Dikembangkan di Binuangeun, Alat Tangkap Benur 'Jodang Tanam' Dinilai Efisien dan Ramah Lingkungan

Dikembangkan di Binuangeun, Alat Tangkap Benur 'Jodang Tanam' Dinilai Efisien dan Ramah Lingkungan

Terkini | lebak.inews.id | Sabtu, 5 Oktober 2024 - 09:10
share

LEBAK, iNewsLebak.id Modifikasi jaring tanam yang tengah dikembangkan masyarakat pesisir Binuangeun, atau yang lebih dikenal dengan sebutan jodang tanam tengah menjadi sorotan bahkan penolakan dari nelayan lainnya.

Pasalnya, metode ini dianggap bakal berpotensi mengganggu dan merusak alat tangkap lain, seperti jaring rampus, jaring gillnet, jaring lobster, dan jaring kantong. Hal ini ditegaskan oleh Wading, Ketua Paguyuban Nelayan Kabupaten Lebak.

Mayoritas nelayan disini menolak alat tangkap jodang tanam, karena bakal merusak alat tangkap lain. Walaupun secara aturan, tidak ada aturan yang mengatur diperbolehkan atau tidak, ungkapnya, Jumat (4/10/2024) siang.

Lepas dari pro dan kontra jodang tanam benur, ternyata di berbagai wilayah di perairan Indonesia lainnya telah menggunakan metode tangkap ini. Seperti di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung.

Diakui, alat tangkap ini merupakan modifikasi para nelayan benur, yang merasa metode tangkap dengan menggunakan bagang di tengah laut kurang efektif dan efisien. Diklaim, metode jodang tanam bisa menekan efisiensi pengeluaran hingga 50 persen.

Pengeluaran bisa susut hingga 50 persen, yang biasanya harus menggunakan genset utuk penerangan, dengan jodang tanam kita hanya memerlukan batere untuk lampu senter, ungkap Ari, salah satu nelayan asal Cianjur.

Hal senada dipaparkan salah satu nelayan asal Lampung, Samsu, selain efisien, alat tangkap ini juga tak membuat nelayan harus berada di laut pada malam hari untuk menjaga bagang.

Dulu saya begadang tiap malam untuk menjaga bagang, namun dengan jodang tanam tak perlu lagi karena kita bisa tinggal pada malam hari. Pagi kita tinggal mengecek hasil tangkapan benur dan memastikan batere lampu habis atau tidak, ucapnya.

Dari pengakuan keduanya, kini metode tangkap BBL degan bagang telah ditinggalkan para nelayan. Untuk penerapannya, memang diperlukan pembagian wilayah atau pemetaan area tangkap agar tidak menggangu aktvitas nelayan perikanan.

Pada prinsipnya antara jodang tanam dan bagang memiliki kesamaan dalam alat, yakni mengunakan jaring atau yang lebih dikenal oleh nelayan dengan sebutan waring. Waring dibuat dari material High Density Polyethylene (HDPE) dengan cara dianyam.

Bahan HDPE ini dipilih karena memiliki kekuatan yang sangat baik dan juga tanam air. Pada jodang tanam, waring dipakai tidak membentang, hanya dibuat buntelan seperti alat pencuci piring, yang diikatkan pada seutas tali sepanjang 100 meter.

Jarak antara jodang tanam satu dengan yang lainnya diatur antara 4 5 meter. Jadi untuk satu ruas tali berisi 20 25 jodang tanam. Sedangkan untuk pemberat ujung tali menggunakan jangkar atau pasir yang telah dimasukkan ke dalam karung.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Lebak, Berdnardi, Jumat (4/10/2024) siang memastikan bahwa jodang tanam adalah produk modifikasi nelayan yang ramah lingkungan.

Alat ini tidak merusak ekosistem laut, di wilayah lain juga telah menerapkan metode tangkap benur dengan alat ini. Namun, memang belum masuk dalam daftar alat tangkap yang diinvetarisir oleh kementerian, ucap Berdnardi.

Terkait polemik pro dan kontra nelayan Binuangeun, Dinas Perikanan Kabupaten Lebak rencananya akan mengundang dua kelompok nelayan tersebut dalam jumlah yang berimbang.

Sementara itu, Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Wilayah Selatan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Imam Budiono, dalam keterangan tertulisnya mengatakan alat tangkap jodang tanam tidak termasuk yang dilarang.

Secara aturan alat tangkap jodang tanam tidak termasuk yang dilarang. Terkait hal ini, DKP akan memastikan apakah pelaku jodang tanam memiliki kuota penangkapan BBL atau tidak, kata Imam, lewat pesan singkat elektronik yang diterima redaksi Jumat (4/10/2024) sore.

Topik Menarik