau mengakhiri koordinasi keamanan dengan Israel.

Topik Menarik