Ketahui Pruritus dan Xerosis, Masalah Kulit Yang Sering Dialami Lansia
JAKARTA - Pruritus (kulit gatal) dan xerosis (kulit kering) yang kerap terjadi pada usia lanjut / lansia. Gangguan tersebut sering diabaikan karena dianggap sebagai hal wajar sehingga tidak perlu berkonsultasi dengan dokter.
Padahal, pruritus dan kulit kering bisa menjadi awal penyakit yang lebih berbahaya, atau bahkan menjadi tanda bahwa seseorang memiliki penyakit tertentu. Jika tidak ditangani dengan tepat, akan menurunkan kualitas hidup mereka.
Menurut Mayo Clinic, kulit kering kerap membuat tekstur kulit menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mempermudah bakteri masuk ke dalam tubuh. Kulit kering juga bisa berujung Pruritus. Jika gatal Pruritus berlanjut lebih dari 6 minggu, maka berpotensi menjadi penyakit kronis lainnya.
Laporan yang diterbitkan di Medscape (2021) pruritus bahkan bisa mengganggu kualitas hidup seseorang, seperti mengganggu tidur dan menyebabkan kecemasan hingga depresi . Karena itu, perlu dilakukan pengobatan sesegera mungkin ke dokter spesialis kulit dan kelamin sehingga tidak memicu penyakit lainnya.
Spesialis Dermatologi dan Venereologi Klinik Pramudia dr. Amelia Soebyanto, Sp.DV, menyatakan, xerosis (kulit kering) dapat terjadi pada wanita maupun pria. Pada usia lansing gangguan ini memiliki risiko yang lebih tinggi.
"Kulit kering merupakan suatu keadaan dimana lapisan terluar kulit yang kurang lembab akibat penurunan kandungan air dan kandungan lemak di kulit. Kulit kering ini memiliki tekstur kulit yang kasar, bersisik, pecah-pecah, dan dapat disertai dengan keluhan gatal," ujar dia dalam webinar Kamis (3/11).
Ia menambahkan, prevalensi kulit kering di seluruh dunia sekitar 29-85 persen. Pada sebuah penelitian di salah satu fasilitas kesehatan di Perancis, didapatkan bahwa sekitar 56 persen pasien berusia 65 tahun ke atas sebesar 9 persen penderita xerosis derajat sedang-berat.
Insiden dan keparahan kulit kering meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Penelitian oleh Selma didapatkan bahwa xerosis ini lebih banyak ditemukan pada wanita (59 persen) dengan usia rata-rata 70 tahun.
"Pasien lansia dengan keluhan kulit kering memang belum dapat sembuh total dengan cepat dan akan bertahan dalam waktu lama, karena memang banyak faktor yang berpengaruh baik faktor genetik, internal maupun eksternal. Faktor internal misalnya lapisan lemak yang berkurang pada kulit lansia, dan penyakit penyerta lain seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, penyakit hati, keganasan, infeksi, dan riwayat konsumsi obat-obatan tertentu," jelas dia.
Faktor eksternal dari pengaruh lingkungan dan gaya hidup juga sangat berperan dalam timbulnya kulit kering, seperti stres, paparan sinar matahari yang lama, penggunaan air conditioner, perubahan musim dan kelembaban, kebiasaan mandi yang lama, penggunaan sabun yang bersifat iritatif, asupan cairan yang kurang.
Masyarakat awam yang menyepelekan kulit kering dan menganggapnya hanya perlu dioleskan pelembab saja. Padahal, pemilihan obat oles yang tidak tepat pun bisa menimbulkan iritasi. Perlu ada diagnosis yang lebih jelas dari dokter spesialis kulit dan kelamin untuk mengetahui tatalaksana yang paling tepat untuk menyembuhkan kulit kering.
Tatalaksana kulit kering kata dr. Amelia dibagi jadi dua yaitu medikamentosa dan non-medikamentosa. Secara medikamentosa, dokter bisa memberikan obat minum untuk mengurangi gatal dan peradangan yang timbul, antibiotik bila ditemukan adanya tanda-tanda infeksi, dan obat oles untuk membantu mengatasi kekeringan pada kulit.
Dokter akan merujuk ke spesialis tertentu jika memiliki penyakit penyerta. "Penatalaksanaan secara non-medikamentosa juga tidak kalah pentingnya, di antaranya dengan memastikan asupan cairan yang cukup, mandi jangan terlalu lama dan terlalu sering, dengan air hangat suam kuku dan sabun yang lembut," paparnya.
Bahaya kulit kering adalah dapat menyebabkan retakan/pecahan yang dalam, yang dapat terbuka dan berdarah. Hal ini memberi jalan bagi bakteri untuk masuk dan menyerang tubuh. Selain itu, tambahnya, kulit kering ini juga merupakan penyebab utama terjadinya kulit gatal (pruritus).
"Maka, penggunaan obat-obatan yang dijual bebas malah berpotensi membuat keluhan semakin parah dan berisiko menimbulkan infeksi akibat keinginan untuk menggaruk," tuturnya.
Spesialis Kulit dan Kelamin Klinik Pramudia dr. Yustin Sumito, Sp.KK, mengatakan, bisa dikatakan sebagai gejala dari berbagai penyakit kulit tertentu. Tidak semuanya gangguan tersebut menular, tergantung dari penyakit yang mendasari.
"Pruritus yang menular adalah pruritus yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau jamur. Tingkat kesembuhan pasien pruritus sendiri juga bergantung pada penyakit yang mendasari, yang penting harus benar dalam pemilihan tatalaksana untuk pruritus," ungkapnya.
Mereka yang berisiko mengalami pruritus selain karena usia, seseorang bisa tambah berisiko mengalami pruritus jika memiliki alergi, memiliki kondisi penyakit lain seperti eksim, psoriasis, diabetes, sedang hamil ataupun mereka yang sedang menjalani dialysis. "Pada kasus lansia, ada 3 proses utama terkait penuaan yang berhubungan dengan terjadinya pruritus," katanya.
"Pertama, hilangnya fungsi barrier (pelindung atau pembatas) kulit yang menyebabkan turunnya fungsi repair pada kulit. Kedua, immunosenescence atau penurunan kerja sistem imun atau sistem perlindungan tubuh. Ketiga, neuropati atau abnormalitas sistem saraf, dimana pruritus cenderung lebih sering mengalami kekambuhan," jelas dr. Yustin.
Oleh sebab itu, diagnosis dan tatalaksana yang tepat sangat dibutuhkan untuk lansia yang mengalami pruritus. Deteksi dini pruritus dilakukan melalui anamnesis (menanyakan riwayat pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara menyeluruh.
Derajat keparahan gatal ada pada skala 1-10. Bila derajat keparahan di atas 6, gatal dirasakan hingga pasien terbangun dari tidur, maka sudah terjadi gangguan kualitas hidup secara bermakna, sehingga tatalaksana agresif dibutuhkan.
Tatalaksana pertama yang dilakukan tentu dengan menjaga kelembaban kulit. Misalnya dengan metode soak-and-smear (rendam kulit selama 10-20 menit di dalam air) dan metode wet wraps (perban atau kain basah yang dibalut dengan krim tertentu).
"Namun perlu diingat bahwa pengobatan pruritus dan xerosis yang benar dan tuntas tidak sesederhana memakai krim pelembab. Oleh sebab itu jika masih belum sembuh dan berlanjut dalam waktu yang terlalu lama, maka pengobatan dari dokter SpKK tentu diperlukan," tambah dr. Yustin.
Mengobati pruritus, dan juga kulit kering, menjadi tantangan tersendiri di meja praktik. Hal ini karena dokter harus mampu menemukan penyebab yang mendasari dan mengobati pruritus berdasarkan penyebabnya tersebut. Belum lagi, saat ini kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kondisi ini ke dokter masih rendah dan cenderung menyepelekan.
"Namun, kami selalu berupaya memberikan pelayanan terbaik sehingga bisa menjadi bagian untuk mengatasi permasalahan pruritus dan kulit kering bagi para lansia," tutupnya.