Diponegoro Tidak Mengkhianati Sultan Hamengku Buwono V

Diponegoro Tidak Mengkhianati Sultan Hamengku Buwono V

Gaya Hidup | netralnews.com | Senin, 26 September 2022 - 09:31
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pasca-Perang Jawa (1825-1830), Belanda kemudian menggelar Perjanjian Klaten 1830 yang keputusannya membabat wilayah Kesultanan Yogyakarta yang dahulu luas hingga Mancanegara Timur seperti Madiun, Magetan, Caruban, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), dan Teras Ngaras (Ngawi).

Tidak berhenti sampai di situ, wilayah Kesultanan Yogyakarta yang lain seperti Pacitan, Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Kedu, Warung (Kuwu Wirasari), Blora, dan Grobogan juga diambil alih oleh Kolonial Belanda yang memang sejak Yogyakarta bedah sudah diambil alih oleh Kolonial Inggris. Untuk itulah, wilayah Kesultanan Yogyakarta sejak itu hingga sekarang ini tinggal Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul.

Tentu saja hasil Perjanjian Klaten itu sangat memukul Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono V (bertakhta 1822-1826/ 1828-1855) pada tanggal 24 Oktober 1830 setelah menandatangani Perjanjian Klaten, badannya lemas sambil mengatakan, Sak iki negaraku mung gari sak megare payung . Artinya: sekarang kerajaan saya wilayahnya tinggal seterbukanya payung.

Kolonial Belanda sejak saat itu sengaja mengframing opini bahwa menyempitnya wilayah Kesultanan Yogyakarta sebagai hukuman terhadap Keraton Yogyakarta karena mereka tidak dapat membina anggota keluarganya sehingga di antara mereka yang dikomandani Diponegoro melakukan pemberontakan terhadap Kolonial Belanda.

Setelah Kolonial Belanda mengframing opini itu, maka sejak itu keturunan Diponegoro dimanapun yang berada di Jawa diburu Kolonial Belanda dan orang-orang Jawa yang memihak kolonial yang diistilahkan Diponegoro sebagai kapir murtad (orang Jawa yang memihak Belanda atau kroni-kroni Belanda).

Memang, setelah Diponegoro ditangkap pada 1830 dengan tipu daya di Magelang, beberapa keturunan Diponegoro masih dianggap ancaman karena sewaktu-waktu dapat memobilisasi massa untuk melawan Kolonial Belanda.

Diponegoro Anom pada tahun 1834 berpindah tempat dari Kedu ke Sumenep Madura. Enam tahun kemudian pada 1840 tokoh-tokoh keturunan Diponegoro yang masih hidup ditangkap. Mereka itu misalnya Pangeran Dipokusuma, Pangeran Dipaningrat, dan Raden Mas Raib. Setelah ditangkap, Kolonial Belanda kemudian memutuskan agar mereka diasingkan ke Maluku.

Rupanya Kolonial Belanda masih menganggap bahwa keluarga Sang Pangeran masih potensial sebagai ancaman. Untuk itulah, adik Pangeran Diponegoro yang bernama Pangeran Arya Rangga pada tahun 1849 juga ditangkap karena dicurigai akan melakukan pemberontakan kepada kolonial. Setelah ditangkap, Pangeran Arya Rangga kemudian dibuang ke Ternate.

Keturunan Diponegoro yang ada di Pulau Jawa sangat menderita. Mereka dikejar-kejar oleh Kolonial Belanda, pihak Kesultanan, dan pihak Kesunanan. Mereka banyak yang hidup seperti binatang di dalam hutan yang selalu menjadi buronan dan terpaksa melepas segala gelar keningratan menjadi rakyat biasa sambil melakukan perlawanan apabila ada kesempatan.

Nasib keturunan Diponegoro yang ada di pembuangan juga sangat menyakitkan. Mereka tetap harus hidup dalam pembuangan dan tidak diperbolehkan kembali ke Jawa, tanah leluhurnya sampai menjelang kemerdekaan.

Untuk menyembunyikan identitas dirinya sebagai keturunan Diponegoro, mereka mengelabuhi Kolonial Belanda dan para kroninya agar para keturunan Diponegoro tetap dapat berkomunikasi satu sama lain. Mereka membuat sandi.

Bentuk sandi yang ditetapkan adalah jika di depan rumah mereka terdapat tanaman pohon sawo Jawa, maka anggota penghuni rumah itu merupakan keturunan Diponegoro. Rupanya sandi sederhana itu berhasil mengelabuhi kolonial hingga detik-detik terakhir mereka meninggalkan bumi Indonesia.

Apakah hasil framingan Kolonial Belanda bahwa karena ulah pengkhianatan Diponegoro terhadap Kesultanan Yogyakarta membuat wilayah Yogyakarta menyempit pupus setelah kolonial meninggalkan Jawa?

Rupanya framingan Belanda itu tetap membekas sehingga Diponegoro dan keturunannya tetap dipersalahkan karena pemberontakan leluhurnya. Untuk itulah, Sultan Hamengku Buwono IX yang memang dikenal sebagai raja yang cerdas, bijaksana, dan menjujung keluhuruan leluhurnya mencoba menjelaskan bahwa Diponegoro adalah Pahlawan bukan pengkhianat Kesultanan.

Sejak pernyataan Sultan Hamengku Buwono IX ini sentimen terhadap keturunan Diponegoro mulai reda dan para keturunan Diponegoro sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu mulai menampakkan jati dirinya.

Pernyataan Sultan Hamengku Buwono IX itu kemudian dipertegas oleh Sultan Hamengku Buwono X yang bertakhta sejak tahun 1998 setelah ayahandanya Sultan kesembilan mangkat.

Pada tanggal 20 Mei 2008, saat memberi sambutan pada acara mengenang 100 tahun pendirian Organisasi Budi Utomo di Yogyakarta yang kebetulan pada perayaan itu dipentaskan "Opera Diponegoro" karya Sardono W Kusumo, Sultan Hamengku Buwono X berujar Diponegoro bukan pengkhianat terhadap Sultan Hamengku Buwono V, keponakannya. Diponegoro juga bukan mengkhianati Istana Yogyakarta. Keputusannya untuk memberontak pada 20 Juli 1825 adalah karena tuntutannya keadaan waktu itu."

"Diponegoro tidak punya pilihan lain. Dia tahu benar suatu saat akan kalah. Diponegoro saat itu seperti lakon wayang Mahabarata \'Adipati Karna Gugur\' yaitu kemampuan untuk tetap setia pada cita-cita meskipun tahu akan kalah atau menemui kematiannya, imbuhnya.

Pada 8 Maret 2012 di Tegalrejo Yogyakarta, bekas kediaman Diponegoro yang dibakar, bersamaan dengan peluncuran buku Kuasa Ramalan mahakarya ( magnum opus ) Peter Carey. Para keturunan Diponegoro yang ada di seluruh penjuru Indonesia menyatu sebagai saudara sesama keturunan Diponegoro.

Pada saat itu, hadir juga para pangeran dari Kesultanan Yogyakarta yang mewakili Sultan Hamengku Buwono X yaitu Gusti Joyokusuma, Gusti Prabukusuma, dan Gusti Yudhaningrat. Acara ini juga sekaligus melunturkan framingan Kolonial Belanda bahwa antara keluarga Kesultanan Yogyakarta dan para keturunan Yogyakarta tidak harmonis.

Penulis Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta

Topik Menarik