Muktamar Internasional Fikih Peradaban NU Akan Dihadiri 60 Ulama Dunia
JAKARTA Puluhan ulama dunia telah mengonfirmasi akan hadir dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Kegiatan ini bagian dari rangkaian peringatan Satu Abad NU pada 7 Februari 2023.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan, sekitar 60 ulama dri 79 negara telah tiba di Surabaya. Menurutnya, para ulama internasional, ada yang hadir langsung untuk mengisi acara, ada pula yang mendelegasikan kepada tokoh lain untuk menyampaikan pemikiran di acara Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang diinisiasi PBNU.
"Ada yang hadir untuk menyampaikan sendiri pandangan-pandangannya. Ada juga yang secara virtual dan yang mengirimkan perwakilan atau makalahnya," kata Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (5/2/2023).
Gus Yahya mengungkapkan, ulama dunia yang hadir bukan hanya sebagai pembicara, ada juga sebagai pengamat. Bahkan ada beberapa tokoh dunia yang sengaja mengajukan diri untuk mengikuti muktamar internasional yang merupakan salah satu rangkaian puncak resepsi 1 Abad NU ini.
"Bahkan tokoh-tokoh dunia luar Islam yang tahu publikasi acara ini menghubungi kami dan meminta izin untuk hadir," ujarnya.
Tujuan Muktamar Fikih Peradaban Gus Yahya memiliki harapan besar atas digelarnya Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Surabaya, Senin (6/2/2023) besok. Forum ini diharapkan dapat menginisiasi bergulirnya wacana mengenai fikih peradaban dalam konteks global.
"Tujuan dari Muktamar Internasional Fikih Peradaban ini menginisiasi diskursus wacana tentang peradaban seperti apa yang hendak kita inginkan bagi masa depan umat manusia," katanya.
Kiai asal Rembang, Jawa Tengah ini berharap para ulama internasional dapat bersinergi dalam mengupayakan wacana tersebut. Dia melihat, ada kekosongan cukup besar di tengah arus wacana toleransi dan moderasi beragama.
"Kita hendak memulai satu perbincangan satu wacana yang serius di kalangan para ulama ahli fikih tentang bagaimana sebetulnya wawasan peradaban itu dikaitkan dengan nilai syariah yang valid," ujarnya.
Gus Yahya menegaskan Muktamar Fikih Peradaban bukan agenda kecil, tapi raksasa. Sebab, hal tersebut melewati pergulatan yang tidak ringan. Ia memberanikan diri untuk melaksanakannya sebagai proses keilmuan yang valid untuk kebaikan di masa depan.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menjelaskan urgensi pembahasan dalam Muktamar Fikih Peradaban. Salah satunya karena umat Islam sedang menghadapi realitas baru.
Munculnya institusi negara bangsa di era modern, kata dia, mengubah konstelasi banyak hal pada kehidupan di muka bumi ini. Di antaranya ada konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua, yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian ada pula konsep mengenai minoritas.
Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan institusi yang secara de facto menjaga ketertiban dunia meskipun tentu saja tidak sempurna dalam bekerja untuk perdamaian dunia.
PBB adalah institusi yang tidak pernah ada di dalam sejarah pengalaman umat Islam. Di PBB, ada suatu dokumen yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia di muka bumi, yaitu Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Universal.
"Nah, kalau kita menganggap PBB ini adalah institusi yang valid secara keagamaan atau fikih, artinya kita harus mengikuti kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara modern, berupa konvensi-konvensi yang diputuskan oleh PBB," kata Gus Ulil.
Apabila ulama dan negara-negara muslim di dunia sepakat bergabung dengan PBB, maka seluruh dokumen yang dihasilkan harus mengikat seluruh umat Islam sedunia.
(abd)