Pengamat: Orang Kaya Diberi Tax Amnesty, Sementara Rakyat Jelata Dicekik Pajaknya
Langkah DPR memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 mendapat kritik tajam. Keputusan ini dinilai janggal karena RUU tersebut secara mendadak masuk dalam longlist usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Langkah ini menuai polemik.
“Mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas. Sementara RUU perampasan Aset yang berdampak besar dalam pemberantasan korupsi justru diabaikan,” kata Pengamat Hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho, Jumat (22/11/2024).
Pihaknya menilai, masuk RUU Pengampunan Pajak ke dalam daftar Prolegnas sebagai bentuk ketidakseriusan DPR dalam memberantas korupsi. RUU Perampasan Aset, kata dia, adalah instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya.
“Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ujarnya.
Program PKM : Kepala Desa Panyirapan Apresiasi kepada Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan UNPAM Serang
Hardjuno mensinyalir lolosnya RUU Tax Amnesty ke dalam daftar Prolegnas prioritas adalah titipan pengusaha, terutama pengusaha hitam yang mengemplang pajak selama ini. Selama ini, para pengemplang pajak terus menghindar dari kewajiban membayar pajak.
“Saya ajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengawal RUU ‘siluman’ ini. Ini bentuk ketidakadilan di negara ini. Orang kaya diusulkan beri Tax Amnesty, sementara rakyat jelata dicekik pajaknya,” tegas Hardjuno.
Tak hanya soal RUU Tax Amnesty, Hardjuno Wiwoho yang kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan di Universitas Airlangga (Unair) ini mengkritik keras kontroversial dalam fit and proper test pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu calon yang akhirnya terpilih secara terbuka menyatakan keinginannya untuk menghapuskan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ironisnya, pernyataan tersebut justru mendapat tepuk tangan dari anggota DPR.
Padahal OTT telah menjadi metode yang efektif dalam menangkap para pelaku korupsi. “OTT adalah salah satu bukti nyata keseriusan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, dalam memberantas korupsi,” lanjut Hardjuno.
Ia mencontohkan OTT yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap seorang mantan hakim Mahkamah Agung (MA) dengan barang bukti suap sebesar Rp1 triliun. “Langkah ini menunjukkan bahwa OTT tidak hanya efektif, tetapi juga menjadi pesan moral bahwa hukum bisa menyentuh siapa saja,” tegasnya.