Sadis, Kisah Prajurit Kopasus Saat Perebutan Irian barat  yang Terpaksa Tidur di Tumpukan Mayat

Sadis, Kisah Prajurit Kopasus Saat Perebutan Irian barat yang Terpaksa Tidur di Tumpukan Mayat

Terkini | belu.inews.id | Rabu, 15 Januari 2025 - 08:50
share

JAKARTA, iNews.id – Prajurit Kehebatan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tak diragukan lagi. 

Dalam setiap operasi meninggalkan kisah mencengangkan, mulai dari selamat dari tembakan jarak dekat hingga tidur bersama tumpukan mayat teman selama lima hari.

Dikutip dalam buku “Sintong Panjaitan: Perjalanan Prajurit Para Komando” menceritakan bagaimana Sintong harus berjuang keras memberdayakan kelompok pemberontak Lodewijk Mandatjan yang mengacau di Papua. 

Hal itu menyebabkan 14.000 orang terpaksa masuk ke hutan untuk menghindari kekerasan oleh kelompok bersenjata Lodewijk. Perjuangan Sintong pun melakukan pembersihan dan pengamanan akhirnya berhasil. 

Meski begitu, ada peristiwa menegangkan ketika nyawa Sintong nyaris saja melayang saat sebutir peluru melintas di atas kepalanya. Saat itu, Tim RPKAD melakukan pembersihan di kota Kecamatan Warmare. Siang harinya Tim RPKAD kembali ke Manokwari.Truk yang mengangkut pasukan harus melewati daerah perbukitan yang rawan terjadi pernyergapan. 

Setelah berhenti di ketinggian, Tim RPKAD termasuk Sintong turun dari truk untuk melakukan orientasi medan. Sintong duduk bersebelahan dengan Kasi I/Intelijen Korem 171/Walikota Manokwari Vordeling yang sedang merokok.  

Tiba-tiba mereka ditembak oleh pemberontak dari jarak dekat yang hanya berjarak 6 meter dari arah jurang. Beruntung tembakannya tidak mengenai kepala Sintong. Sebab pada saat yang sama Sintong sedang menggaruk kaki yang semut merah.

Sembunyi Ditumpukan Mayat 

Aksi heroik juga dilakukan Prajurit Dua (Prada) Pardjo pada awal-awal perebutan Irian Barat pada tahun 1961-1962. Peristiwa tersebut berawal ketika pasukan gabungan Kopassus bersama Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang kini bernama Korps Pasukan Khas (Paskhas) pasukan dipimpin Letnan Dua (Letda) Inf Agus Hernoto, diterjunkan ke dalam hutan rimba Papua. 

Dalam upaya penyusupan, Pardjo bersama rekan-rekannya disergap pasukan Korps Marinir Kerajaan Belanda (Korps Mariniers) di daerah Fakfak. Karena kekuatan yang tak seimbang membuat pasukan gabungan terdesak. Berdasarkan instruksi yang diberikan pimpinan, jika kalah jumlah maka seluruh prajurit harus mundur ke dalam hutan.

Ketika keadaan tenang, pasukan gabungan ini pun keluar dari hutan untuk kembali melakukan penyusupan. Namun, pasukan gabungan ini dikejutkan dengan kondisi sebuah kampung yang telah rata dengan tanah akibat dibakar tentara Belanda. Melihat kondisi pasukan gabungan yang mulai menurun.

 Letda Inf Agus Hernoto memutuskan untuk beristirahat di sebuah kebun pala. Belum sempat melepas penat, tiba-tiba muncul serangan mendadak dari pasukan Marinir Belanda. Kontak tembak pun tak terelakan.

Dalam pertempuran itu, Agus Hernoto mengalami luka tembak di kedua kakinya. Di kemudian hari, kedua kaki Agus Hernoto harus diamputasi karena membusuk. Sementara itu, pertempuran sengit tersebut membuat tiga anggota PGT dan dua anggota RPKAD gugur dalam pertempuran. Begitu juga Pardjo, dia pun roboh usai terkena terjangan peluru tentara Belanda. 

Gencarnya serangan dari pasukan Belanda membuat Pardjo harus menyelamatkan diri. Pardjo kemudian merangkak, bergerak perlahan untuk bersembunyi di balik jasad rekan-rekannya yang telah gugur. Pardjo menyamar seolah-olah telah mati demi menyelamatkan diri. Apalagi, setelah pertempuran tentara Belanda melakukan patroli. itu membuat Pardjo tidak bisa bergerak.

Terlebih lagi, Pardjo harus tidur selama lima hari di antara jasad teman-temannya yang telah gugur dalam pertempuran. Upaya pemberian itu pun menghasilkan hasil. Pardjo akhirnya diselamatkan oleh warga setempat yang membawa ke organisasi untuk dirawat.

Topik Menarik