Sejarah Tradisi Ruwatan: Bermula Akibat Kisah Asmara Terlarang
Ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jawa dan sebagian masyarakat Bali. Istilah "ruwatan" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti "dilepas" atau "dibebaskan".
Oleh karena itu, Ruwatan menjadi upacara yang diadakan dengan tujuan membebaskan seseorang dari hukuman atau kutukan yang dikhawatirkan dapat membawa bahaya atau kesialan.
Tradisi Ruwatan memiliki akar budaya yang dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sejarah Upacara Ruwatan sendiri disebutkan bermula dari kisah asmara terlarang. Berikut pembahasannya merangkum informasi dari jurnal Universitas Diponegoro pada Rabu (23/8/2023).
Sejarah Tradisi Ruwatan
Konsep mendasar di balik praktik Ruwatan terinspirasi oleh mitos kamasalah atau "salah kedaden". Ini melahirkan sosok Batara Kala, yang muncul sebagai akibat dari asmara yang tak tepat dan melanggar etika pembabaran wiji dadi oleh Dewa tertinggi, Batara Guru.
Cerita berawal dari Batara Guru yang bersama Dewi Uma menaiki lembu Andini dan menjelajahi dunia di senja yang indah. Batara Guru tergoda untuk memadu asmara dengan Dewi Uma, tetapi air benih kehidupan atau "kama" tumpah di samudera.
Kama yang keluar tak pada tempatnya ini disebut kama salah, kemudian berubah menjadi raksasa sebesar gunung, Batara Kala. Ketika Batara Guru mendengar kekacauan di bumi, ia memerintahkan para dewa untuk menyelidiki.
Ternyata kekacauan itu disebabkan oleh Batara Kala yang mencari ayahnya untuk makan. Batara Guru akhirnya mengakui Batara Kala sebagai anaknya, memberinya nama, dan memberi jatah makan berupa anak atau orang sukerta. Namun, pemberian jatah makan yang berlimpah ini dapat mengancam manusia di dunia.
Menyadari kesalahannya, Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu dan para dewata turun ke bumi untuk menyelamatkan manusia. Batara Wisnu berperan sebagai dalang Kandhabuwana, sedangkan para dewata menjadi pengrawit dalam meruwat manusia yang menjadi jatah makan Batara Kala.
Mitos ini menjadi dasar bagi tradisi Ruwatan yang masih dilaksanakan masyarakat Jawa hingga saat ini, sebagai upaya melindungi orang-orang yang mereka cintai agar tidak dimakan oleh Batara Kala.
Ruwatan dalam Praktik dan Simbolisme
Proses Ruwatan melibatkan berbagai persyaratan, terutama sajen. Sajen adalah makanan dan benda lain yang digunakan sebagai media komunikasi dengan makhluk gaib. Berbagai jenis sajen diperlukan dalam upacara ini, termasuk bunga, padi, kain, dan benda-benda lainnya.
Pelaksanaan Ruwatan mencakup pertunjukan wayang yang dipandu oleh dalang, dengan lakon khusus bernama Murwakala, dan disajikan sesaji khusus untuk memuja Batara Kala.
Makna utama dari Ruwatan adalah permohonan tulus agar individu yang menjalani upacara ini dapat terhindar dari bencana dan memperoleh keselamatan. Oleh karena itu, Ruwatan dilaksanakan untuk melindungi manusia dari berbagai risiko yang mengancam.
Hingga saat ini, tradisi Ruwatan masih kuat dipercayai oleh banyak masyarakat Jawa, terutama karena kaitannya dengan keselamatan anak tunggal dan keluarga. Lebih dari sekadar tradisi, Ruwatan juga mencerminkan warisan budaya yang diwariskan oleh leluhur, serta mengandung nilai-nilai penting dalam menjaga harmoni hidup.
Melalui upacara Ruwatan, masyarakat Jawa berharap agar mereka dan keluarga mereka terhindar dari ancaman bahaya. Ruwatan tidak hanya sekadar upacara, tetapi juga merupakan manifestasi penting dari warisan budaya Jawa.
Keberadaan budaya Jawa berperan dalam menjaga adat istiadat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Dengan Ruwatan, mereka menemukan cara untuk menghubungkan dunia manusia dengan alam gaib serta mengarungi kehidupan dengan penuh keamanan dan ketentraman.



