Mitos Perempatan Palbapang Bantul, Pengantin Wajib Lempaskan Ayam saat Melintas
BANTUL, iNews.id - Sebagai orang Indonesia, terkhususnya di Yogyakarta tentu sudah tidak asing dengan yang namanya mitos-mitos yang beredar luas di masyarakat. Tentu, kepercayaan terhadap mitos ini akan sulit jika dipikir secara nalar dan logika. Akan tetapi, dengan adanya kepercayaan terhadap suatu peristiwa oleh masyarakat di daerah menjadi cerita unik tersendiri.
Masyarakat Bantul pastinya sudah tidak asing lagi dengan mitos legenda perempatan Palbapang. Lekat di benak masyarakat, mitos Palbapang ternyata diawali dari cerita Ki Ageng Mangir yang juga merupakan tokoh dibalik asal-usul Palbapang. Ki Ageng Mangir adalah musuh sekaligus menantu dari Panembahan Senopati, raja pertama Kerajaan Mataram.
Kala itu, Ki Ageng Mangir berjalan dari Mangir ke arah timur menuju Mataram. Sesampainya di sebuah desa, ia mendengar bisikan dari tombak sakti Kiai Baru Klinting yang memintanya untuk membatalkan perjalanan. Bila Ki Ageng Mangir tetap melanjutkan perjalanan, nyawanya akan dipal (dipastikan) melayang.
Meskipun sudah mendapatkan peringatan tersebut, Ki Ageng Mangir tetap bersikukuh untuk melanjutkan perjalanan, namun sebelum melanjutkan perjalanan, Ki Ageng Mangir sempat menamai desa tersebut dengan nama Palbapang.
Palbapang sendiri berasal dari kata pal atau ngepal. Di tengah perjalanan, rombongan Ki Ageng Mangir berhenti sejenak untuk beristirahat. Saat itu, Ki Ageng Mangir teringat dengan bisikan pusakanya. Dia sadar, Panembahan Senopati adalah musuhnya, akan tetapi di sisi lain ia menyadari sebagai menantu, dia harus berbakti pada sang mertua.
Suasana hati Ki Ageng Mangir seketika ngemban ngentul atau bimbang, yang konon menjadi asal-usul tempatnya berisitirahat menjadi nama Bantul. Meski bimbang, Ki Ageng Mangir memutuskan tetap melanjutkan perjalanan dan benar saja seperti apa yang dibisikkan pusakanya itu. Begitu ia bertemu Panembahan Senopati, saat bersimpuh menyembah kepalanya dibenturkan ke kursi singgasana oleh sang mertua hingga tewas.
Sama seperti namanya, perempatan Palbapang berada di Kalurahan Palbapang, Kapanewon Bantul. Berjarak sekitar 16 Km dari pusat kota Yogyakarta, Perempatan Palbapang terhitung masih satu garis lurus dengan jalan Bantul yang menghubungkan dengan Kota Yogyakarta.
Lokasinya pun cukup dibilang strategis, setiap detik kendaraan selalu berseliweran menuju 4 arah mata angin. Akan tetapi, dengan letaknya yang strategis itu, ternyata perempatan Palbapang sejak lama sudah menjadi momok bagi orang-orang dengan kondisi tertentu.
Hal ini lantaran mitos yang berkembang cukup besar, bahkan bukan hanya warga lokal Bantul saja melainkan hingga ke daerah pinggir Yogyakarta. Mereka percaya ada kekuatan mistis yang begitu besar yang bisa memperburuk kondisinya jika melewati perempatan Palbapang dalam kondisi sakit.
Perempatan Palbapang dipercaya memiliki penjaga ghaib yang suka iseng terkadang jahil mengganggu orang lewat, terlebih yang tidak menjaga perilaku. Menurut kepercayaan orang setempat, bagi yang sakit sebaiknya jangan melewati perempatan Palbapang. Jika nekat, maka konsekuensinya adalah kondisi akan semakin parah hingga berakibat kematian.
Untuk itu, biasanya warga sekitar lebih memilih mencari jalan alternatif meskipun akan lebih jauh. Mereka tak ingin terkena sial lantaran melanggar mitos tersebut.
Dari beberapa mitos yang berkembang, mitos yang paling terkenal adalah, pengantin diharuskan melepas ayam di perempatan Palbapang. Jika lokasi acara pernikahan mengharuskan melewati perempatan Palbapang.
Jika tidak, dipercaya pernikahan mereka akan berakhir pada hancurnya hubungan rumah tangga atau bahkan disambar musibah. Maka, sudah wajar bagi masyarakat sekitar jika melihat ayam berkeliaran atau diturunkan di perempatan Palbapang.
Bahkan tak jarang bukan hanya ayam saja yang ditinggalkan, tetapi juga sesaji dengan berbagai ubo rampe dilengkapi bunga setaman, yang biasanya diletakkan di bawah tugu perempatan. Tentu, hal ini dilakukan sebagai penolak bala.
Meski begitu, dikabarkan pula ada yang menolak mitos tersebut dan membuktikan sendiri bahwa pengantin yang melewati perempatan Palbapang tetap langgeng meski tidak melepas ayam.
Hingga kini, belum diketahui secara pasti kebenaran dari mitos tersebut, namun berdasarkan kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya memegang tradisi nenek moyang untuk melepas ayam sebagai ritual pernikahan.