Cara Pemerintah Hindia Belanda Menangani Ragam Penyakit di Abad ke-20
JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pada kurun waktu 1900 terjadi berbagai wabah penyakit dan virus yang menyerang manusia di berbagai dunia. Penyebarannya pun sangat cepat dan kompleks, sehingga peluang untuk terpapar sangat besar.
Di tanah Hindia pun tidak terlepas dari paparan penyakit epidemi seperti influenza, PES, kolera, kusta dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit tersebut kemudian dengan cepat menyebar dan banyak menimbulkan korban jiwa berjumlah 586.757 jiwa pada tahun 1916 (Cipta, 2020:163).
Wabah penyakit tersebut tidak bisa dianggap remeh, karena jumlah korban yang terhitung banyak dan sifatnya menular. Pada awalnya, Dinas Kesehatan Belanda masih memandang sebelah mata wabah tersebut, namun mereka dan Pemerintah Hindia Belanda sadar akan kesehatan masyarakatnya.
Berawal dari abad ke-19, muncul berbagai penyakit yang dialami oleh masyarakat di Jawa. Penyakit tersebut berasal dari kebiasaan buruk penduduk dan masuknya wabah dari luar, seperti influenza yang berasal dari Spanyol.
Pada 1911, penyakit cacar mulai menyebar di Jawa. Sebelumnya penyakit ini telah ada sejak 1780. Cacar mulai menunjukkan angka kenaikan sekitar 30% pada 1910-1911.
Bukan hanya itu, penyakit Kolera juga menyerang masyarakat di sepanjang pemukiman kumuh, misalnya Kota Surabaya. Kolera telah menyebabkan korban meninggal sebanyak sembilan ribu orang pada 1912. Wabah ini menjadi salah satu catatan terburuk mengenai jumlah korban yang diderita akibat virus Kolera.
Pandemi flu Spanyol atau yang lebih dikenal dengan influenza menyebar ke seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda pada Juli 1918. Lima bulan pasca teridentifikasi, virus ini telah menyebar hingga wilayah timur Hindia, yakni Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
Adapula karena sanitasi yang buruk, masyarakat juga terkena wabah kusta dan PES. Daerah yang terkena dampak besar yakni Madura. Hingga Maret 1943, beberapa wabah tersebut telah mengalami penurunan dari jumlah pengidap wabah.
Lalu, bagaimana cara Pemerintah Hindia Belanda dalam menangani wabah tersebut?
Pemerintah memproduksi obat-obatan tablet sebagai langkah pengobatan tingkat lanjut. Tercatat sebanyak 900 ribu tablet disiapkan untuk didistribusikan dengan dua mekanisme yang berbeda.
Langkah tersebut dilakukan secara door to door dan didistribusikan langsung pada rumah-rumah sakit baik pemerintah maupun militer. Obat-obatan ini sangat membantu mengobati sekaligus menurun jumlah pengidap dari wabah influenza.
Pengobatan alternatif menggunakan bahan herbal seperti kina. Kina diimpor langsung dari Amerika pada 1854 dan kemudian dibudidayakan di beberapa daerah seperti Pangelengen dan Bandung.
Sedangkan dalam penanganan kasus Kolera, pemerintah memberikan cairan Roeroe Laudanum dan Hoffman. Sedangkan alternatif pengobatan lainnya dengan memberikan cairan elektrolit guna mengurangi efek dehidrasi dalam tubuh.
Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan vaksinasi di setiap desa di Jawa layaknya gencar vaksinasi pada masa kini. Pemerintah juga bekerja sama dengan mantri setempat sebagai vaksinator dan juga pengobatan secara tradisional.
Pemerintah juga melaksanakan propaganda kesehatan dalam bentuk kesadaran budaya bersih dan sehat. Salah satu bentuk propaganda Pemerintah Hindia Belanda yakni dengan menerbitkan sebuah buku panduan cara hidup sehat dalam bentuk aksara Jawa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1920 bertajuk Lelara Influenza .
Pemerintah melakukan kebijakan kampongsverbeteering sebagai program untuk memperbaiki rumah milik warga terdampak kolera dan merelokasi warganya ke tempat yang lebih aman dari permasalahan kesehatan. Sistemnya adalah sewa dan menjual dengan harga murah kepada masyarakat.
Dua lembaga kesehatan yakni Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD Layanan Kesehatan Penduduk Masyarakat Sipil) dan Dienst der Volksgezondheid (DVG Layanan Kesehatan Publik) diberi tugas untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan pada kurun waktu 1911-1943. Kedua lembaga tersebut melakukan tindakan kuratif, preventif, dan melakukan riset-riset yang dilakukan di laborotorium pusat Kesehatan Hindia Belanda,
Dikarenakan perlunya tenaga kesehatan yang mumpuni, maka pemerintah kolonial mendirikan School tot Opleideng van Indische Artsen (STOVIA) dan Nerderlands Indisch Artsenschool (NIAS). Untuk menekan keuangan akibat mendatangkan dokter dari luar negeri, maka pemerintah berinisiatif untuk menggaet kalangan bumiputera untuk menjadi dokter Jawa.
Begitulah beberapa langkah yang diambil pemerintah kolonial untuk menangani wabah penyakit di berbagai daerah. Penyakit yang paling banyak dirasakan adalah penyakit kulit menular, sehingga kesadaran akan kebersihan menjadi kunci utama dalam pemberantasan permasalahan kesehatan di Hindia Belanda.
Penulis: Maretha Octaviani Naibaho
Mahasiswa Universitas Negeri Malang
Sumber:
Cipta, S. E. (2020). Upaya penanganan pemerintah Hindia Belanda dalam Menghadapi Berbagai Wabah Penyakit di Jawa 1911-1943. Equilibrium: Jurnal Pendidikan , 8(2), 162-169.
Dewi, I. M. (2015). Pelayanan dan sarana kesehatan di Jawa abad XX. Mozaik , 7(1). 1-15.
Z, Mumuh Muhsin. (2012). Bibliografi Sejarah Kesehatan Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda. Paramita: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah, 22(2), 186-197.