Sejarah Kotagede, Kota Lama Tempat Lahirnya Bumi Mataram di Jogjakarta
KOTAGEDE merupakan sebuah kota lama yang terletak di Jogjakarta bagian selatan. Secara administratif Kotagede masuk di Kota Jogjakarta dan Kabupaten Bantul. Kotagede terdiri dari tiga kalurahan yakni Rejowinangun, Prenggan dan Purbayan.
Kotagede pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, tepatnya pada 1532 M.
Kompleks makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Jogjakarta. Foto/Ist
Hingga saat ini, Kotagede dikenal sebagai daerah budaya dengan banyak peninggalan sejarah yang terlihat dari arsitektur bangunan maupun kehidupan sosial budaya. Sebagai bekas ibukota kerajaan Mataram Islam pada pemerintahan Panembahan Senopati, Kotagede menyisakan peninggalan arkeologis yang jauh lebih bermakna.
Kotagede pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan kota-kota lainnya yang ada di Jawa, yang dibangun berdasarkan pada konsep kosmologis Jawa-Islam.
Konsep ini mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta. Selanjutnya antara manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran manusia otonom dan bertanggungjawab, antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan catatan sejarah, Jejak Kotagede dapat ditelurusi dari kisah Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, pendiri kerajaan Pajang di Jawa Tengah.
Sekitar abad pertengahan 16, Jaka Tingkir memiliki musuh yang bernama Arya Penangsang dari Jipang.
Sudut Jalan Kemasan Kotagede, Jogjakarta. Foto/Antara
Arya Penangsang akhirnya dapat dikalahkan oleh Ki Ageng Pemanahan. Atas jasanya itu, ia diberi hadiah oleh Sultan Hadiwijaya berupa tanah perdikan di Hutan Mentaok yang sekarang menjadi Kotagede.
Tanah tersebut merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno yang hancur dipenuhi hutan lebat. Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan melakukan pembukaan lahan yang disebut sebagai babat alas.
Awalnya, Hutan Mentaok membentang dari timur laut hingga tenggara Yogyakarta yang meliputi wilayah Purwomartani, Banguntapan hingga Kotagede.
Setelah berhasil membuka lahan, Hutan Mentaok saat itu menjadi tempat tinggal bagi Ki Ageng Pemanahan dan keluarga serta pengikutnya. Ki Ageng Pemanahan pun membangun area perkampungan yang makmur di bawah Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1584, Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia. Kedudukannya sebagai pemimpin desa digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya yang dikenal sebagai Panembahan Senopati.
Putra dari Ki Ageng Pemanahan inilah yang akhirnya mendirikan Kerajaan Mataram Islam setelah mengalahkan Kerajaan Pajang.
Pada tahun 1587, Kerajaan Mataram Islam menjadi kerajaan termahsyur di Pulau Jawa yang memegang konsep Catur Gatra Tunggal. Konsep tatanan kawasan tradisional ini meliputi keraton sebagai rumah raja, pasar sebagai pusat perekonomian, alun-alun sebagai pusat sosial dan masjid sebagai tempat beribadah.
Perjalanan periodesasi pemerintahan yang memiliki pengaruh besar di Kotagede saat ini dapat dilihat dari segi arsitektur rumah dan bangunannya, yaitu masa Mataram awal (Abad 17) yang bercorak Hindu-Jawa-Islam. Selanjutnya masa Kotagede yang bercorak Jawa-Islam, dan masa awal abad 20 yang bercorak Indische perpaduan Jawa.
Bangunan joglo pada periode Jawa Hindu memiliki ornamen berupa ukiran daun-daunan , sulur-suluran, bunga teratai, dan gambar binatang.
Sedangkan bangunan Joglo periode Jawa-Islam memiliki ukiran dengan ornamen kaligrafi Islam. Sementara itu, joglo periode Jawa-kolonial ukirannya berupa mahkota kerajaan Belanda dengan perpaduan besi, jendela besar, atau kaca patri khas Barat.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) ibukota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan ke Kerto, jaraknya 4,5 kilometer ke arah selatan. Sementara itu, Kotagede menjadi pusat perdagangan penduduk yang kemudian muncul sebutan Pasar Gede.
Meskipun saat ini Kotagede sudah tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan, Kotagede tetap hidup sebagai daerah di Yogyakarta yang penuh dengan hiruk pikuk aktivitas manusia. Di kawasan itu masih dapat disaksikan rumah-rumah tradisional kuno, meskipun tidak sezaman dengan masa keemasan Kotagede.
Fasad bangunan di Kotagede secara tidak langsung telah memberikan identitas kawasan Kotagede sebagai kawasan bersejarah.
Saat ini, Kotagede lebih dikenal dengan sebutan Kota Perak. Hal ini karena banyak industri perak yang berdiri di Kotagede sekitar tahun 1920-1930-an. Kotagede saat ini bukan lagi sebagai pusat pemerintahan melainkan sebagai salah satu tempat kunjungan destinasi wisata budaya.
Baca pembahasan mengenai Peradaban Kerajaan di Indonesia selengkapnya di iNews.id melalui link berikut https://www.inews.id/tag/spesial-isu
(shf)