Kepercayaan Al-Mahdi Syiah Zaidiyah: Bisa Menerima Imam Mafdul
Syiah Zaidiyah berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn Ali bin Abi Thalib.
Sekte tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu seorang yang alim, zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik dia dari putera Hasan atau Husain.
Muslih Fathoni dalam bukunya berjudul "Paham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif" (PT RajaGrafindo Persada, 1994) mengatakan dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat.
Menurutnya, mereka bisa menerima Imam Mafdul yakni imam yang dinominasikan, di samping adanya Imam al-Afdal atau imam yang lebih utama.
Baca juga: Pandangan Islam Terhadap Syiah dan Ahmadiyah
Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri sekte Zaidiyah, pernah berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Muktazilah.
Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah sebelum Ali ibn Abi Thalib. Pendirian tentang sahnya imam yang dinominasikan di samping adanya seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi keras dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah. Muslih Fathoni mengatakan bahwa sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah satu-satunya orang yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat.
Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte Zaidiyah, karena doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib sama dengan nasib Husain ibn 'Ali.
Zaid juga menjadi korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikansaran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir.
Baca juga: Apakah Hamas Itu Syiah? Ini Jawabannya
Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh orang-orang Kufah.
Sesudah ia wafat pada 122H, jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya.
Sesudah itu keimaman dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di Madinah.
Muslih Fathoni mengatakan seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-ide doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam mereka, tentu keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam masyarakat. Baca juga: Peringatan Maulid Nabi SAW, Diambil dari Tradisi Syiah?
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyah ini sudah tidak terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan mazhab Zaidiyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.
Sebagaimana sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyah pun mengalami perpecahan menjadi beberapa subsekte. Di antara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai al-Mahdi.