Vonis Ringan Koruptor Timah Jadi Tantangan Pemerintahan Prabowo Subianto
Vonis ringan koruptor timah menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Vonis ringan koruptor timah, Harvey Moeis, menjadi catatan buruk penegakan hukum di penghujung 2024.
Hukuman yang tak sebanding dengan nilai kerugian negara Rp300 triliun itu dinilai telah menodai semangat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di Tanah Air. Vonis itu juga bahkan menunjukkan pisau-pisau pengadilan di negeri ini terasa kian tumpul menghadapi para koruptor.
Alih-alih dijatuhi hukuman maksimal, Harvey justru hanya divonis 6,5 tahun penjara serta denda ringan, yakni Rp1 miliar plus membayar uang pengganti senilai Rp210 miliar.
Dalam analisisnya, pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli mengaku meragukan proses penyidikan hingga penerapan pasal-pasal dalam penanganan kasus Harvey tersebut.
Fairuz A Rafiq Jadi Saksi Sidang Cerai Tengku Dewi Putri dan Andrew Andika, Ungkap Fakta Ini
Dia menilai jaksa 'kurang garang' dalam menghukum para pelaku mulai dari Harvey, Hendri Lie, dan Helena Liem bersama sejumlah petinggi lainnya dari PT. Refined Bangka Tin hingga Venus Inti Perkasa. "Penerapan pasal TPPU (tindak pidana pencucian uang) mutlak harus dilakukan karena unsur TPPU sudah memenuhi syarat dalam kasus korupsi timah ini," kata Pieter Zulkifli, Jakarta, Jumat (3/1/2025).
Mantan Ketua Komisi III DPR itu mengungkapkan vonis ringan, baik dari segi hukuman penjara maupun denda menjadi pertanyaan publik. Masyarakat bahkan mempertanyakan siapa sebenarnya aktor utama di balik kasus tambang timah ilegal tersebut. "Dan mengapa penerapan hukumnya terasa begitu lunak? Integritas para penegak hukum pun kembali dipertanyakan," katanya.
Pieter Zulkifli mengatakan tidak adil jika tanggung jawab atas kerusakan dan kerugian negara akibat rasuah timah itu hanya dibebankan pada seorang Harvey, sementara sejauh ini sudah ada 22 tersangka dalam kasus itu. "Jaksa penuntut dan pengadilan tampaknya mengabaikan penerapan hukum yang benar untuk mendalami akar masalah perkara korupsi tata niaga timah, yaitu aktor-aktor besar di balik operasi tambang ilegal," kata dia.
Pieter Zulkifli juga menyinggung beberapa pelaku kasus korupsi timah yang mendapat vonis ringan selain Harvey tapi luput dari sorotan publik. Mereka antara lain Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin yang mendapat hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang menginginkan 14 tahun penjara.
Lalu, ada Reza Andriansyah sebagai Direktur Pengembangan Usaha perusahaan yang sama hanya divonis 5 tahun penjara dengan denda Rp750 juta. Begitu pula dengan Tamron Tamsil, Suwito Gunawan, dan Robert Indarto yang juga mendapat hukuman ringan dan jauh lebih ringan dibandingkan kerugian negara.
"Fenomena ini mencerminkan lemahnya penerapan prinsip efek jera dalam penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan ketidaksesuaian antara tuntutan dan vonis itu menimbulkan spekulasi adanya kesepakatan tidak transparan antara jaksa, hakim, dan para terdakwa. Lebih jauh, kritik juga mengarah pada proses awal penyidikan yang diduga tidak berjalan dengan maksimal.
"Jika proses hukum sejak penyidikan sudah bermasalah maka hasil akhirnya, termasuk vonis, sulit diharapkan mencerminkan keadilan," tegasnya.
Dia juga menyinggung soal sikap Mahfud MD yang lantang menyuarakan ketidakadilan dalam proses pemidanaan para tersangka kasus korupsi timah ini. Menurut dia, Mahfud MD bagai mantan Menko Polhukam seharusnya sejak awal turut mengawasi perkara itu, sebelum turun dari jabatannya.
Pieter Zulkifli menolao kritikan Mahfud MD justru tidak bijaksana dalam menyikapi kasus ini. Sebagai pejabat sebelumnya, Mahfud MD seharusnya memberikan catatan khusus untuk penerusnya guna memastikan keberlanjutan penanganan kasus secara adil dan transparan.
Namun, kata dia, alih-alih fokus pada penerapan hukum, Mahfud MD lebih sering mengomentari vonis yang dianggap tidak produktif. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Menko Polhukam, Mahfud MD bahkan sering menyampaikan kritik terhadap penegakan hukum, terutama dalam hal pemberantasan korupsi.
"Meski komentar-komentarnya terlihat positif di permukaan, tetapi pernyataan-pernyataannya seringkali terlihat sangat tendensius," ungkapnya.
Atas vonis ringan terhadap para pelaku korupsi timah itu, dia menekankan perlunya reformasi sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam penerapan TPPU. Pieter Zulkifli menyatakan dalam konteks korupsi besar seperti itu, aset terdakwa harus ditelusuri, disita, dan digunakan untuk memulihkan kerugian negara.
"Pembuktian terbalik harus menjadi instrumen utama untuk memastikan bahwa setiap aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana dapat dikembalikan kepada negara," kata Pieter Zulkifli.
Dia juga menegaskan untuk memberikan efek jera bagi koruptor, negara harus memiliki regulasi, peraturan perundang-undangan yang tegas, bukan vonis lamanya terdakwa harus dihukum, tetapi aset-aset terdakwa harus bisa ditelusuri dan disita Negara. Oleh sebab itu, kata Pieter Zulkifli, negara dan pemimpin partai politik harus jujur dan serius menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang tegas dan membuat efek jera.
Sebagai perbandingan, Singapura berhasil menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang efektif meskipun hukuman penjaranya relatif ringan. "Di sana, hukuman maksimal bagi koruptor hanya 6 bulan penjara, tapi semua aset-aset terdakwa disita oleh Negara. Tak hanya itu, setelah terdakwa menjalani hukuman penjara, selamanya mereka tidak boleh lagi memiliki rekening bank, SIM dan paspor mantan terdakwa korupsi dicabut, kegiatan sehari-hari harus menggunakan transportasi umum, dan bahkan KTP diberi tanda khusus," ujarnya.
"Keluarga mantan terdakwa korupsi juga di bawah pengawasan negara. Pendekatan seperti ini menciptakan efek jera yang nyata," sambungnya.
Pieter Zulkifli mengingatkan jika penilaian baik kepemimpinan Prabowo tidak hanya dari kebijakan ekonominya saja, tetapi juga dari keberhasilannya mereformasi sistem hukum dan memberantas korupsi. Di samping dari itu, Prabowo juga harus sadar bahwa kritik terhadap pemerintahannya kali ini memiliki agenda tersembunyi, seperti upaya delegitimasi oleh pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu ini untuk melemahkan kredibilitasnya.
Dia menilai Prabowo perlu memastikan bahwa gaya kepemimpinannya bisa menciptakan suasana yang nyaman bagi kabinetnya. Kepemimpinan yang terlalu kaku dan militeristik hanya akan menciptakan ketakutan di kalangan menteri, sehingga laporan dan aspirasi bisa terhambat.
"Sebagai presiden, Prabowo harus menjadi seorang negarawan yang mampu memimpin dengan pendekatan yang humanis dan inklusif," kata dia.
Pieter Zulkifli kembali menegaskan bahwa untuk memberantas korupsi dengan efektif, Indonesia membutuhkan sistem hukum yang lebih transparan dan tegas. Penegakan hukum tidak boleh hanya fokus pada individu tertentu seperti Harvey, tetapi harus menyentuh seluruh aktor utama dan sistem yang mendukung praktik korupsi.
Selanjutnya, penyelidikan, penyidikan, dan penerapan pasal harus dilakukan dengan cermat dan konsisten agar keadilan tidak hanya menjadi slogan. Tak hanya itu, presiden dan pemimpin politik harus bersikap sebagai negarawan yang mampu menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Namun, diakui Pieter Zulkifli jika langkah itu membutuhkan keberanian, kejujuran, dan komitmen yang tak tergoyahkan. Jangan sampai hukum hanya menjadi alat permainan elite, sementara keadilan bagi rakyat tetap menjadi angan-angan belaka.
"Tanpa langkah nyata, korupsi besar seperti kasus timah ini hanya akan menjadi episode berikutnya dalam drama panjang ketidakadilan di Indonesia," pungkasnya