Bagaimana Toxic Work Culture Memengaruhi Kesejahteraan Mental Dan Produktivitas Karyawan?
Generasi Z sering kali dikaitkan dengan kecenderungan berpindah-pindah pekerjaan atau dijuluki sebagai ‘kutu loncat.’ Salah satu alasan utama di balik fenomena ini adalah ketidakmampuan mereka bertahan dalam lingkungan kerja yang tidak sehat (toxic). Berdasarkan riset Deloitte Global tahun 2023 dalam Gen Z and Millennial Survey, sebanyak 46 Gen Z mengalami stres di tempat kerja hampir sepanjang waktu, menunjukkan kerentanan mereka terhadap tekanan kerja. Mentalitas yang cenderung sensitif terhadap ketidakadilan, kurangnya penghargaan, dan komunikasi buruk membuat mereka lebih cepat kehilangan motivasi dan memilih meninggalkan perusahaan. Beberapa pihak menilai bahwa sikap ini mencerminkan mental yang lemah karena dianggap kurang mampu menghadapi tantangan dan tekanan dunia kerja yang kompetitif. Namun, perspektif ini juga perlu dilihat dari sudut pandang lain, di mana Gen Z memiliki ekspektasi tinggi terhadap kesejahteraan kerja dan lebih vokal dalam menuntut lingkungan yang sehat dan mendukung.
Jadwal Sholat Bekasi dan Sekitarnya
Dalam dunia kerja, istilah toxic work culture adalah kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat dan penuh tekanan, di mana hubungan antar karyawan, komunikasi, dan manajemen cenderung negatif. Akibatnya, karyawan sering mengalami stres, ketidakpuasan, dan penurunan produktivitas, yang dapat memengaruhi kesejahteraan mereka baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi. Adapun beberapa ciri utama toxic work culture yang sering ditemui di dunia kerja modern yaitu pertama, dalam perusahaan banyak rekan kerja yang mengganggu. Gosip dan drama di kantor menciptakan lingkungan kerja yang tidak kondusif. jika rekan kerja sering bergosip, membuat komentar sinis, atau bahkan melakukan tindakan yang menjatuhkan, suasana kerja menjadi tidak nyaman dan dapat memengaruhi kesehatan mental karyawan. Kedua, pekerjaan yang membingungkan, deskripsi pekerjaan yang tidak jelas membuat karyawan bingung tentang apa yang sebenarnya menjadi tanggung jawab mereka. Kurangnya kejelasan ini dapat memicu konflik antar karyawan dan menyebabkan ketidakpuasan dalam bekerja karena ekspektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Ketiga, tidak ada dukungan untuk perkembangan karyawan. Perusahaan yang baik harus memberikan pelatihan dan bimbingan untuk pengembangan karier karyawannya. Jika karyawan dibiarkan bekerja sendiri tanpa arahan dan tidak diberi kesempatan untuk belajar atau naik jabatan, itu tanda perusahaan tidak peduli pada perkembangan mereka. Keempat, kesalahan dianggap sebagai hal yang buruk. Kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Namun, jika perusahaan selalu memperlakukan kesalahan sebagai sesuatu yang fatal dan memberikan cap buruk pada karyawan yang melakukannya, itu menjadi tanda lingkungan kerja yang tidak mendukung perkembangan. Karyawan akan takut bereksperimen atau berinovasi karena takut disalahkan. Kelima, tidak berani berpendapat karena memiliki atasan yang otoriter. Lingkungan kerja yang sehat seharusnya mendorong komunikasi dua arah. Jika atasan terlalu strict dan karyawan takut menyampaikan pendapat, suasana kerja menjadi kaku dan tidak mendukung kreativitas. Rapat dan diskusi hanya menjadi formalitas tanpa keterlibatan aktif dari tim, Keenam, pekerjaan di luar deskripsi tugas (Job Desc). Jika Anda sering diberi tugas yang jauh di luar tanggung jawab yang disepakati dalam kontrak, itu adalah tanda eksploitasi. Tugas tambahan yang sesekali mungkin wajar, tetapi jika terjadi terus-menerus tanpa penghargaan atau kompensasi, maka ini menjadi masalah serius.
Kesejahteraan mental karyawan dapat terpengaruh secara signifikan oleh toxic work culture. Ketika karyawan merasa tertekan oleh lingkungan kerja yang tidak sehat, mereka berisiko mengalami stres kronis, burnout, depresi, dan kecemasan. Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan karyawan merasa tidak mampu mengatasi tantangan sehari-hari, yang pada gilirannya akan mengganggu kesehatan fisik dan mental mereka. Selain itu, toxic work culture sering kali menciptakan rasa ketidakberdayaan di kalangan karyawan. Ketika mereka merasa tidak dihargai, terabaikan, atau dimanipulasi oleh rekan kerja atau atasan, mereka kehilangan motivasi dan merasa pekerjaan mereka tidak berarti. Dampak jangka panjang dari perasaan ini bisa sangat merusak, mempengaruhi tidak hanya kesehatan mental mereka, tetapi juga hubungan pribadi dan kehidupan di luar pekerjaan.
Keluarga Kerajaan Termiskin di Eropa dengan Kekayaan 215 Kali Lebih Sedikit dari Raja Charles III
Selain merusak kesehatan mental, toxic work culture juga memiliki dampak langsung pada produktivitas. Ketika karyawan merasa tidak dihargai atau diperlakukan secara tidak adil, mereka akan cenderung mengurangi upaya mereka di tempat kerja. Mereka tidak lagi merasa termotivasi untuk memberikan yang terbaik, dan hal ini berujung pada penurunan kreativitas, inovasi, serta kualitas pekerjaan yang dihasilkan. Selain itu, ketidakjelasan peran dan tanggung jawab di tempat kerja sering kali ditemukan dalam toxic work culture. Ketika komunikasi tidak berjalan dengan baik dan tidak ada kejelasan mengenai harapan perusahaan, karyawan merasa kebingungannya meningkat. Hal ini dapat menyebabkan penurunan dalam efisiensi kerja dan produktivitas. Tak jarang, toxic work culture juga berhubungan dengan tingginya tingkat turnover di perusahaan. Karyawan yang merasa tidak nyaman atau tertekan cenderung mencari pekerjaan di tempat lain, yang pada akhirnya merugikan perusahaan dalam bentuk biaya rekrutmen, pelatihan, dan kehilangan pengetahuan yang berharga. Tingginya tingkat turnover juga menciptakan gangguan dalam stabilitas tim dan menurunkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Toxic Work Culture tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terbentuknya budaya ini. Salah satu penyebab utama adalah kepemimpinan yang toxic. Pemimpin yang tidak menghargai karyawan, tidak mendengarkan umpan balik, atau terlalu fokus pada hasil tanpa memperhatikan proses dapat menciptakan lingkungan yang penuh tekanan. Dalam beberapa kasus, pemimpin mungkin tidak sadar bahwa perilaku mereka berdampak negatif pada karyawan. Selain itu, pola komunikasi yang tidak sehat juga bisa menjadi pemicu budaya toxic. Ketika perusahaan mengabaikan pentingnya komunikasi terbuka dan transparan, karyawan merasa terisolasi dan tidak diberdayakan. Konflik yang tidak diselesaikan dengan baik atau tidak ada ruang untuk umpan balik konstruktif dapat memperburuk situasi ini. Budaya toxic juga sering kali diperburuk oleh kebijakan perusahaan yang tidak mendukung kesejahteraan karyawan. Misalnya, kebijakan yang mengutamakan hasil jangka pendek tanpa memperhatikan keseimbangan kerja-hidup karyawan dapat menciptakan stres yang berlebihan. Ketika karyawan dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang tidak sehat, hal ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan dan mempercepat terjadinya burnout. Mengatasi budaya toxic di tempat kerja membutuhkan komitmen dari semua pihak, terutama pemimpin dan manajer.
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif. Pertama, Pemimpin yang empatik dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan karyawan. Mereka harus dapat mendengarkan keluhan karyawan, memberikan dukungan yang dibutuhkan, dan mengatasi masalah dengan bijak. Kedua, Perusahaan harus memfasilitasi komunikasi yang jujur dan terbuka antara manajemen dan karyawan. Karyawan harus merasa nyaman untuk menyampaikan ide dan keluhan mereka tanpa takut mendapat konsekuensi negatif. Ketiga, memberikan penghargaan dan pengakuan atas kontribusi karyawan dapat meningkatkan semangat dan motivasi mereka. dan Keempat, sistem umpan balik yang jelas dan konstruktif untuk mengetahui di mana mereka perlu berkembang, serta memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki kinerja mereka tanpa merasa diserang.
Artikel ini dibuat oleh Nelvi Nurul Huda Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Dengan dosen pengampu Prof. Dr. Elisabet Siahaan SE. M. Ec