Kenapa Banyak Warung Kopi di Aceh?
KENAPA banyak warung kopi di Aceh ? Ya, pertanyaan ini mungkin ada di benak sebagian orang yang pernah melihat banyaknya warung kopi di Aceh. Bahkan sampai-sampai Aceh dijuluki sebagai \'Negeri 1001 Warung Kopi\'.
Tentu saja jumlah warung kopi di Aceh lebih dari seribu. Mengingat hampir di tiap gampong atau desa ada warung kopi, bahkan ada yang dilengkapi fasilitas internet nirkabel atau wifi gratis.
Ranub Mameh, Jajanan Khas Aceh yang Kaya Khasiat buat Pencuci Mulut Warung kopi di Aceh bukan saja sebagai tempat menikmati kopi, tapi juga sebagai tempat silaturahmi, berkumpul, berdiskusi berbagai isu mulai politik, ekonomi, bisnis, dan lainnya.
Warung kopi juga sering jadi tempat untuk menggelar pertemuan atau rapat-rapat mengambil keputusan untuk kemaslahatan.
Selain itu, warung kopi juga jadi tempat hiburan bagi anak-anak muda. Ada istilah populer kalau seseorang belum sah ke Aceh jika belum ngopi di warung kopi.
5 Kedai Kopi Bertema Vintage di Bandung, Incaran Anak Muda buat Nongkrong Banyak pecinta kopi dari seluruh Indonesia datang ke Aceh untuk mencoba kopi lokal. Warung kopi di Aceh menjadi tempat paling ramai pengunjung untuk menghabiskan waktu.
Lantas, apa yang membuat warung kopi di Aceh sangat populer dan diminati?
Mengutip dari buku "De Atjehers: Dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi", kenapa banyak warung kopi di Aceh karena masyarakat Aceh memiliki tradisi minum kopi. Warung kopi menjadi tempat alternatif selain rumah dan perkantoran untuk menghabiskan waktu.
Banyaknya warung kopi di Aceh juga tidak lepas dari sejarah kopi di Indonesia. Berdasarkan sejarah, kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1699 dibawa oleh kapitalis Belanda. Masyarakat Aceh sendiri sudah mengenal tanaman kopi sejak tahun 1804 dari kolonial Belanda.
Namun, masyarakat Aceh baru membudidayakan kopi pada tahun 1908 di dataran tinggi Gayo. Mereka membudidayakan dua jenis kopi yaitu robusta dan arabika. Belanda menjual kopi arabika keluar negeri dan masyarakat mengkonsumsi kopi jenis robusta.
Sejak saat itu, kopi menjadi komoditas unggulan di Aceh Barat. Kondisi alam dan cuaca alam Aceh Barat sangat mendukung perkembangan kopi. Awalnya kopi berkembang pesat di daerah Lamno dan Teunom, Aceh Barat.
Kemudian Belanda memperluas perkebunan kopi di Aceh Barat. Kolonial Belanda membawa biji kopi ke Kota Meulaboh untuk diproses. Setelah itu kopi diekspor ke luar negeri khususnya ke Eropa.
Sampai pada tahun 1924 Belanda telah menjadikan Aceh sebagai tanah penghasil kopi terbesar. Tidak hanya di Pantai Aceh Barat saja, tetapi juga di daerah Gayo. Belanda banyak melibatkan investor dari Eropa.
Tradisi minum kopi sendiri sudah berlangsung lama di Aceh. Begitu juga berkembangnya warung kopi pertama di Aceh yang melibatkan pengusaha keturunan Tionghoa. Warung kopi menjadi tempat berkumpul bagi banyak orang.
Pahlawan nasional Aceh, Teuku Umar, sebelum wafat pada tahun 1899 sempat mengajak rekannya minum kopi.

Beungoh Singoh Geutanyoe Jep Kupi di Keudee Meulaboh Atawa Ulon Akan Syahid yang artinya Besok Pagi kita akan minum kopi di Kedai Meulaboh atau aku akan Syahid.
Dari ungkapan Teuku Umar tersebut membuktikan bahwa budaya minum kopi di Aceh sudah ada sebelum tahun 1899.
Demikian alasan kenapa banyak warung kopi di Aceh.




