Sejarah Peristiwa Rengasdengklok, Pemuda RI Culik Soekarno-Hatta untuk Proklamasikan Kemerdekaan

Sejarah Peristiwa Rengasdengklok, Pemuda RI Culik Soekarno-Hatta untuk Proklamasikan Kemerdekaan

Terkini | inews | Senin, 12 Agustus 2024 - 07:19
share

JAKARTA, iNews.id - Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta ke wilayah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat pada 16 Agustus 1945. Para pemuda mendesak Soekarno dan M Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan RI.

Ada perbedaan sikap antara golongan tua dan golongan pemuda yang tidak sepakat mengenai bagaimana mekanisme pelaksanaan kemerdekaan Indonesia. Tujuan peristiwa Rengasdengklok mempercepat pelaksanaan proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Peristiwa ini dimulai pada 14 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Amerika Serikat. 

Kala itu, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman baru kembali dari Dalat, Vietnam dalam rangka memenuhi undangan Marsekal Muda Terauchi (Panglima Jepang yang membawahkan kawasan Asia Tenggara). Mereka pun belum mengetahui berita tersebut. 

Namun, para pemuda yang telah mengetahui berita tersebut langsung mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta untuk segera proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa bantuan Jepang. Akan tetapi, Soekarno dan Mohammad Hatta tidak langsung memproklamasikan, melainkan ingin mendapat kepastian terlebih dahulu apakah benar Jepang telah menyerah. 

Soekarno dan Mohammad Hatta masih mempunyai keinginan untuk membicarakan segala sesuatu mengenai pelaksanaan proklamasi dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Adanya perbedaan ini menimbulkan niat golongan muda untuk menculik mereka berdua. 

Keputusan untuk menculik kedua tokoh tersebut merupakan keputusan dalam rapat yang diadakan oleh para pemuda pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari.

Rapat tersebut dihadiri oleh Soekarni, Jusuf Kunto, dr. Mawardi dari barisan Pelopor dan Shudanco Singgih dari Dai dan Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta Syu. Hal itu yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa penculikan ini diberikan kepada Singgih. Dalam melaksanakan penculikan ini, Singgih dibantu oleh Cudanco Latief Hendraningrat dengan menyediakan beberapa perlengkapan militer. 

Kemudian Soekarno dan Hatta dijemput oleh sekelompok pemuda dan kemudian dibawa ke Rengasdengklok, sebab daerah tersebut dianggap aman. Soekarno dan Mohammad Hatta ditempatkan di sebuah rumah, yaitu rumah milik Djiaw Kie Song. 

Tujuan mereka menculik Soekarno-Hatta agar tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno kalau Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, pejuang muda Wikana, dan golongan tua yaitu Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Lalu diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.

Mereka menjemput Soekarno dan Moh Hatta kembali ke Jakarta. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.

Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Saat itu Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 22.00 WIB, maka Laksamana Muda Maeda menawarkan untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala Pemerintahan Militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Soekarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda.

Mocihiro Yamamoto memerintahkan agar Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang Mayor Jenderal Otoshi Nishimura untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.

Saat itu Nishimura menjelaskan, sejak siang hari, 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.

Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.

Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI dengan cara pura-pura tidak tahu. Melihat perdebatan yang panas itu, Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Penyusunan Teks Proklamasi 

Setelah dari rumah Nishimura, Soekarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No 1) guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M Hatta, Achmad Soebardjo, dan disaksikan oleh Soekarni, BM Diah, Sudiro (Mbah), dan Sayuti Melik.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang dipinjam dari kantor perwakilan Angkatan Laut (AL) Jerman milik Mayor (Laut) Dr Hermann Kandeler. Sebab mesin ketik yang dimiliki Laksamada Maeda bertuliskan huruf Jepang, bukan huruf latin. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik.

Semula, pembacaan proklamasi rencananya akan dilakukan di Lapangan Ikada. Namun karena alasan keamanan akhirnya pembacaan teks Proklamasi dipindahkan ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi No 1).

Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani, dan Trimurti.

Acara dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian dilanjutkan pengibaran bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih). Bendara Merah Putih dijahit oleh Ibu Fatmawati.

Pada awalnya, Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun dia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit.

Akhirnya ditunjuklah seorang prajurit PETA Latief Hendraningrat dibantu Soehoed untuk menaikkan bendera Merah Putih. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih.

Setelah bendera berkibar, para peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Topik Menarik