Hilirisasi Nikel Bisa Bikin RI Cuan Gede, Ini Buktinya
IDXChannel - Indonesia akan mengantongi nilai keekonomian yang besar dari hilirisasi bijih nikel. Indonesia Battery Corporation (IBC) mencatat, nilainya mencapai 11 kali dari nilai nikel itu sendiri.
Bahkan, Direktur Utama IBC, Toto Nugroho mengatakan, ketika bijih nikel sudah diubah hingga menjadi baterai ion lithium (cell level), maka nilai keekonomian meningkat hingga 40 kali lipat.
Perubahan bijih nikel menjadi baterai ion lithium membutuhkan waktu yang lama. Di mana, dari bijih nikel diolah menjadi konsentrat, kemudian diolah menjadi M-Sulfat.
Setelah itu, diproses menjadi precursor, lalu menjadi material katoda, terakhir dikonversi menjadi baterai ion lithium.
"Di sini perlu kita komunikasikan bahwa membangun industri (baterai) ini tidak mudah, akan membutuhkan waktu yang lama. Tapi akan sangat strategis di Indonesia karena nilai dari baterai itu hampir bisa 11 kali dari nilai nikel," ungkap Toto saat rapat bersama Komisi VI DPR, Rabu (15/2/2023).
"Dan bahkan kalau sudah sampai baterai precursor dan baterai cell bisa hampir 40 kali lipat dari segi nilainya sendiri," dia menambahkan.
Dalam pembangunan industri baterai kendaraan listrik di Indonesia, pemerintah melalui IBC telah mengantongi perjanjian kerja sama dengan beberapa produsen baterai kelas dunia.
Dua di antaranya adalah LG Energy Solution (LGES) dan Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL). Kedua perusahaan asal China dan Korea Selatan (Korsel) itu ikut bergabung ke dalam proyek besar IBC yakni proyek Titan dan Dragon.
Atas komitmen tersebut, lanjut Toto, IBC mendapatkan nilai investasi sebesar USD15 miliar atau setara dengan Rp215 triliun. Perolehan investasi itu ditandai dengan penandatanganan Framework Agreement yang dilakukan pada Maret 2022.
"Angka investasi dari kedua proyek ini sesuai dengan komitmen mereka yang sudah ditandatangani melalui Framework Agreement Maret tahun lalu itu berkisar hampir Rp200 triliun," ucapnya.
Toto mencatat, Indonesia memiliki kemampuan memiliki baterai cell secara mandiri. Namun, proses produksi dari hulu ke hilirnya membutuhkan waktu dan biaya investasi yang sangat besar.
"Walau kita sudah bermitra dengan (produsen baterai) nomor 1 dan nomor 2 di dunia, itu kita membutuhkan hampir 4 tahun untuk bisa mendapatkan baterai cell kita dari nikel Indonesia," tutur dia.
(FAY)