Wisata Religi di Masjid Kampus UGM yang Dibangun di Bekas Kuburan China, Sambil Ngabuburit
Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) ramai diperbincangkan sejak hari Rabu (31/3/2022), usai beredar daftar nama-nama pembicara tarawih di masjid tersebut untuk Ramadhan 2022 atau 1443 Hijriah selama sebulan.
Bicara tentang Masjid Kampus UGM, ada kisah menarik yang tak banyak orang tahu, terutama menyangkut lahan di mana masjid itu berdiri.
Ya, masjid megah yang kini jadi salah satu destinasi wisata religi di Yogyakarta itu dibangun di atas lahan bekas kuburan China, milik Kraton Jogja.
Pada bulan Ramadhan, banyak orang akan menghabiskan waktu sambil menunggu waktu berbuka (ngabuburit) saat sore hari di masjid tersebut.
Yang Menarik dari Masjid Kampus UGM
Bagi kalangan mahasiswa UGM dan sebagian masyarakat Yogyakarta, Masjid Kampus UGM termasuk salah satu masjid yang paling banyak dikunjungi sebagai destinasi wisata, selain sebagai tempat untuk beribadah. Masjid ini karib disebut \'Maskam\', singkatan dari Masjid Kampus.
Di masjid ini, terdapat kolam yang menjadi salah satu spot favorit para pengunjung untuk berfoto.
Selain kolam, di masjid ini juga ada menara setinggi 99 meter, dengan lampu warna-warni yang berubah otomatis saat malam.
Melalui puncak menara ini, pengunjung dapat menyapu lanskap Kota Jogja, cocok buat ngabuburit sembari menunggu waktu berbuka puasa.
Namun, sejak 2018, menara masjid ini ditutup sementara oleh pengelola. Pengunjung tidak dibolehkan lagi naik ke atas menara.
Pembangunan menara tersebut menelan biaya sebesar Rp9 miliar.
Pada bulan Ramadhan 2019, ketika wartawan Indozone berkunjung ke sana untuk berbuka puasa, terpampang banner pemberitahuan mengenai rincian biaya pembangunan menara tersebut.
Ketika itu, dana yang sudah dikeluarkan sebesar Rp7,5 miliar. Untuk penyelesaian, diperlukan dana Rp1,5 miliar lagi.
"Masih utang sampai saat ini: Rp 1,5 miliar. Mohon sumbangan infaq/shodaqoh dikirim ke BNI Bulak Sumur," demikian permohonan sumbangan yang tertulis pada banner tersebut.
Dana Pembangunan Awal Hanya Rp60 Juta
Dikutip dari laman masjidkampus.ugm.ac.id, pembangunan Masjid Kampus UGM dimulai dengan hanya berbekal Rp 60 juta pada Mei 1998.
Langkah awal dalam pembangunan Masjid Kampus UGM adalah mencari lokasi yang tepat. Pada masa awal pencarian lokasi ini, belum terbentuk panitia khusus.
Pencarian lokasi Masjid Kampus dilakukan oleh Profesor Koesnadi (Rektor UGM waktu itu) bersama dosen muda Syaukat Ali dan pada pencarian pertama menemukan lokasi di sebelah Utara Fakultas Teknik. Di lahan tersebut tengah dibangun sebuah masjid baru (saat ini telah menjadi masjid Siswa Graha). Sehingga diputuskan untuk kembali mencari lokasi lain.
Pencarian kedua mendapatkan lokasi kompleks makam China yang ada di sebelah Timur UGM. Status lahan tersebut waktu itu masih merupakan tanah Kraton (Sultan Ground).
Kondisi lahan tersebut membawa dua konsekuensi, yang pertama terkait dengan penggunaan lahan sebagai makam China sehingga harus memindahkan makam. Yang kedua terkait dengan status tanah Keraton sehingga panitia harus mengurus perizinan.
Untuk merealisasikan gagasan pendirian masjid ini, Koesnadi sebagai rektor mengumpulkan beberapa mahasiswa arsitek untuk membuat desain masjid.
Setelah desain masjid selesai dan perencanaan lebih siap, Profesor Adnan sebagai rektor berikutnya, mengeluarkan SK kepanitiaan yang menunjuk Profesor Koesnadi Hardjasoemantri sebagai ketua panitia pembangunan masjid kampus.
Walaupun persiapan dan panitia pembangunan masjid sudah matang, realisasinya tidak mudah dimulai terutama karena persoalan yang menyangkut lokasi di pekuburan China.
Status makam China ini sebenarnya sudah tidak aktif lagi, dalam arti tidak ada makam baru.
Secara organisasional, makam China dikelola oleh organisasi-organisasi pemakaman, di antaranya adalah Perkumpulan Urusan Kematian Yogyakarta (PUKY) yang saat itu dipimpin oleh Onggo Hartono, seorang pengusaha besar (antara lain pemilik Hotel Saphir). Pihak PUKY keberatan apabila lahan pekuburan ini dipakai untuk keperluan lain berhubung hal itu akan menyangkut masalah pemindahan makam dan masalah ahli waris dari makam-makam tersebut.
Namun di sisi lain, setelah melalui rembugan dengan Kraton selaku pemilik lahan, pihak Kraton memutuskan bahwa makam tersebut boleh dijadikan lahan masjid tanpa perlu mengganti harga tanahnya.
Dengan demikian, panitia menetapkan perkuburan China itu sebagai lokasi bakal Masjid Kampus UGM.
1.880 Makam China Dipindahkan
Selanjutnya, penyiapan lokasi berlanjut pada pencarian lokasi tempat pemindahan makam China.
Panti Kesmo Kraton sempat mengusulkan dua nama, yaitu Gunung Sempu dan sebuah lokasi di Gamping. Lokasi kedua tersebut bersebelahan dengan makam pejuang Mataram namun tidak masuk dalam daftar orang yang dapat dimakamkan di makam pahlawan. Dalam pengurusan izin dengan pengurus makam mengajukan keberatan dengan alasan hal tersebut akan tidak menghormati pejuang yang dimakamkan di sana.
Usaha pencarian lokasi pemindahan makam terus dilanjutkan. Pada usaha kali ketiga ini, didapatkan lahan di daerah Piyungan. Lokasi ketiga ini cukup tinggi, sehingga sesuai dengan kultur masyarakat mengenai lokasi pemakaman.
Setelah ada persetujuan dari semua pihak dilakukan sosialisasi pada desa yang bersangkutan melalui perkumpulan. Kegiatan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk kerja bakti. Dalam sosialisasi tersebut didapatkan semacam perjanjian bahwa urusan penggalian di Piyungan diserahkan pada tenaga kerja lokal.
Setelah lahan lokasi pemindahan makam didapatkan, dimulai pencarian ahli waris untuk mendapat persetujuan pemindahan makam. Jumlah makam yang harus dipindahkan oleh panitia pada tanah seluas 2,8 hektar tersebut adalah 1.800 makam.
Untuk menghindari masalah hukum yang akan timbul dalam proses tersebut, kegiatan pemindahan makam disiarkan dalam bentuk iklan di surat kabar Bernas dan Sinar Harapan.
Iklan tersebut ditayangkan sebanyak tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan. Isi iklan adalah pemberitahuan kegiatan pemindahan dan mengumumkan pada ahli waris yang menyerahkan proses pemindahan pada pihak UGM tidak akan dipungut biaya apa pun. Akan tetapi jika ada yang ingin mengurus sendiri tetap dipersilahkan asalkan tetap berkoordinasi dengan pihak UGM menyangkut administrasi pendataan.
Setelah diiklankan, terdapat 400 ahli waris yang menghubungi pihak UGM. Sisanya sebanyak 1.400 makam tetap diurus oleh pihak UGM.
Kegiatan pemidahan makam dilakukan dengan memberikan nomor pada makam asal dan mengatur makam-makam tersebut sesuai dengan kapling pada makam tujuan. Kegiatan ini membutuhkan pendataan yang cermat dan teliti agar tidak terjadi kesalahan pemindahan ataupun salah identifikasi makam. Untuk mengantisipasi, peti mati diberi nomor berikut tutupnya dan juga kapling makam tujuan.
Ukuran kapling makam di Piyungan mengikuti ketentuan Departemen Dalam Negeri RI (Depdagri) namun untuk kedalaman disesuaikan karena lahan di Piyungan berupa tanah gamping yang keras sehingga sulit untuk digali. Sedangkan ukuran peti mati (peti mati dibuatkan oleh UGM dengan bahan baku kayu jati yang didatangkan dari Wonosari) lebih pendek dari ukuran peti mati pada umumnya.
Terdapat 14 tim (satu tim terdiri dari enam orang) yang bertugas menggali makam dan mengambil jenazah. Kegiatan penggalian dan pengambilan jenazah dilakukan oleh tim yang berbeda.
Tim tersebut berasal dari para group pemakaman yang sebagian besar berdomisili di Sagan. Sempat terjadi negosiasi tarif yang alot antara pihak UGM dan pekerja penggalian. Sebagai tindakan pencegahan sempat dipertimbangkan untuk menggunakan tenaga kerja dari Bantul yang sebelumnya pernah memindahkan makam Jawa. Akan tetapi pada akhirnya tenaga lokal tetap digunakan.
Mengingat adanya kemungkinan makam yang masih basah (jenazah masih berdaging) dan kemungkinan kontaminasi penyakit, sempat dipertimbangkan untuk mempergunakan jasa Pasukan Katak yang biasa bertugas sebagai pasukan penyelamat. Namun usul tersebut tidak jadi dilakukan untuk menghindari stigma negatif dari masyarakat terhadap Pasukan Katak.
Seluruh pengerjaan pemindahan makam dilakukan secara manual. Sempat terlontar ide untuk dilakukan menggunakan backhoe, akan tetapi mengingat kemungkinan banyaknya masalah dalam proses administrasi pencatatan jenazah ide tersebut urung dilaksanakan.
Proses pengangkutan jenazah ke Piyungan menggunakan truk dengan dua tingkat dan kapasitas angkut sekali jalan sebanyak 25 peti. Dengan kapasitas tersebut. proses pemindahan memakan waktu sekitar dua bulan.
Walaupun persoalan lokasi pemindahan makam terselesaikan, persoalan dana tetap menjadi ganjalan karena pemindahan satu makam diperkirakan membutuhkan biaya lima juta rupiah.
Pada Mei 1997 Prof. Sukanto menyelenggarakan upacara peletakan batu pertama pembangunan Masjid Kampus secara formalitas dan simbolis.
Posisi batu pertama tersebut sekarang terletak di sebelah Utara bangunan masjid. Upacara tersebut dihadiri oleh sivitas akademika dan beberapa undangan termasuk Probosutedjo yang dalam kesempatan itu memberikan sumbangan sebesar Rp 200 juta. Dengan uang ini pemindahan makam dapat terselesaikan dan sisanya sebesar Rp 60 juta dipergunakan dana awal pembangunan masjid.
Ada MakamKiai Mbulak dan Nyai Sumur
Di akhir pemindahan, ditemukan dua buah makam yang berada di bawah pohon kamboja di luar pagar kompleks makam.
Dari hasil penelusuran, diperoleh keterangan bahwa makam tersebut merupakan makam Kiai Mbulak dan Nyai Sumur, dua tokoh yang oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai leluhur lokasi Bulaksumur saat ini.
Ketika dicari inforamsi lebih jauh lagi, tidak ditemukan siapa ahli waris dari kedua makam tersebut.
Setelah dilakukan penggalian ternyata tidak diketemukan kerangka atau apapun di dalam makam jawa. Akhirnya tanah yang ada di tempat tersebut dimasukan ke dalam peti dan dipindah ke makam Kuncen. Pohon Kamboja yang menaungi kedua makam Jawa tersebut sempat ditawar untuk dijual dengan harga penawaran sebesar tiga juta rupiah. Konon menurut si calon pembeli, pohon kamboja tersebut akan di jadikan semacam jimat.
Penawaran tersebut ditolak pihak panitia masjid dan hingga kini pohon kamboja yang sama masih menaungi lahan parkir Masjid Kampus UGM.
Tak Pakai Nama Arab
Pemberian nama \'Masjid Kampus UGM\' memiiiki kisah tersendiri. Awalnya, pemberian nama Masjid Kampus UGM akan dilakukan dengan cara mengumpulkan referensi, menyaringnya, dan kemudian memilih mana yang paling baik dan mengandung makna yang baik pula.
Masjid tersebut sempat akan dinamai sebagai Masjid Al-lkhlas. Akan tetapi ketika disampaikan pada Rektor UGM yang kala itu dijabat oleh Ichlasul Amal, ia tidak menyetujui karena ada kemungkinan muncul stigma bahwa penamaan dipengaruhi oieh dirinya.
Akhirnya, rektor saat itu mengajukan usulan agar penamaan masjid kampus cukup dengan Masjid Kampus UGM. Ini didasari pada pengamatan bahwa di Timur Tengah, masjid biasanya tidak memiliki nama seperti di Indonesia, tetapi penamaan masjid merujuk pada lokasi tersebut.
Artikel Menarik Lainnya:
Unik! Masjid Peninggalan Raja Surakarta Kiblatnya Serong ke Kiri, Kok Bisa?
Mirip Taj Mahal, Masjid di Pekanbaru Punya Menara Melambangkan 4 Sahabat Rasulullah SAW
Alhamdulillah, Ibadah di Masjid Agung Solo jadi Nyaman Berkat Para Bocah Ini

