Mendung Gelap di Kepanjen: Tragedi Kanjuruhan hingga Sosok Soebandrio yang Terlupakan

Mendung Gelap di Kepanjen: Tragedi Kanjuruhan hingga Sosok Soebandrio yang Terlupakan

Gaya Hidup | netralnews.com | Selasa, 4 Oktober 2022 - 08:56
share

MALANG, NETRALNEWS.COM - Artikel ini adalah sudut pandang dari saya pribadi (Risang Tunggul Manik) terkait Tragedi Kanjuruhan dan sosok Soebandrio dari sudut pandang keilmuan saya yaitu sejarah.

Jika Anda menginginkan langsung ke pokok materi penulisan, maka abaikan bagian (A) tentang Inspirasi penulisan, dan dipersilakan langsung saja membaca bagian (B) yang mengulas tentang "Kenapa Peristiwa Tragedi Kanjuruhan ini Bisa Terjadi?

Sementara bagian (C) akan mengulas tentang "Soebandrio, Tragedi Seorang Sukarnois hingga bagian," dan ditutup dengan bagian (D) "Kesimpulan".

A. Inspirasi Penulisan

Sebulan sebelumnya, tepatnya tanggal 7 September 2022, saya diminta via WA oleh Bapak Lilik Suharmaji selaku tokoh sejarawan Yogyakarta dan pengurus nasional AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) untuk menjadi narasumber dalam dialog Historia ke-15.

Setelah itu, dengan berbagai masukan dari Pak Lilik terkait materi, maka diputuskanlah materi yang saya bahas berjudul Hubungan Sukarno-Soeharto Menjelang, Saat, dan Pasca-G30S/PKI".

Direncanakan pula salah satu narasumber pertama adalah dari Pak Asnan dengan materi berjudul Sandi Dalam Gerakan G30S/PKI. Tema besar dialog kali ini membicarakan tentang Peristiwa Seputar G30S/PKI yang Belum Banyak Diketahui. Acara ini rencananya diadakan pada hari Jumat, 30 September 2022 pukul 19.00 WIB via zoom meeting dan streaming YoutTbe .

Sehari sebelum pelaksanaan dialog, tepatnya hari Kamis, 29 September 2022 pukul 19.00 WIB dilaksanakan koordinasi terlebih dahulu antara kami selaku narasumber dengan Pak Lilik dan kru AGSI lainnya.

Saat perkenalan, saya yang sekarang bertempat tinggal di Kepanjen membuat Pak Asnan selaku narasumber bilang ke saya Kepanjen Pak nggih , berarti asal tokoh Soebandrio yaa? Langsung saya kaget dan saya jawab iya, karena baru pertama ini ada teman baru yang merespons Kepanjen langsung merespons Soebandrio.

Kemudian tanpa sadar saya langsung bilang Soebandrio sebenarnya seorang Sukarnois, beliau bukan komunis. Maklum, Orde Baru mencap beliau sebagai komunis hanya karena beliau pendukung setia Presiden Sukarno.

Akhirnya saya baru sadar kenapa Pak Asnan kenal tokoh Soebandrio, karena beliau bekerja di Museum Sandi Yogyakarta dan sebagai bagian intelijen negara pastinya tidak bisa dipisahkan dari sosok Soebandrio.

Soebandrio dalam tema diskusi kami Hari Jumat, tanggal 30 September 2022 yang dimulai pukul 19.00 WIB juga tidak banyak diceritakan. Pada saat G30S terjadi, beliau saat itu juga tidak sedang di Jakarta.

Namun Soebandrio muncul dalam materi Pak Asnan selaku kepala BPI (Badan Pusat Intelejen) dan muncul di materi saya selaku tokoh yang bersama Presiden Sukarno dan Chaerul Saleh ikut berangkat ke Istana Bogor usai Sidang Kabinet Dwikora tanggal 11 Maret 1966.

Selebihnya, saya hanya menceritakan 15 menteri yang diamankan oleh Jenderal Soeharto selaku pengemban SP 11 Maret pada tanggal 18 Maret 1966, salah satunya adalah Menteri Soebandrio.

Alhamdulillah, diskusi kami berjalan lancar dan menjadi ajang reuni dengan Mas Endar, Mas Awang dan Mbak Ani Juwita yang merupakan teman mahasiswa UM satu angkatan 2003. Diskusi akhirnya ditutup pukul 21.00 WIB oleh Bapak Lilik Suharmaji.

Keesokan harinya, Jumat tanggal 1 Oktober 2022 malam, saya istirahat sambil rebahan di kamar tidur. Maklum, pagi hingga sorenya ada kegiatan HUT di sekolah kami.

Saya sempatkan menonton pertandingan Arema vs Persebaya yang saat itu kick off pukul20.00 WIB. Saya memang suporter Arema tapi diistilahkan sebagai Suporter Digital yaitu suporter yang mendukung timnya namun tidak langsung datang ke stadion.

Saya mendukung via televisi atau streaming . Saat itu saya sempatkan menonton babak pertama yang berkesudahan 2-2. Babak kedua tidak sempat saya lihat karena kecapekan akhirnya ketiduran.

Sambil sesekali ketiduran saya buka HP dan ternyata Arema sudah tertinggal 2-3 melawan Persebaya hingga full time babak kedua. Tidur saya pun berlanjut, hingga jam 01.00 WIB dinihari. Saya sempatkan melihat berita dan komentar terkait Arema.

Ternyata berita kerusuhan pascapertandingan terus menggelinding bagaikan bola salju, dari korbannya puluhan hingga ratusan. Benar saja, keesokan harinya kabar itu menjadi kabar kelam bagi warga Kepanjen, Malang dan bahkan Indonesia. Tragedi Kanjuruhan menewaskan ratusan suporter.

B. Kenapa Bisa Terjadi?

Ijinkan saya sebagai pemerhati dan suporter "aremania" sedikit memberikan gambaran dari sudut sejarah terkait Peristiwa Tragedi Kanjuruhan. Rivalitas Arema dengan Persebaya memang sudah mendarah daging sejak lama.

Entah berawal dari peristiwa apa, sampai-sampai antar kedua suporter ini tidak saling akur. Kebanggaan sebagai suporter adalah melihat klubnya menang dan kecewa jika klubnya kalah, begitu juga saya.

Dalam kronologi yang sudah tersebar di video atau ditulis di media massa, pascapertandingan usai ada beberapa kelompok suporter yang turun ke lapangan berusaha menemui pemain dan official Arema.

Khawatir terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, akhirnya aparat keamanan menghalau para suporter hingga menyemprotkan gas air mata hingga ke tribun penonton. Akibatnya timbul kepanikan dari suporter hingga mereka berusaha mencari jalan keluar. Akibatnya banyak yang jatuh, terinjak, tidak sadarkan diri, dan akhirnya banyak yang meninggal dunia.

Peristiwa Tragedi Kanjuruhan tanggal 1 Oktober 2022 bisa jadi adalah bentuk kepanikan para suporter dan aparat keamanan yang tidak siap klub Arema kalah.

Sejarah kadang bisa melenakan semua orang. Sudah 23 tahun lamanya Persebaya belum pernah menang melawan Arema di Stadion Kanjuruhan. Bagaimana jika Arema kalah? Sayangnya itu tidak pernah terpikirkan.

Kita belum siap menerima kehadiran sejarah baru, seperti orang yang baru bangun tidur, terhentak bahwa sejarah baru itu lahir dengan kemenangan Persebaya dan kekalahan Arema.

Lagi-lagi, fanatisme yang berlebihan menjadi salah satu sebab suporter tidak bisa menerima kekalahan dan bertindak di luar kendali. Di sisi lain aparat keamanan bertindak represif dan ternyata juga belum mampu mematuhi prosedur FIFA yang mestinya melarang penggunaan gas air mata. Akibatnya justru memperbesar jumlah korban di pihak suporter.

Kapasitas stadion yang berlebih, yang mestinya hanya memuat 30.000-an namun tiket yang beredar 40.000-an? Regulasi jam kick off mulai pertandingan malam hari sedangkan betapa rawannya keamanan mengingat pertandingan ini penuh rivalitas.

Apakah ini berarti kita dengan sengaja hendak menciptakan sejarah tragedi baru? Sayangnya sudah terlanjur terjadi. Mudah-mudahan peristiwa ini adalah untuk yang terakhir kalinya!

C. Tragedi Seorang Sukarnois

Melompat jauh ke belakang, tepatnya 108 tahun yang lalu, lahirlah jabang bayi yang bernama Soebandrio, tepatnya pada 15 September 1914 di Kepanjen, Malang. Ayahnya bernama Kusadi yakni seorang Wedono Kepanjen. Ibunya bernama Sapirah. Ia adalah seorang ibu rumah tangga.

Soebandrio adalah anak kedua dari enam bersaudara. Khusus untuk desa kecil bernama Kepanjen saat itu, jabatan orang tua Soebandrio adalah jabatan yang terhormat.

Di sana, Soebandrio menempuh pendidikan SR (Sekolah Rakyat). Hanya saja saat beliau melanjutkan MULO (setingkat SMP) haruslah ke Malang karena di Kepanjen belum ada sekolah MULO. Setelah MULO, ia melanjutkan pendidikan ke AMS (setingkat SMA) di Malang juga dan lulus tahun 1928.

Soebandrio setelah tamat AMS melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta tepatnya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas Indonesia. Semasa sekolah kedokteran beliau kenal dengan para pemuda pejuang termasuk Bung Karno. Dari sinilah muncul ketertarikan untuk berjuang.

Sebelum lulus tahun 1936, Soebandrio menikah dengan Hurustiati. Setelah lulus, beliau langsung ditarik pemerintah kolonial menjadi dokter di Semarang (sekarang RS. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo).

Untuk menyalurkan hobi berdiskusi saat mahasiswa, Soebandrio masuk PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan pada tahun 1940 menjadi wakil ketua PSI.

Beliau akhirnya mundur dari rumah sakit dan tidak membuka praktik pribadi karena dirasa jenuh dan monoton hingga proklamasi dikumandangkan.

Sekitar tahun 1946, Soebandrio ditunjuk menjadi wakil pemerintah Indonesia di London, Inggris. Tugas ini sebenarnya mirip dengan Duta Besar, hanya saja Indonesia saat itu belum diakui PBB sehingga jabatannya dinamakan wakil Pemerintah Indonesia di Inggris. Tahun 1950 baru disebut Duta Besar RI untuk Inggris yang berkedudukan di London.

Pada 1954, Soebandrio dipindahkan dari London ke Moskow, Uni Soviet. Dua tahun kemudian pulang ke Jakarta dan ditunjuk oleh Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri. Tahun 1957 sebagai lompatan luar biasa dari sekjen, beliau ditunjuk menjadi Waperdam I (Wakil Perdana Menteri I) oleh Presiden.

Saat peristiwa G30S meletus, Soebandrio berada di luar jawa, tepatnya di Medan untuk keliling memantapkan program pemerintah. Baru pada tanggal 3 Oktober 1965 tiba di Istana Bogor untuk bertemu Presiden yang pada saat itu memanggilnya.

Soebandrio yang dipandang sebagai pendukung Sukarno saat itu juga dicap pro-PKI oleh lawan Presiden. Alasannya karena beliau pernah ditugaskan ke Moskow. Soebandrio juga pernah ditugaskan untuk berkunjung (sebagai menlu) ke Beijing RRC terkait pemberian senjata gratis oleh pimpinan RRC.

Soebandrio beserta 14 menteri lainnya ditangkap pada tanggal 18 Maret 1966. Selain itu, beliau diberi julukan sebagai Durno yang artinya dianggap sebagai tokoh yang culas dalam pewayangan.

Soebandrio berkata dalam buku kesaksianku tentang Gestok yaitu Saya bukan PKI, saya pernah menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI oleh AD pada pertengahan Oktober 1965seruan saya ini atas perintah Presiden Sukarno yang tidak menghendaki pertumpahan darah. saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai habis-habisan.

Berikut saat beliau di penjara dan di pengadilan yaitu Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau disiksa mental sudah jelas. Interogasi habis-habisan hanya untuk menjatuhkan mental. saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan saya bukan PKI atau terlibat G30S.saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan kekacauan. saya dituduh melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi hukuman mati. akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur hidup.

Soebandrio pada akhirnya mulai memahami tragedi kehidupannya dengan berucap Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut Bung Karno, sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.

Pada tanggal 16 Agustus 1995 akhirnya beliau dibebaskan dari penjara dan meninggal 3 Juli 2004 di Jakarta.

D. Kesimpulan

Kepanjen sebagai sebuah desa kecil pada masa Soebandrio sekarang menjadi kota besar sebagai ibu kota Kabupaten Malang. Secara tidak langsung Kepanjen menjadi penghubung tragedi kemanusiaan di tanggal yang sama namun dengan tahun yang berbeda.

Bagi Tragedi Kanjuruhan tanggal 1 Oktober 2022 akan selalu diingat sebagai masa kelam sepakbola Indonesia bahkan dunia. Sedangkan bagi Soebandrio salah seorang "arek Kepanjen", bisa jadi tanggal 1 Oktober 1965 saat peristiwa G30S terjadi adalah tragedi bagi kehidupannya bahkan kehidupan orang lain yang dicap PKI seperti dirinya.

Awan mendung begitu gelap tampak menakutkan, tapi mendungnya awan adalah sebuah harapan. Harapan karena mendung tersapu angin sehingga matahari menampakkan cahayanya (mendung belum tentu hujan). Tapi mendung juga adalah harapan datangnya hujan yang akan membasahi bumi dan menyucikan alam dan seisinya.

Soebandrio sudah memberi harapan tersebut, walaupun beliau menjadi sosok yang dilupakan karena cap PKI-nya sehingga orang lupa akan jasa beliau. Namun beliau tidak menyesalinya dan bahkan beliau dalam penjara berkata: Di dalam (penjara), saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau teman (baru beberapa tahun dibolehkan). Satu-satunya bacaan saya adalah ayat suci Al-Quran. Tetapi, bacaan ini seperti mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi pejabat tinggi negara.

Bagaimana dengan peristiwa Tragedi Kanjuruhan, apa harapannya?

Hendaknya tragedi ini mampu mendewasakan semua elemen pendukung pecinta sepakbola kita di tanah air, mulai dari suporter, aparat keamanan, panpel, PSSI, dan pemerintah untuk berbenah. Berbenah jiwa sportifitasnya (suporter), berbenah jiwa pengayomnya (aparat keamanan), berbenah peraturan dan kedisipinannya (panpel, PSSI dan pemerintah).

Nyawa yang hilang takkan pernah kembali dan keluarga yang kehilangan anggotanya akan membenci tragedi ini dan membekas hingga seumur hidupnya. Jangan lupakan sejarah dan jangan diulang kembali tragedi ini. Semoga.

Kepanjen, 3 Oktober 2022

Penulis: Risang Tunggul Manik

Pemerhati Sejarah

SUMBER PUSTAKA

1. Soebandrio. 2000. Kesaksianku Tentang Gestok. Tanpa Penerbit: Jakarta.

2. www.nasional.tempo.co/Soebandrio Tutup Usia

Topik Menarik