Pengusaha Tekstil Keluhkan Maraknya Praktik Impor Ilegal

Pengusaha Tekstil Keluhkan Maraknya Praktik Impor Ilegal

Ekonomi | inews | Minggu, 7 Juli 2024 - 20:31
share

JAKARTA, iNews.id - Kalangan pengusaha di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengeluhkan praktik impor ilegal, terutama pada barang pakaian jadi sebagai biang keladinya. Importir ilegal di Indonesia pada umumnya bermain dengan skema pengalihan HS Code atau praktik under invoice guna mengakali bea masuk atau pajak impor.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana menyebut, praktik pengalihan HS Code yaitu pelaku mengaburkan kode barang yang akan diimpor ke suatu negara guna mengaburkan nilai harga pengenaan bea masuk.

Sementara, praktek under invoice atau under value merupakan modus akal-akalan importir dengan melaporkan harga barang di bawah standar ketentuan guna bertujuan hal yang sama.

"Kami harap pemerintah mau menindak secara hukum yang tegas terhadap importir ilegal yang ditengarai ada oknum-oknum importir melakukan pelarian hs code atau praktek under value (invoice)," ujar Danang kepada iNews.id , Minggu (7/7/2024).

Danang menegaskan, praktik impor ilegal tersebut yang menjadi biang keladi kerugian pemasukan negara dan merusak iklim investasi industri tekstil dalam negeri.

"Solusi untuk industri TPT dalam negeri adalah perlindungan dari pemerintah atas praktik impor ilegal, yang merugikan pemasukan negara dan merusak iklim investasi manufaktur dalam negeri," ucapnya.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan, praktik impor ilegal yang marak dipertontonkan di pasar dalam negeri, salah satunya adalah kubikasi atau borongan.

"Saat ini justru masalah utama kita adalah impor ilegal yang masuk lewat cara borongan/kubikasi, pelarian HS dan under invoicing," kata Redma.

Dia pun memandang kontrol terhadap importir ilegal tersebut seharusnya menjadi kewenangan pemerintah terutama keseriusan dari Dirjen Bea Cukai di bawah Kementerian Keuangan.

"Jika pemerintah menerapkan kebijakan bea masuk 200 persen nanti, harus juga dibarengi dengan perbaikan kinerja Bea Cukai untuk memberantas impor ilegal," ucapnya.

Redma bahkan menyanggah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa penyebab industri tekstil gulung tikar karena adanya praktik dumping. Dia menilai itu sebagai pengalihan isu lantaran adanya kegagalan dalam mengontrol Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan.

Kita bisa melihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan tuturnya.

Redma mengatakan kinerja buruk Bea Cukai tersebut mengakibatkan adanya peningkatan barang impor tidak tercatat dari China dari tahun 2021 sampai 2023.

"Hal ini dapat terlihat jelas dari data trade map dimana gap impor yang tidak tercatat dari China terus meningkat 2,7 miliar dolar AS di tahun 2021 menjadi 2,9 miliar dolar AS di tahun 2022 dan diperkirakan mencapai 4 miliar dolar AS di tahun 2023," katanya.

Topik Menarik