Yapisa Gelar Haul Gus Dur, Refleksi Akhir Tahun dan Diskusi Kerukunan Antarumat Beragama di Cileunyi
BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Yayasan Yapisa menggelar Haul Gus Dur, Refleksi Akhir Tahun 2024, dan Diskusi Kerukunan Antarumat Beragama di Ponpes Syamsul Ma’arif, Kecamatan Cileunyi, Senin (23/12/2024). Acara ini bertema “Toleransi Beragama dan Kepercayaan dalam Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia di Jawa Barat; Mewaspadai Bahaya Radikalisme dan Terorisme Mengatasnamakan Ajaran Agama”.
Kegiatan yang dikoordinir GP Ansor Kecamatan Cileunyi itu dihadiri sekitar 100 orang dari perwakilan Ponpes Syamsul Ma’arif, Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Fatayat NU, IPPNU, Koramil dan Polsek Cileunyi.
Pembacaan tawasul dan hadhoroh untuk mengenang Gusdur mengawali acara tersebut. Kemudian, Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Cileunyi Ridwan menyampaikan refleksi akhir tahun yang merangkum capaian organisasi sepanjang 2024 dan visi 2025.
Diskusi kerukunan antarumat beragama menjadi inti acara, diawali dengan pembacaan Alquran, menyanyikan lagu Indonesia Raya, Hubbul Wathon Minal Iman, dan Mars NU. Sedangkan sambutan disampaikan oleh Ketua Panitia Ridwan dan perwakilan Kapolsek Cileunyi.
Hadir pemateri dalam diskusi ini, Tim Ahli Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jabar Samsudin, eks napiter ustaz Kiki M Iqbal dan perwakilan Ansor Jabar Wawan Gunawan. Diskusi dipandu oleh Ridwan sebagai moderator.
Dalam diskusi tersebut, Samsudin menekankan bahwa radikalisme memiliki dua sisi positif sebagai pemikiran kritis untuk inovasi dan negatif jika digunakan untuk merusak. Hal itu bisa dipandang dari berbagai sudut berbeda. Jadi, Radikalisme tergantung dari sudut pandang, bisa diperlukan bisa juga tidak.
"Radikalisme yang diperlukan dari sudut pandang filsafat adalah berpikir keras untuk menghasilkan sesuatu," kata Samsudin.
Mantan pelaku terror ustaz Kiki M Iqbal mengatakan, radikalisme sering kali menyasar kelompok berpendidikan dan terorganisir dengan doktrin agama yang salah. Dia juga menyoroti kelemahan sistem penjara dalam menangani napiter dan perlu pendekatan tafsir agama yang lebih inklusif.
"Paparan radikalisme rentan di golongan berpendidikan karena kelompok ini aktif berpikir kritis," kata ustaz Kiki.
Kiki menyatakan, radikalisme di NII dimulai dengan doktrin bahwa Pancasila adalah thougut. Doktrin ini selalu diperkuat dengan nukilan ayat suci Alquran. Kini menyebutkan meski dipenjara, para Napiter semakin matang dan masih bisa membuat saluran komunikasi dan jaringan keluar.
"Ada kelemahan dalam sistem penjara napiter. ISIS, JAT, dan JAD ternyata keliru, karena menimbulkan teror dan kekerasan. Selain itu, kesalahan fatal pemahaman radikal semakin sesat karena tidak membuka pemahaman dari tafsir ulama yang lain," ujar Kiki.
Radikalisme, tutur Kiki, adalah paham yang menginginkan perubahan drastis dengan kekerasan. Sementara terorisme adalah kegiatan menciptakan teror dengan kekerasan.
Menurut Kiki, untuk menyembuhkan orang yang terpapar radikalisme sangat sulit karena berkaitan dengan keyakinan, ideologi, psikologi kebencian, kondisi ekonomi, dan politik. Ciri orang terpapar radikalisme adalah, intoleran, fanatik buta, eksklusif, dan revolusioner.
"Mereka ingin mengubah ideologi Pancasila, bermaksud menggulingkan pemerintah, melakukan persiapan (idad), mempersiapkan logistik, dan rekruitmen. Sedangkan organisasi radikal di Indonesia antara lain, Jamaah Islamiyah (JI), ISIS-JAD, Negara Islam Indonesia (NII), dan Mujahid Indonesia Timur (MIT)," tuturnya.
Sementara itu, Wawan Gunawan memaparkan tentang tren radikalisme yang menyasar ruang publik dan menekankan pentingnya menjaga Pancasila sebagai warisan ulama dan umat Islam.
"Ciri orang terpapar radikal adalah mengkritik tatanan, memiliki alternatif gagasan, merasa gagasannya paling benar, mengubah tatanan dengan tatanan baru yang dianggap benar," kata Wawan Gunawan.
Wawan menyatakan, tren gerakan terorisme masuk ke ruang-ruang publik dan bidang. Rangkaian radikalisme antara lain, intoleransi, diskriminasi, dan melakukan tindak kekerasan.
"Teori kekerasan, orang bisa melakukan kekerasan karena frustasi, memiliki sandaran bagi tindak kekerasan (dalil), kekerasan sudah menjadi rutinitas, dehumanisasi orang di luar golongannya," ujar Wawan.
Berdasarkan hasil riset dan analisis histori, tutur Wawan, Indonesia merupakan lahan subur bagi terorisme. Terorisme tidak hanya terjadi di agama Islam, tetapi juga di agama lain. Riset di Jakarta, jumlah guru dan siswa yang anti-Pancasila semakin meningkat.
"Aksi terorisme saat ini tidak dilakukan secara individu, tetapi sudah membawa keluarga. Pancasila adalah produk ulama dan umat Islam. Karena itu, membela agama dan negara, hukumnya wajib," tutur Wawan.
Sedangkan Ketua GP ansor Cileunyi Ridwan mengatakan, diskusi ini menghasilkan kesepahaman tentang pentingnya mewaspadai bahaya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama. "Acara ditutup dengan semangat memperkuat toleransi beragama di Jawa Barat," pungkas Ridwan.