Memanjangkan Leher dengan Cincin ala Suku Karen: Tradisi atau Eksploitasi Perempuan?
Di dunia ini, ada berbagai konsepsi mengenai standar kecantikan. Setiap daerah atau suku biasanya memiliki standar kecantikannya masing-masing. Namun, seiring berjalannya waktu, terutama karena pengaruh media dan penyebaran informasi, standar-standar unik itu kemudian diuniversalkan menjadi berkulit putih, berhidung mancung, berambut lurus, dan berpayudara montok.
Bicara soal standar kecantikan , Suku Karen yang banyak mendiami wilayah perbatasan Myanmar-Thailand, punya satu standar kecantikan yang tak lazim. Bagi mereka, perempuan yang cantik adalah perempuan yang lehernya panjang. Bahkan, semakin panjang, akan semakin cantik seorang perempuan bagi mereka.
Akan tetapi, standar kecantikan tersebut tentu tak dilahirkan dari ruang hampa. Ada sejarah dan budaya yang melatari terbentuknya standar kecantikan demikian.
Tradisi memakai cincin di leher bagi para perempuan Suku Karen ini pada awalnya dilakukan untuk melindungi para perempuan dari serangan harimau di hutan, bertahun-tahun lampau. Sebab, dulu katanya perempuan Karen kerap dimangsa harimau.
Karenanya, pemimpin Suku Karen saat itu membuat perlindungan bagi mereka dengan memakaikan cincin di leher mereka. Mereka percaya bahwa harimau akan takut melihat perempuan yang memakai cincin di leher.
Seiring bergulirnya waktu, ketika serangan harimau sudah tak ada lagi, kebiasaan itu tetap bertahan, dengan pergeseran anggapan dan menjadi cikal bakal standar kecantikan yang mereka tetapkan. Lelaki Suku Karen akan menyukai perempuan yang lehernya sangat panjang.
Tradisi atau Eksploitasi Perempuan?
Di era kiwari, tradisi ini sendiri sebenarnya banyak ditinggalkan karena dianggap mengekang kebebasan perempuan. Namun, tradisi ini masih diteruskan oleh anak-anak perempuan tertentu yang lahir waktu-waktu tertentu. Secara umum, leher mereka akan mulai dipakaikan cincin sejak usia 5 atau 6 tahun.
Mula-mula, mereka akan memakai lima buah cincin. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah cincin akan terus ditambah. Secara umum, rata-rata perempuan Suku Karen memakai hingga 25 cincin di leher mereka, menjadikan leher mereka benar-benar panjang.
Ironisnya, masih diteruskannya kebiasaan ini bukan hanya karena demi merawat tradisi leluhur, tetapi juga demi wisatawan yang berkunjung.
Oleh pemerintah, atas nama pariwisata, para perempuan Suku Karen dijadikan objek tontonan unik demi menyenangkan wisatawan .
Kehidupan Suku Karen di Thailand hingga kini masih jauh dari keadilan. Mereka kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif dari pemerintah Thailand. Status mereka sebagai pendatang dimanfaatkan oleh pemerintah Thailand semata-mata sebagai objek wisata.