Tradisi Pemakaman Suku Minahasa yang Unik: Jenazah Diletakkan dalam Batu Kotak Berongga
JAKARTA, iNews.id - Tradisi pemakaman suku Minahasa yang terbilang cukup unik sudah ada sejak abad ke-9. Jejaknya bisa dilihat di Taman Purbakala Waruga Sawangan.
Kini, taman tersebut dijadikan salah satu destinasi wisata sejarah di Kabupaten Minahasa Utara. Di dalamnya, terdapat 143 pemakaman yang dikumpulkan sejak tahun 1977.
Lantas, seperti apa pemakaman suku Minahasa yang unik tersebut? Simak ulasannya berikut ini.
Tradisi pemakaman suku Minahasa
Dilansir dari situs Indonesia.go.id, Rabu (8/2/2023) suku Minahasa memiliki tradisi pemakaman yang berbeda dari daerah lain di tanah air. Jika biasanya jenazah akan dikubur di dalam tanah, suku Minahasa justru menjadikan batu sebagai tempat peristirahatan terakhir atau biasa disebut Waruga.
Dalam bahasa Minahasa, Waruga berasal dari dua kata, yakni waru yang berarti rumah dan ruga yang bermakna badan. Maksudnya, Waruga adalah tempat badan kembali ke surga.
Waruga didesain menyerupai kotak berongga dengan disertai penutup berbentuk segitiga di atasnya. Selain itu, terdapat ukiran di bagian penutup yang menggambarkan profesi jenazah saat masih hidup.
Di dalam makam tersebut, terdapat satu atau lebih jenazah yang disemayamkan. Jumlah jenazah bisa dilihat dari ukiran garis di bagian penutup Waruga.
Tak berhenti di situ, jenazah di dalam Waruga juga ada yang dikubur bersama harta benda yang dimilikinya. Harta benda yang dimaksud bisa berupa piring, gelas, dan perkakas lainnya yang ditaruh di dalam lemari kaca atau bahkan rumah panggung khas Minahasa yang diletakkan di sebelah makam.
Uniknya lagi, jenazah yang dikubur di dalam Waruga tidak diposisikan terlentang. Tubuh mayat justru diletakkan dalam kondisi tumit bersentuhan dengan pantat lalu mulut seolah mencium lutut.
Jika diamati, posisi jenazah di Waruga tersebut menyerupai bayi yang ada di dalam rahim ibu. Filosofi dari posisi ini berarti manusia akan mengakhiri hidup seperti pada posisi ia mengawali kehidupan.
Setelah di posisikan sedemikian rupa, jenazah akan dihadapkan ke arah utara di dalam Waruga. Hal itu ternyata merupakan penanda bahwa nenek moyang suku Minahasa berasal dari utara.
Dulunya, tradisi pemakaman Waruga ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi. Namun seiring berkembangnya zaman, semua orang bisa menggunakan Waruga.
Hanya saja, pemerintah kolonial Belanda sempat melarang tradisi pemakaman ini karena dikhawatirkan penyakit yang dimiliki jenazah akan menyebar luas melalui celah kotak dari Waruga. Sebagai informasi, pelarangan tersebut bertepatan dengan berkembangnya wabah pes, tipus, dan kolera.
Dengan datangnya Belanda pula, tradisi pemakaman Waruga mulai terkikis secara perlahan. Kristenisasi menyebabkan orang-orang Minahasa mulai menguburkan jenazah di dalam tanah.