Palestine Peace Building Lab di UMS, Perkuat Kaum Muda Palestina Bangun Perdamaian

Palestine Peace Building Lab di UMS, Perkuat Kaum Muda Palestina Bangun Perdamaian

Terkini | sleman.inews.id | Sabtu, 14 Desember 2024 - 19:20
share

SOLO, iNewsSleman.id - Muhammadiyah melalui Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional (LHKI) menyelenggarakan Program Muticultural Dialogue and Peacebuilding on Palestina. Penyelenggaraan berlangsung di tiga kota besar, yaitu Yogyakarta, Solo, dan Jakarta, 11-18 Desember 2024.

Program bertujuan memperkuat kapasitas kaum muda Palestina dalam membangun perdamaian melalui dialog, negosiasi, dan mediasi tanpa kekerasan. Program imerupakan rangkaian kegiatan Bina Damai bagi Palestina yang diluncurkan oleh LHKI PP Muhammadiyah dengan Lembaga Zakat, Infaq, dan Sedekah Muhammadiyah (LazisMu).

Sekretaris LHKI PP Muhammadiyah. Dra. Yayah Khisbiyah, M.A, salah satu penggagas program menjelaskan, pendekatan ini merupakan inovasi baru yang belum pernah dilakukan di Indonesia. 


Program Muticultural Dialogue and Peacebuilding on Palestina di Kampus UMS, Sabtu (14/12/2024). Foto: AW Wibowo

“Banyak dukungan untuk Palestina selama ini lebih berfokus pada bantuan kemanusiaan seperti sembako, obat-obatan, atau advokasi internasional. Namun, Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil memiliki keterbatasan dalam menjangkau pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik. Oleh karena itu, kami memilih pendekatan people to people dengan meningkatkan kapasitas generasi muda Palestina,” ujar Yayah Khisbiyah usai acara di Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (14/12/2024). 

Program ini, lanjutnya, mendapatkan pujian sebagai terobosan besar yang dilakukan oleh organisasi dari Asia. Biasanya, inisiatif serupa berasal dari organisasi di Eropa. 

Dalam kesempatan itu, hadir Dr. Alhoucine Rhazoui (Director, OIC of Cultural Affairs), Mr. Mutasem Taem (Chairman of the Jerusalem Institute, Al Qudz University), Kayed al-Meary (Witness-Syahid Center For Zitizens Rights and Social Development) dan Yayah Khisbiyah (UMS & LHKI PP Muhammadiyah) dalam rangka International Seminar dengan topik “Multicultural Dialogue, Palestine, and the Muslim World”.

“Muhammadiyah tidak hanya mendukung Palestina dengan cara-cara tradisional. Program ini adalah langkah luar biasa yang bertujuan memberdayakan kaum muda Palestina agar mereka mampu mengatasi konflik secara mandiri dengan cara-cara nir kekerasan,” ucapnya. 

Selain fokus pada pendidikan dan kesehatan, Yayah juga menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Palestina. 

 

“Kami percaya bahwa perdamaian hanya dapat terwujud dengan memberdayakan komunitas melalui pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Resolusi konflik tanpa kekerasan adalah kunci untuk mengakhiri siklus kekerasan yang terus berulang,” katanya.

Dalam rangkaian program ini, Muhammadiyah juga merancang inisiatif pendirian Museum Palestina sebagai bentuk komitmen untuk mendokumentasikan sejarah dan perjuangan rakyat Palestina. Nama museum ini masih dalam tahap diskusi, dengan beberapa opsi seperti Museum Nakba Palestina atau Museum Genosida Palestina.

“Kami berharap program ini dapat menjadi langkah awal yang berkelanjutan. Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil ingin terus mendukung Palestina, tidak hanya melalui bantuan kemanusiaan tetapi juga dengan memperkuat kapasitas generasi muda Palestina untuk membangun masa depan yang lebih baik,” ungkap Yayah.

Program ini, diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi organisasi lain untuk mendukung perdamaian di Palestina secara inovatif dan berkelanjutan.

Wakil Rektor V UMS Prof. Supriyono, Ph.D mengatakan, dalam kerangka membantu mereka di bidang pendidikan, PP Muhammadiyah melalui LazisMu telah membuka beasiswa bagi anak-anak dari Palestina, utamanya yang berasal dari Gaza. Hanya saja hal itu tidak mudah karena keluar dari Gaza juga tidak mudah. 

Dia mencontohkan, remaja di Gaza biasanya ingin mengambil jurusan kesehatan. Namun Bahasa menjadi kendala, utamanya yang ingin mengambil kesehatan, salah satunya kedokteran. 

“Kami punya pengalaman kurang baik, mereka datang sudah dilatih Bahasa Indonesia setahun tetapi ternyata kurang dan akhirnya gagal,” kata Supriyono. 

Dikatakannya, dulu UMS banyak menerima dari Palestina namun yang berdomisili di Yordania. Pihaknya ingin menerima mahasiswa yang benar-benar asli dari Gaza. 

“Tapi kendala itu tadi, sulit untuk keluar (Gaza),” pungkasnya. 

Topik Menarik